Hanya karena bentuk fisik yang tak seindah wanita lain. Alice harus menelan pil pahit sebuah pengkhianatan suami.
"Ckkk." Gavin berdecak seraya terkekeh mengejek. "Apa kamu tak berkaca, Alice? Lihat tubuhmu itu, sudah seperti babi putih. Bulat tak ada lekukan. Ukuranmu yang besar itu sudah membuatku jijik. Jangankan untuk menyentuhmu, senjataku saja tak mau berdiri saat melihatmu mengenakan pakaian minim di kamar. Apa pun yang kamu kenakan untuk merayuku, tak mampu membuatku berhasrat padamu. Apa kau mengerti!"
Penghinaan serta pengkhianatan yang Gavin lakukan pada Alice meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga membuat hati Alice membiru.
Mahkota yang seharusnya ia hadiahkan pada suaminya, justru menjadi malam petaka dan cinta satu malam yang Alice lakukan pada Bara, kakak iparnya sendiri.
Bagaimana malam petaka itu terjadi? Bagaimana Bara bisa menyentuh Alice saat suaminya saja jijik menyentuhnya? Lalu apa yang akan Alice lakukan untuk melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunga Peony, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Rasa yang masih tersimpan.
Setelah acara makan malam, Yonna memilih untuk duduk di halaman belakang dekat kolam renang. Kaki jenjangnya ia biarkan menjuntai di dalam air, mata sendunya memandangi pantulan rembulan di dalam air tersebut.
Indah namun terasa hampa, pantulan hanyalah replika sedangkan yang aslinya jauh untuk digapai.
Saking asiknya menikmati kehampaan hati, sampai-sampai ia tak menyadari langkah kaki yang mendekat dan kini duduk sembari tersenyum di sampingnya. Yonna tersentak, ia pun menoleh dengan raut wajah yang malas pada Vano yang melipat kakinya dengan santai.
“Ada apa?” tanya Vano serius. Ia mengikuti pandangan mata Yonna yang kembali menatap rembulan di atas air.
Angin malam bertiup sepoi-sepoi membawa putil bunga mangga yang mulai berbunga. Aromanya semerbak masuk ke indra penciuman, segar namum membuat merinding. Sekilas bau putil bunga mangga yang begitu wangi memiliki ciri khas tersendiri.
Hening. Yonna enggan menjawab, ia masih ingin bergelut dengan pemikirannya sendiri ditemani kesunyian malam. Vano menghela napas, ia berpikir usianya yang muda membuat dirinya tak pantas untuk menjadi tempat berbagi, minim pengalaman atau mungkin tak cukup mengerti.
“Masalah kalau dipendam sendiri bisa bikin sakit, kucing saja bisa mati karena sering melamun!” kelakarnya yang terdengar begitu garing.
“Konsep dari mana itu, ngasal!” dengus Yonna. Ia menatap wajah lelaki muda yang kini lebih putih dari saat kecil dulu, manik mata hitam legam itu memancarkan rasa keingintahuan yang besar membuat Yonna menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan senyuman tipis.
“Apa kau masih ingat? Dulu saat aku menangis karena di ejek teman-temanku, kau pasti akan datang menghampiriku di sini dan mengajakku berbincang seperti ini.” Ingatannya kini mulai berkelana mengenang masa kecil mereka berdua.
“Ya, tentu saja aku ingat. Saat itu kaumu nangis karena di tolak lelaki yang kamu sukai, lelaki yang menjadi paling tampan di sekolah. Tapi sayangnya pernyataan cintamu itu di tolak karena kamu gendut,” tawa Vano mulai pecah mengenang kisah cinta Kakak perempuannya di jaman putih biru. Wanita belia yang baru saja mulai merasakan namanya tertarik dengan lawan jenis.
Dada yang berdebar saat didekati lelaki yang mengusik malam-malam panjangnya. Melihat pujaan hati secara diam-diam mampu membuat senyum yang merekah dengan pipi merona malu-malu.
Yonna pun ikut tersenyum, ia baru sadar betapa bodohnya ia saat itu. Ia terlalu naïf akan cinta yang tulus seperti dongeng kartun cinderella yang sering ia tonton. Atau seperti cerita pangeran dengan kuda putih yang berjuang menolong sang putri cantik dari beberapa orang penyamun.
Bahkan tak jarang dirinya berkhayal menjadi putri tidur yang terbangun karena kecupan mesra sang pangeran yang mencintainya.
“Kenapa, lagi berkhayal seberapa konyolnya dirimu dulu?” tebak Vano yang sukses mengalihkan pandangan mata Yonna padanya.
Bibir wanita itu mengkerucut karena kesal dengan ledekan sang adik yang terdengar sedikit menyentil hatinya. Ia tidak marah, hanya malu akan kebodohannya saja.
“Namanya juga masa labil. Aku masih tidak bisa membedakan antara cinta dan obsesi saja!” jawab Yonna cepat sembari membuang muka dengan wajah menutupi rasa malu.
Vano mengusap-usap pipinya yang mulai terasa dingin karena hembusan angin malam yang membelai tubuhnya, ia tak habis pikir bagaimana Kakaknya bisa tahan dengan dinginnya angin malam bahkan dengan posisi kaki yang terendam di dalam air, padahal Yonna hanya menggunakan kaos dengan lengan 7/8 dan celana jins empat jari di atas lutut saja.
“Apa kamu masih mencintainya, Alice?”
Yonna tersentak mendengar ucapan adiknya itu secara tiba-tiba, ia kembali menoleh dan menatap wajah lelaki dengan kumis tipisnya itu.
“Jangan panggil nama itu lagi, aku tak ingin mendengarnya! Lagi pula siapa yang kamu maksud, aku tak mengerti.”
“Tentu saja mantan suamimu itu, lalu siapa lagi!”
“Kenapa kau tiba-tiba mengungkitnya? Aku saja sudah lupa jika ada dia di dalam hidupku.”
Vano menarik seringai di sudut bibirnya. “Apa yang sedang kamu rencanakan, Alice?” Bukannya menjawab, Vano justru melemparkan pertanyaan yang membuat ssuasana seketika menjadi canggung.
Tatapan mata Yonna kini tampak begitu sinis, ia tak suka adiknya mencampuri hidupnya seperti itu. Lelaki yang ada di sampingnya ini seakan tahu segalanya, menelanjangi kehidupan Yonna hingga tak ada satu hal pun yang dapat ia sembunyikan darinya.
“A-apa yang kamu katakan, aku tak mengerti,” ujar Yonna kembali menghindar. Ia mengangkat kakinya dari air dan hendak berdiri dan beranjak dari tempat tersebut.
“Kamu masih mencintai Gavin, iya kan! Itu sebabnya kamu tak membawa Noah kembali ke sini agar Noah tidak bertemu dengan Bara! Karena kamu tidak ingin menikah dengan lelaki yang tidak kamu cintai.”
Langkah kaki Yonna seketika terhenti, dadanya mulai naik-turun dengan nafas yang mulai memburu. Ia menggigit bibir bawahnya dengan erat sebelum berbalik badan. Yonna menghujamkan tatapan tepat di kedua bola mata lelaki yang lebih muda beberapa tahun darinya itu.
“Daripada mengejar cinta seseorang yang tidak pernah mengharapkanmu, bukankah lebih baik bersama seseorang yang selalu menempatkan dirimu pada posisi tertinggi di hatinya!”
“Memangnya siapa yang menempatkan aku pada posisi tertinggi di hatinya? Tidak ada! Tidak ada yang akan mencintai wanita gendut yang tidak menarik. Jadi, jangan asal bicara jika kau tak tahu apa-apa! Terkadang rasa ingin tahumu itu membuatku sedikit menjengkelkan di mataku!” sentak Yonna.
Ia menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya, menegaskan pada sang adik bahwa ia tak suka ada orang lain yang mengusik privasinya.
“Aku minta maaf jika itu membuatmu kesal, sebagai seorang adik aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Apa pun yang sedang kau rencanakan saat ini, aku harap kamu urungkan saja! Jangan membuat hidupmu menjadi rumit nantinya, aku —,”
“Stop! Aku tak ingin mendengar apa pun dari mulutmu. Apa yang akan aku lakukan nantinya dan apa yang aku rencanakan, itu bukan urusanmu. Jangan ikut campur Vano, kamu tidak mengerti apa pun! Kamu tak tahu apa yang aku rasakan di dalam sini!” ucap Yonna tegas.
Ia menunjuk dadanya, kemudian ia remas dengan erat. Mata itu mulai berkaca-kaca, kesedihan tampak begitu jelas di bola mata yang mendung itu.
Yonna kembali berbalik, sesak dadanya kian mendera membuatnya ingin segera meninggalkan tempat itu tanpa peduli pada adiknya yang menatap iba padanya. Apa sebegitu menyedihkan hidupnya saat ini? Langkah kaki cepat dengan kedua tangan terkepal, kedua bibirnya terkatup erat dengan tatapan mata yang nyalang.
Entah siapa yang akan menjadi korban amarahnya selanjutnya, tempat ia melampiaskan rasa panas di hatinya yang ia pendam selama itu. Waktu lima tahun tak mampu mengubur rasa itu yang telah bersamayam di hatinya begitu saja.
Vano menatap kepergian Yonna dengan raut wajah kecewa, waktu tak hanya mengubah penampilan sang Kakak. Tetapi juga mengubah karakter dan wataknya. Tak ada lagi wajah riang penuh senyum dan nada suara manja saat menyebut namanya. Vano seakan tak mengenali lagi siapa wanita yang kini pergi menjauh masuk ke dalam rumah itu.
“Sebagai seorang adik, aku berdoa semoga kamu bersama lelaki yang tulus mencintaimu, Kak. Karena terkadang seseorang yang kita cintai belum tentu membawa kebahagiaan dalam hidup kita. Tapi justru air mata dan derita!”