NOTES!!!!
Cerita ini hanya di peruntukan untuk orang-orang dengan pikiran terbuka!!
Cerita dalam novel ini juga tidak berlatar tempat di negara kita tercinta ini, dan juga tidak bersangkutan dengan agama atau budaya mana pun.
Jadi mohon bijak dalam membaca!!!
Novel ku kali ini bercerita tentang seorang wanita yang rela menjadi pemuas nafsu seorang pria yang sangat sulit digapainya dengan cinta.
Dia rela di pandang sebagai wanita yang menjual tubuhnya demi uang agar bisa selalu dekat dengan pria yang dicintainya.
Hingga tiba saatnya dimana pria itu akan menikah dengan wanita yang telah di siapkan sebagai calon istrinya dan harus mengakhiri hubungan mereka sesuai perjanjian di awal mereka memulai hubungan itu.
Lalu bagaimana nasib wanita penghangat ranjang itu??
Akankah pria itu menyadari perasaan si wanita sebelum wanita itu pergi meninggalkannya??
Atau justru wanita itu akan pergi menghilang selamanya membawa sebagian dari pria itu yang telah tumbuh di rahimnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi.santi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lelah
Sudah satu minggu ini Adrian dan Elena masih terjebak di luar kota. Masalah dengan proyeknya juga dengan korban-korban yang ternyata terlalu sulit untuk di bujuk membuat waktu Adrian terkuras habis di sana. Padahal perusahaannya yang ada di pusat juga tidak bisa di abaikan terlalu lama seharunya. Dia hanya mengandalkan Hary yang terus melaporkan kondisi perusahannya di sana.
Elena yang terus di sisi Adrian menjadi semakin khawatir dengan pria itu. Waktu istirahat yang hanya sedikit, juga na*su makan Adrian yang menurun membuatnya terlihat tak bersemangat dalam aktivitasnya.
Elena tau jika Adrian begitu kelelahan saat ini. Yang bisa Elena lakukan hanya terus mendukung Adrian dengan terus berada disisinya tak meninggalkannya sedikitpun.
Elena masuk ke dalam kamar membawakan teh hangat untuk Adrian. Dilihatnya pria itu tengah menyandarkan kepalanya di sofa dengan laptop di pangkuannya. Meski mata Adrian tertutup, tapi Elena tau jika pria itu tidak tidur sama sekali.
"Adrian, minumlah tehnya. Ini masih hangat, siapa tau bisa sedikit menyegarkan pikiran mu" Elena duduk si samping Adrian. Mengulurkan secangkir teh buatannya.
Adrian membuka matanya, melirik Elena yang ada di sampingnya tanpa mengangkat kepalanya yang masih bersandar itu. Lingkaran hitam begitu jelas terlihat di mata Adrian saat ini.
Masalah yang menimpanya kali ini ternyata bisa mengubah Adrian cukup jauh. Buktinya selama satu minggu mereka di sana, Adrian sama sekali tak menyentuh Elena. Dia hanya meminta Elena memeluknya ketika tidur, hanya itu saja. Bahkan mencium Elena pun tidak sama sekali. Pikirannya terkuras habis oleh masalahnya kali ini sehingga tidak sempat untuk memikirkan hal-hal seperti itu.
"Minumlah"
Adrian mengangguk lalu menegakkan tubuhnya. Menerima teh hangat yang aromanya begitu di sukai Adrian saat ini.
"Terimakasih"
Elena tersenyum mendengar ungkapan terimakasih dari Adrian. Di tambah senyum tipis dari bibir pria itu yang hanya untuknya saat ini. Hal sekecil itu saja sudah membuat Elena bahagia bukan main. Setidaknya apa yang dia lakukan mendapat sedikit perhatian dari Adrian.
Adrian meneguk pelan teh hangatnya. Merasakan kehangatan yang terasa melewati tenggorokannya lalu turun ke dalam perutnya.
"Kapan masalah ini akan berakhir El?? Ini sudah satu minggu kita di sini tapi belum juga mendapatkan titik terang dari para korban. Mereka masih bersikeras menuntut perusahaan. Padahal aku sudah menawarkan kompensasi yang amat besar. Kalau begini, perusahaan ku bisa hancur"
Elena melihat gurat kesedihan di wajah Adrian. Banyaknya tekanan dari berbagai pihak semakin membuatnya memikul beban berat. Terlebih Papanya sendiri.
Tadi malam Elena sempat mendengar Adrian menerima telpon dari Papanya. Bukannya dukungan atau bantuan yang di terima Adrian dari pria itu. Tapi justru sebuah kalimat panjang yang membuat Adrian semakin tertekan.
"Papa tidak mau tau!! Semua yang terjadi itu di bawah tanggungjawab mu. Jadi kau yang harus menyelesaikannya sendiri. Papa tidak menyangka jika kau bisa seceroboh ini Adrian!! Biar bagaimana pun kau bersalah dalam hal ini. Selesaikan masalah itu secepatnya kalau kau tidak mau menghancurkan perusahaan yang sudah Papa dirikan dari bawah itu!! Mengerti!!"
Setelah menerima telepon itu, Adrian tak bisa tidur sampai pagi. Dia juga lebih banyak terdiam, dan hanya berbicara dengan Elena seperlunya saja.
"Hey, kenapa kau berpikir sejauh itu?? Mana Adrian yang terkenal dengan otak encernya?? Aku yakin kau bisa melewati semua ini. Jangan pikirkan mereka yang hanya bisa meremehkan dan menekan mu. Kau harus buktikan kalau kau bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Aku yakin kau bisa Adrian. Aku akan selalu berada di samping mu untuk mendukungmu. Meski di dunia ini sudah tidak ada orang yang mendukungmu sama sekali, kau harus ingat kalau kau masih punya aku"
Adrian melihat ke dalam mata jernih Elena yang menatapnya begitu dalam dengan semua kata-katanya yang begitu menenangkan hatinya.
"Aku sahabatmu yang akan selalu mendukungmu apapun yang terjadi" Imbuh Elena membuat Adrian merengkuh wanita di depannya itu ke dalam pelukannya.
"Terimakasih El, kau memang sahabat terbaikku. Tidak akan pernah ada yang menggantikan sahabat seperti mu di hidupku" Elena membalas pelukan hangat itu dengan senang hati. Kehangatan itulah yang selalu Elena inginkan.
"Ian??" Tiba-tiba saja Elena ingin memanggil Adrian dengan panggilan sayangnya.
"Hemm" Adrian suka Elena memanggilnya seperti itum
Elena sedikit tak rela mengurai pelukannya dengan Adrian.
"Bagaimana dengan Pak Nicolas?? Apa kau benar-benar tak akan memenjarakannya jika dia berhasil mengganti rugi atas semua kerugian mu??" Sebenarnya Elena tak rela jika Nicolas akan bebas begitu saja.
"Kalau dia di penjara, memang dia akan menerima hukuman di sana. Namun bagaimana dengan ku?? Aku sudah rugi terlalu banyak. Sementara sewaktu-waktu dia akan bebas tanpa harus bingung menanggung kerugian ku sama sekali"
"Lalu bagaimana jika dia memilih di penjara daripada mengembalikan semua uang mu??" Elena melihat jika kerugian yang di terima Adrian tidaklah sedikit. Mana bisa Nicolas membayar semuanya.
"Maka akan aku pastikan dia hidup menderita setelah itu" Mata Adrian menunjukkan kilat kemarahan yang mendalam kepada Nicolas. Orang yang di percaya mengurus proyeknya justru menikamnya dari belakang.
"Ya sudah, aku hanya mendukung semua keputusan mu. Hanya itu yang bisa aku lakukan Ian"
Adrian tersenyum dan mengacak lembut rambut Elena.
"Dengan kau selaku di sampingku saja, itu sudah lebih dari cukup El"
"Habiskan dulu teh nya, sebelum dingin"
Adrian mengangguk menuruti perintah Elena. Teh yang hampir dingin itu di teguk habis oleh Adrian. Tanpa Adrian sadari, Elena tersenyum puas karena menghabiskan teh buatannya.
Huahh..
Adrian menutup mulutnya dengan punggung tangannya karena tiba-tiba menguap dan matanya terasa sangat berat saat ini.
"Kenapa Ian?? Kamu lelah, mau tidur??" Elena mengusap punggung Adrian lagi.
"Hemm, aku tiba-tiba ngantuk sekali" Adrian mengerjab-ngerjabkan matanya.
"Kalau begitu kita tidur saja ya, pekerjaannya di lanjutkan besok saja"
Adrian yang sudah setengah sadar karena rasa kantuknya itu hanya bisa mengangguk dan mengikuti Elena yang menuntunnya ke tempat tidur.
"Tidurlah" Elena membantu Adrian berbaring, menyelimutinya dengan selimut tebal yang begitu menghangatkan. Tak lupa Elena juga menaikkan suhu pendingin ruangan agar Adrian tak kedinginan dalam tidurnya.
"Peluk aku El" Gumam Adrian yang mulai terlelap dalam tidurnya
"Dengan senang hati Ian sayang" Gumam Elena karen atau Adrian sudah menyelam ke dalam mimpinya.
Elena mengambil posisi di samping Adrian, memeluknya seperti yang pria itu inginkan.
Cup..
Elena mencium kening Adrian dengan segenap perasaannya yang begitu dalam. Dalam hati Elena terus mengucap kata maaf untuk Adrian. Elena memang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam teh yang telah ia buat untuk Adrian tadi. Elena hanya ingin Adrian mengistirahatkan tubuh dan pikirannya meski hanya sejenak saja.
"Maafkan aku harus melakukan ini padamu sayang. Aku hanya tidak mau kamu sakit karena kurang tidur. Aku siap menerima kemarahan mu besok pagi"