Revan adalah pria tampan dan pengusaha muda yang sukses. Namun di balik pencapaiannya, hidup Revan selalu berada dalam kendali sang mama, termasuk urusan memilih pendamping hidup. Ketika hari pertunangan semakin dekat, calon tunangan pilihan mamanya justru menghilang tanpa jejak.
Untuk pertama kalinya, Revan melihat kesempatan untuk mengambil keputusan sendiri. Bukan sekadar mencari pengganti, ia menginginkan seseorang yang benar-benar ingin ia perjuangkan.
Hingga ia teringat pada seorang gadis yang pernah ia lihat… sosok sederhana namun mencuri perhatiannya tanpa ia pahami alasannya.
Kini, Revan harus menemukan gadis itu. Namun mencari keberadaannya hanyalah langkah pertama. Yang lebih sulit adalah membuatnya percaya bahwa dirinya datang bukan sebagai lelaki yang membutuhkan pengganti, tetapi sebagai lelaki yang sungguh-sungguh ingin membangun masa depan.
Apa yang Revan lakukan untuk meyakinkan wanita pilihannya?Rahasia apa saja yang terkuak setelah bersatu nya mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 Pertukaran Cincin
Acara pertunangan sebentar lagi dimulai. Aula besar itu dipenuhi cahaya hangat dari lampu gantung kristal dan taburan bunga mawar putih di setiap sudut. Para tamu undangan sudah memenuhi ruangan, sebagian sibuk berbincang, sebagian lagi tak henti memuji keindahan dekorasi malam itu.
Kini, Eliana dan Revan telah duduk di pelaminan. Mereka terlihat serasi Revan dalam setelan jas hitam dengan dasi abu-abu perak, sementara Eliana tampil anggun dengan gaun panjang berwarna rose gold lembut, berhias payet halus di bagian bahu dan lengan, jilbab senada dengan tambahan veil tipis yang menjuntai indah di punggungnya.
Wajah mereka berdua memancarkan kebahagiaan yang menenangkan.
“Wah, ternyata tunangan Revan cantik sekali,” bisik salah satu tamu wanita di barisan depan. “Iya, benar. Tidak kalah dari Celin,” sahut tamu lain. “Tapi aneh juga ya, kenapa Celin bisa tiba-tiba pergi begitu saja? Bukankah Miranda selalu memuji gadis itu?” “Entahlah. Mungkin Celin punya pilihan lain. Tapi kalau benar begitu, sungguh Celin wanita yang tidak bersyukur. Apa coba kurangnya Revan,” ucap salah satu tamu lagi. “Sudahlah, jangan menerka-nerka. Kita nikmati saja acara malam ini,” ucap tamu lain menengahi.
Musik lembut mulai mengalun. Suara MC terdengar jelas di seluruh ruangan. “Baiklah, para hadirin. Kini kita memasuki acara inti malam ini. Sesi pertukaran cincin pertunangan.”
Semua mata tertuju ke arah pelaminan.
Miranda maju terlebih dahulu, tersenyum manis di depan tamu undangan meski senyum itu tak lebih dari topeng untuk menutupi kepalsuan nya. Ia duduk di sebelah Eliana, lalu mengambil cincin yang telah disiapkan. Dengan pelan, Miranda mengenakan cincin itu di jari manis Eliana.
“Selamat, Nak,” ucap Miranda lirih, berusaha terdengar tulus. Eliana membalas dengan senyum sopan dan menunduk hormat. Ia mencium tangan Miranda, lalu keduanya berpelukan singkat di hadapan para tamu, menampilkan gambaran kebersamaan yang terlihat hangat, walau sesungguhnya itu hanya lah akting dari Miranda.
MC kemudian mempersilakan giliran berikutnya. “Kini, giliran ayah dari pihak wanita untuk mengenakan cincin kepada calon menantunya.”
Ridwan naik ke pelaminan dengan langkah tenang. Senyum hangat terpancar di wajahnya. Ia menatap Revan, lalu dengan mantap memasangkan cincin di jari manis putra Miranda itu. “Selamat, Nak. Jagalah putriku baik-baik,” ucap Ridwan penuh harap.
Revan menunduk hormat dan menjabat tangan calon mertuanya. “InshaAllah, Pak. Saya akan menjaganya sebaik mungkin.”
Senyum tulus Ridwan sangat kontras dengan wajah Miranda yang masih menyimpan ketegangan di sisi lain pelaminan. Namun semua itu tertutupi oleh sorak tepuk tangan para tamu yang ikut berbahagia menyaksikan momen itu.
Begitu sesi pertukaran cincin selesai, acara dilanjutkan dengan sesi foto bersama keluarga besar dan para sahabat. Eliana dan Revan terlihat bahagia saat berpose bersama kedua orang tua mereka, juga bersama Nenek Sonya yang duduk di kursi kehormatan dengan senyum penuh kebanggaan.
Nadia, yang baru saja tiba segera naik ke pelaminan. Ia langsung meminta maaf karena datang terlambat. “Maaf banget, El. Aku harus mengurusi butik dulu. Apapun itu selamat. Ya ampun, kamu cantik banget malam ini,” ucapnya sambil memeluk Eliana. “Terima kasih, Nad, maaf kamu harus mengurus butik sendirian." jawab Eliana tersenyum.
" Untuk sekarang jangan pikirkan butik, Ini hari spesial mu." Nadia mengingat Eliana
Tak hanya Nadia, sahabat Revan. Riki, serta asistennya Dion juga turut berfoto bersama. Wajah Revan begitu berseri, jelas memancarkan kebahagiaan. Matanya sesekali melirik Eliana dengan senyum lembut yang tak bisa ia sembunyikan. Dalam hati, ia berjanji untuk menjaga gadis itu sebaik mungkin.
Selesai sesi foto, Nadia turun dari pelaminan dan menuju meja minuman untuk melepas dahaga. Saat ia sedang meneguk air, terdengar suara dari samping. “Mereka sangat serasi, ya.”
Nadia menoleh. Di sampingnya berdiri seorang pria tampan dengan senyum ramah. Ia mengenakan jas hitam dengan dasi burgundy. “Iya,” jawab Nadia singkat sambil tersenyum. “Mereka memang serasi.” “Perkenalkan, aku Riki,” ucap pria itu sambil mengulurkan tangan. “Nadia,” balasnya, menjabat tangan Riki dengan sopan. Keduanya tersenyum, awal percakapan singkat yang terasa ringan di tengah suasana bahagia malam itu.
Acara berjalan lancar tanpa satu pun hambatan. Tawa, doa, dan ucapan selamat memenuhi ruangan. Semua orang tampak bahagia, kecuali Miranda.
Dari kursinya, wanita itu hanya bisa memandangi pelaminan dengan tatapan tajam yang menyimpan segala pikiran untuk membuat putra nya dan Eliana berpisah.
---
Celin meringis sambil memegangi kepalanya yang terasa berdenyut hebat. Pandangannya masih kabur, napasnya berat. “Kenapa… aku bisa di sini?” gumamnya lirih.
Ia memaksakan diri untuk duduk tegak dan melihat sekeliling. Rasa bingung kian menjadi saat ia menyadari dirinya berada di dalam mobil, yang terparkir di ujung area parkir gedung tempat acara pertunangan Revan diadakan.
Celin berusaha mengingat apa yang terjadi. Perlahan, ingatannya mulai kembali. ia ingat seharusnya datang menemui Revan sebelum acara dimulai. Ia ingin membatalkan pertunangan itu, karena dialah yang seharusnya bertunangan dengan Revan. Namun sebelum sempat melangkah masuk ke gedung, seseorang tiba-tiba menyekapnya dari belakang. Setelah itu, semuanya gelap.
“Siapa yang berani menyekapku?” pikir Celin dengan nada marah dan tidak percaya.
Ia menatap sekitar lagi, memastikan situasi aman. Area parkir tampak sepi, hanya terdengar suara samar kendaraan yang lewat di kejauhan. Dengan hati-hati, Celin membuka pintu mobil dan melangkah keluar.
Ia berjalan cepat menuju pintu masuk gedung, berharap acara belum sepenuhnya usai. Namun langkahnya tertahan oleh seorang petugas keamanan.
“Maaf, Nona. Acara sudah selesai. Anda mau ke mana?” tanya security dengan sopan.
“Aku mau masuk. Aku mau bertemu Revan,” jawab Celin tegas, suaranya bergetar menahan emosi.
Petugas itu menggeleng pelan. “Maaf, Nona. Tuan Revan tidak bisa diganggu. Malam ini adalah hari pertunangan beliau, dan acaranya sudah selesai. Mungkin sekarang beliau sedang beristirahat. Sebaiknya Nona pulang saja.”
Celin menggertakkan giginya, wajahnya menegang. Tanpa menjawab, ia berbalik dan berjalan cepat kembali ke mobilnya. Ia menutup pintu dengan keras dan menghela napas panjang.
“Jadi benar… dia sudah bertunangan dengan wanita lain,” bisiknya dengan nada getir.
Matanya mulai memerah, tapi bukan karena sedih melainkan karena marah. Ia menyalakan mobil dengan tangan bergetar. “Kau pikir aku akan diam saja, Revan? Tidak. Aku tidak akan kalah dari siapapun,” ucapnya dengan suara dingin.
Alih-alih pulang ke rumah orang tuanya, Celin memutuskan untuk langsung ke apartemennya. Ia menekan pedal gas dalam-dalam, melajukan mobil menembus jalan malam yang sepi.
Sesampainya di apartemen, Celin menutup pintu dengan keras hingga suara benturannya menggema. Ia berdiri beberapa saat di ruang tamu yang gelap, lalu mengusap wajahnya.
“Aku harus menghubungi Tante Mira,” gumamnya cepat.
Ia baru teringat dengan ponsel yang ia matikan, sebelumnya ia pergi pekan lalu. Dengan tergesa, Celin mengambil ponsel dari tasnya dan menyalakannya.
Begitu ponsel aktif, notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab langsung membanjiri layar. Ada dari kedua orang tuanya, dari beberapa teman, dan tentu saja dari Miranda.
Namun yang membuat dada Celin terasa kosong adalah tak ada satu pun pesan atau panggilan dari Revan.
“Jadi begitu, Rev? Bahkan kau tidak menghubungi ku?” ucapnya lirih sambil tersenyum pahit.
Celin memejamkan mata. Dalam hatinya, ia tahu hubungan mereka selama ini hanyalah hasil dorongan Miranda. Tapi bagi Celin, hal itu bukan alasan untuk menyerah.
Celin bertekad Revan harus tetap menjadi miliknya. Apa pun caranya.