"Astaghfirullohal'adzim!" Gadis itu setengah berteriak saat mendengar suara iqamat dari masjid pesantren.sekilas ia menatap arloji di tangan kanannya. pukul 11.50 WIB.
"mengapa tak ada yang membangunkanku? ah, sial! jangan sampai aku bolos salat jemaah," ucap gadis bernama lengkap Humairah Assyifa itu.
Ia merutuki dori sendiri. Gara-gara tidur mendekati waktu salat zuhur, hampir saja ia melewatkan salat jemaah di masjid.
trus apa yang akan terjadi di hari-hari humairah di pesantren tersebut, apakah humairah akan menemukan jodohnya di pesantren tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ridwan jujun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kamu Memang Unik Mas
"Terima kasih ya, Laila. Umi jadi ngerepotin gini," ucap Umi Huda yang baru turun dari sepeda motor seraya membawa beberapa kantong belanjaan ke depan rumah. Di belakangnya turut juga perempuan bernama Laila itu membantu membawakan beberapa kantong belanjaan.
"Nggak papa, Umi. Laila malah seneng udah bantuin Umi," ucap Laila, "ini kantong belanjaannya ditaruh dimana, Umi?" tanyanya.
"Huda, tolong kamu bantuin bawa kantong belanjaan yang dibawa Laila," ucap Umi.
Huda yang sedari tadi masih memperhatikan mereka berdua pun beranjak dari kursinya lalu menerima kantong belanjaan dari Laila. "Motor Umi kemana?"
"Motor Umi masih di parkiran pasar, Da," jawab Umi, "Tadi Umi ke pasar trus kuncinya ngga tau jatuh dimana. Untung ketemu Laila, jadi dianterin pulang."
"Oh ya, Laila masih ingat kan sama Huda? Dulu waktu SMP kalian sering main bareng loh," tanya Umi.
"Iya, Umi. Laila masih ingat," ucap Laila seraya menunjukkan senyum manisnya. "Mas Huda apa kabar?" tanya ramahnya pada Huda.
"Alhamdulillah sehat Laila," jawab Huda.
"Ayo duduk, La. Kita ngobrol-ngobrol dulu," tawar Umi.
"Eh nggak usah, Umi. Laila langsung pulang saja. Jam sembilan sudah mau berangkat ke rumah sakit soalnya. Laila pamit dulu ya, Umi."
"Ehh langsung mau pulang? Dianterin Huda ya?" ucap Umi.
"Eh?" Huda mengernyitkan keningnya. Heran dengan perkataan Umi. "Kan Laila bawa motor, Mi?"
"Iya. Nggak usah, Umi. Laila kan bawa motor," ucap Laila, menolak tawaran Umi.
"Hissh nggak baik anak gadis pulang sendiri. Kamu kan bisa nganterin pake motor kamu sendiri, Da."
"Dih jadi kaya konvoi motor nanti, Mi," ucap Huda.
Laila tertawa kecil mendengar ucapan Huda. "Laila beneran nggak papa, Umi. Laila pulang sendiri saja. Insya Allah aman."
"Tuh Laila aja bilang nggak papa."
"Husssh. Udah nggak usah ngelawan orang tua. Sana anterin saja Laila," ucap Umi.
Dengan malas pun Huda mengambil kunci motor di dalam kamarnya lalu berjalan menuju motor ninjanya yang ia parkir di depan rumah.
"Ya sudah, Laila pamit dulu ya, Umi. Assalamu'alaikum, Umi," ucap Laila.
"Wa'alaikumussalam, Nduk. Lain kali mampir lagi ya."
Laila hanya tersenyum dan mengangguk kepada Umi. Ia segera menuju ke sepeda motornya. Tak lupa ia memakain helm dan segera menyalakan mesin motornya. Motor Laila melaju terlebih dahulu meninggalkan halaman rumah Huda, baru kemudian disusul motor Huda di belakangnya.
"Huda, makasih banyak ya sudah mau anterin Laila. Maaf jadi merepotkan," ucap Laila seraya tersenyum kepada Huda. Kini mereka berdua sudah sampai di halaman rumah Laila.
"Iya nggak papa, Laila. Nggak merepotkan kok."
"Mau mampir dulu, Da?"
"Eh nggak usah, aku langsung pulang saja ya," ucap Huda, "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warohmatulloh. Hati-hati di jalan, Da?" Laila tersenyum menatap kepergian Huda.
Sedari dulu Laila memang sudah menaruh perasaan pada Huda. Namun ia tak pernah mampu mengucapkannya. Tak mungkin kan perempuan mengucapkannya terlebih dahulu. Namun hari ini, ia amat bahagia bisa bertemu lagi dengan Huda. Apalagi ia sampai diantar pulang olehnya. Yah walaupun beda motor. Seperti konvoi, kata Huda.
******
Empat hari berlalu sejak terakhir kali Huma menerima ajakan ta'aruf dari Mas Huda. Kini ia sedang galau menatap layar ponselnya. Sedari pagi yang dilakukannya hanya gulang guling diatas kasur. Tak ada semangat untuk melakukan aktivitas apapun.
Berkali-kali ponselnya menampilkan layar aplikasi jejaring sosial dan pengirim pesan. Namun ia sendiri pun tak tau hendak berbuat apa dengan membuka aplikasi-aplikasi itu. Satu-satunya hal yang ia lakukan hanya mengecek apakah ada notifikasi pesan masuk atau sebagainya menghampiri ponselnya.
Dibukanya riwayat pesan Mas Huda. Tak ada apapun. Masih sama seperti empat hari yang lalu saat pertama dan terakhir kali Mas Huda mengirim pesan kepadanya.
"Mengapa tak ada kabar apapun dari Mas Huda?"
"Bukankah Mas Huda mengatakan ingin mengajakku ta'ruf dan ingin lebih kenal denganku? Mengapa Mas Huda tak menghubungiku sama sekali? Bagaimana kita bisa saling kenal?"
Pikiran Huma masih dipenuhi banyak pertanyaan mengenai proses ta'aruf yang sedang ia jalani sekarang. Jujur, ia sama sekali tak tau apa yang harus dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan ta'aruf. Pengetahuannya tentang proses ta'aruf memang tak banyak.
Dulu, ia sering dengar ada kakak kelas atau mbak-mbak santri yang sedang menjalani proses ta'aruf dengan seseorang. Tapi ia tak pernah terlalu kepo dengan hal-hal seperti itu. Kini ia sedikit menyesal kenapa dulu tak menimba ilmu tentang ta'aruf kepada mereka.
Saking penasarannya, Huma membuka aplikasi penelusuran informasi. Diketiknya kata proses ta'aruf. Muncullah beberapa artikel tentang hal itu. Ia mulai membaca dan mempelajarinya.
"Ooh, ta'aruf itu biasanya dilakukan dengan cara saling mengirim CV tentang data diri masing-masing. Bisa juga dengan cara menggali informasi tentang calonnya melalui pihak ketiga seperti adik, kakak, atau keluarga lain."
Huma mengangguk. Mulai paham dengan artikel yang ia baca. Proses ta'aruf ternyata tak seperti hubungan pacaran dimana biasanya dalam pacaran, antar lawan jenis tak ada batasan dalam berkomunikasi satu sama lain.
"Jadi, cara apa yang akan Mas Huda lakukan untuk lebih mengenalku?"
Huma mulai bertanya-tanya. Apakah Mas Huda menghendaki ia membuat CV tentang biodata dirinya? Atau mungkin Mas Huda sudah mulai menggali informasi tentangnya dari Sauqi?
Ditatapnya lagi layar percapakannya dengan Mas Huda. Benar-benar tak ada pesan apapun. Di barisan status teman pun tak tampak adanya status dari Mas Huda. Memang sepertinya Mas Huda jarang membuat status. Huma belum pernah melihatnya semenjak ia menyimpan nomor Mas Huda.
Huma pun kembali merebahkan dirinya menatap langit-langit kamar. 'Bahkan aku pun sama sekali tak tau latar belakang kehidupan Mas Huda.' Ia memejamkan mata.
"Kamu nggak ada kerjaan kan, Sayang? Mending ikut bunda yuk," ucap Ratna yang tiba-tiba sudah berada di kamar Huma. Huma bahkan tak menyadari kedatangan bundanya itu.
"Eh, Bunda," Huma langsung mengambil posisi duduk.
"Daripada galau gitu, mending jalan-jalan ke kebun sama bunda," ajak Ratna.
"Siapa juga yang galau, Bunda," ucap Huma sedikit tak terima.
"Kalau nggak galau ya ayok ikut bunda saja."
Huma hanya mengangguk dan menuruti ajakan bundanya itu. Sudah lama juga ia tak melihat perkebunan milik keluarganya itu. Biasanya saat libur tiba, Huma tak pernah melewatkan kesempatan membantu ayah dan bundanya di perkebunan. Atau sekedar melihat pemandangan disana. Namun kepulangannya kali ini, ia sama sekali belum menyempatkan diri datang ke sana.
Perkebunan milik keluarga Huma bisa dibilang lumayan luas. Sedikitnya ada delapan orang yang bekerja di perkebunan itu. Ada banyak jenis sayuran yang ditaman, antara lain sawi, kol, kentang, wortel, cabai-cabaian, dan beberapa buah seperti strawberry dan carica (pepaya gunung).
Setiap harinya, Ratna selalu menyempatkan diri datang ke perkebunan untuk mengecek beberapa tanaman, atau sekedar menyapa para pekerjanya.
"Bunda," ucap Huma pelan.
"Iya, Sayang."
"Dulu kan Bunda nggak pacaran sama ayah. Trus Bunda bisa kenal ayah lebih dekat lewat apa?" tanya Huma kepada Ratna. Mereka kini sedang berjalan diantara tanaman strawberry yang mulai memasak.
"Eeehh? Kamu kenapa tiba-tiba tanya kayak gitu?" tanya Ratna heran.
"Ya nggak papa, Bunda. Cuma penasaran saja," ucap Huma sembari melihat-lihat buah strawberry di samping kanannya.
"Emm ... Dulu ayah dan bunda saling kirim surat biar lebih kenal satu sama lain. Tau sendiri kan dulu belum ada handphone, mana bisa chattingan kaya jaman sekarang."
"Surat cinta, Bunda?"
"Ya bisa dibilang seperti itu. Orang-orang jaman dulu itu beda dengan sekarang. Dulu kalau suka sama seseorang pasti kirimnya lewat surat. Romantis sekali. Tidak seperti anak muda sekarang," ucap Ratna bernostalgia.
"Huma juga pernah dapat surat cinta."
"Oh ya? Dari siapa?" tanya Ratna penasaran.
"Eh." Huma refleks langsung menutup mulut dengan kedua tangannya. Sepertinya ia tadi keceplosan mengatakan sesuatu.
"Udah nggak usah ditutup-tutupin gitu. Udah terlanjur diungkapin tadi juga. Surat cinta dri siapa, Sayang?" tanya Ratna penasaran. Matanya kini menelisik menggoda anaknya itu.
"E-emm ... Dari Mas Huda, Bunda," jawab Huma ragu-ragu.
"Oh ya? Ciyeee ...." goda Ratna.
"Apa si, Bunda ...." Huma kini sedang menahan malu dengan menutupkan kedua tangannya di wajah.
"Hahaha." Ratna senang sekali melihat tingkah lucu anaknya, "ternyata jaman sekarang masih ada ya pemuda yang suka kirim surat."
"Orang udah lama itu kok, Bunda," ucap Huma.
"Tapi romantis banget loh ternyata Huda, ya. Biasanya kalau orang ngasih surat kan kata-katanya puitis gitu kan."
"Aah udah ah, Bun. Nggak usah bahas gituan lagi."
"Loh kamu yang duluan kok, haha."
"Udah ah aku mau ke sana dulu," ucap Huma salah tingkah seraya pergi meninggalkan bundanya.
Sementara Ratna hanya tersenyum menatap anak gadisnya yang ternyata kini sudah sangat dewasa dan sedang merasakan jatuh cinta itu.
******
Brukk!
Huma menjatuhkan tubuhnya diatas sofa. Terduduk di sebelah Sauqi yang sedang asyik bermain PS balap motor gp.
"Capek bangeet," keluh Huma seraya menggelosorkan tubuhnya setengah tertidur dengan kepala bersandar di pinggiran sofa. Alhasil kakinya pun sedikit menendang kaki Sauqi.
"Apaan si, Mbak! Tuh motorku jadi oleng, 'kan!" ucap Sauqi kesal dengan tatapan masih fokus ke layar di depannya itu.
"Lebay si. Baru oleng juga, ngga nyampe jatuh," ucap Huma malas. Tubuhnya kini terasa remek sekali setelah berkeliling perkebunan.
"Ah sial! Jadi kalah kan. Mbak si!" ucap Sauqi yang merasa kesal karena layar PS di depan menunjukkan kata 'You Lose'.
"Kan Mbak nggak sengaja, Qi," jawab Huma masih malas.
Sauqi pun meletakkan stik PS menyudahi permainannya. Ia bangkit dari sofa lalu berjalan menuju ke arah dapur. Tak lama kemudian ia sudah kembali duduk di sofa seraya membawa segelas es jeruk di tangan kanannya.
Layar PS kini sudah berganti menjadi tayangan TV. Sauqi meraih remote yang ada di atas meja. Tangan kirinya mulai sibuk memencet tombol remote, mencari saluran TV yang menarik. Sementara tangan kanannya memegang segelas es jeruk seraya menyeruputnya dengan sedotan.
Melihat hak itu, Huma pun tergoda.
"Qi, bagi dong," ucap Huma yang langsung bangkit dari duduknya. Tangannya segera meraih gelas di tangan Sauqi, dan langsung meminumnya.
Sauqi hanya bisa melongo melihat tingkah kakaknya itu.
"Dasar malas, ambil sendiri napa." Sauqi kembali merebut gelas di tangan kakaknya itu lalu meminumnya sampai habis.
"Dasar pelit!"
"Hahahaha," tawa Sauqi. Senang sekali ia menggoda kakaknya itu.
"Eh Mbak, besok Mbak jadi berangkat ke pesantren?" tanya Sauqi.
"Iya, jadi." Huma mengambil toples isi camilan di atas meja lalu kembali menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa.
"Berangkat jam berapa, Mbak?"
"Mungkin sekitar habis zuhur," jawab Huma dengan posisi badan kini memeluk toples makanan itu.
"Mau Uqi antar, Mbak?" tawar Sauqi.
"Nggak usah. Kamu kan sekolah," jawab Huma, "jangan bilang 'kan bisa bolos'," ucap Huma seraya menirukan gaya Sauqi saat mengucapkan kata itu.
"Hehehe." Sauqi hanya meringis mendengar perkataan kakaknya itu.
Drrrrtt drrrrtt
Ponsel Huma bergetar. Ia segera mengambil ponsel yang tadi ia masukkan ke dalam saku roknya itu. Ada sebuah notifikasi pesan masuk. Dari Mas Huda. Huma tersenyum menatap layar ponselnya itu. Setelah beberapa hari tak ada kabar, akhirnya ada pesan masuk darinya.
"Kesambet, Mbak? Senyum senyum sendiri," ucap Sauqi yang heran melihat tingkah kakaknya itu.
"Enak aja." Huma langsung beranjak meninggalkan ruang tengah menuju kamarnya.
Ia mengambil posisi duduk di atas ranjang dengan punggung menyandar ke dinding. Segera ia buka aplikasi pengirim pesan itu. Ada sebuah pesan baru dari Mas Huda, dan sebuah Grup baru dengan nama emoticon gambar kaktus.
"Grup apa ini? Kenapa bergambar kaktus dan tak ada namanya?"
Huma penasaran dan segera membuka grup baru itu. Sepertinya baru dibuat hari ini. Isinya hanya ada dua anggota. Ia dan Mas Huda.
"Mas Huda yang buat grup ini? Untuk apa?" Huma semakin penasaran.
Lalu dibukanya pesan dari Mas Huda. Pesan yang selama empat hari ini selalu ia tunggu-tunggu.
[Assalamu'alaikum Mbak Huma. Maaf baru mengabari. Habisnya saya takut kalau mau WA Mbak Huma, barangkali nanti mengganggu.]
[Wa'alaikumussalam Mas. Iya nggak papa. Nggak mengganggu kok. Oh ya Mas. Itu grup baru, Mas Huda yang buat?]
[Iya Mbak. Hehe]
[Buat apa Mas?]
[Telpon boleh Mbak? Nanti saya jelaskan.]
"Mas Huda mau nelpon?" guman Huma.
Jantungnya tiba-tiba berdebar cepat. Ia gugup sekali. Tak tau apa yang akan ia katakan nanti saat Mas Huda benar-benar meneleponnya.
[Iya boleh Mas.]
Drrrt drrrt drrrt drrrt
Panggilan masuk dari Mas Huda. Huma amat gugup untuk mengangkatnya, karena ini pertama kalinya ia akan teleponan dengan Mas Huda. Huma menghela napas. "Tenang Ma, tenang," ucapnya seraya menepuk-nepuk dada.
"Assalamu'laikum," ucap Huma pelan.
"Wa'alaikumussalam warohmatulloh," jawab Mas Huda dari seberang telepon, "maaf Mbak, barangkali telepon saya mengganggu waktu istirahat Mbak Huma."
"Eh nggak kok, Mas. Saya juga lagi nggak sibuk."
"Syukurlah..."
"Itu grup gambar kaktus maksudnya apa, Mas?"
"Emm, tentang grup itu. Saya pengen grup itu jadi tempat kita berdua saling mengenal satu sama lain, Mbak," ucap Mas Huda, "nanti setiap hari saya dan Mbak Huma bisa kirim satu atau dua fakta tentang diri masing-masing."
"Fakta apa maksudnya, Mas?"
"Ya tentang apapun yang ingin Mbak Huma beritahukan kepada saya. Bisa tentang biodata diri, kesenangan, keluarga, atau apapun yang sekiranya saya boleh tau tentang Mbak."
"Ooh.. berarti nanti kirimnya di grup itu ya, setiap hari?"
"Iya, Mbak."
"Ooh," Huma mengangguk paham. Namun sebenarnya ia masih bingung dengan maksud Mas Huda itu.
"Jujur saya bukan tipe orang yang senang bermain chat, Mbak. Dan saya rasa, jika kita terlalu sering chattingan, saya takut malah jadi zina hati nantinya," papar Mas Huda.
"Tapi bukan berarti kita nggak perlu chat sama sekali loh, Mbak. Kalau Mbak Huma ada hal yang ingin disampaikan ke saya, silahkan sampaikan saja. Tapi di chat pribadi, bukan di grup."
"Ooh iya iya, Mas."
"Mungkin menurut Mbak Huma cara saya untuk mengenal Mbak ini terdengar aneh. Tapi menurut saya, ini lebih baik dari kita nanti merasa jenuh atau bosan karena terlalu sering chattingan."
"Mbak Huma nggak masalah kan?" tanya Mas Huda dari ujung telepon
"Eh. Iya, Mas. Nggak papa. Saya setuju kok dengan cara Mas Huda ini. Tapi kenapa nama grupnya cuma gambar kaktus ya, Mas?"
"Hehe saya juga nggak tau, Mbak. Saya bingung mau kasih nama apa. Setau saya Mbak Huma kaktus, jadi saya kasih nama itu saja."
"Ada-ada saja Mas Huda ini."
"Hehe nggak papa kan, Mbak?"
"Iya nggak papa kok."
"Terima kasih ya, Mbak. Jujur saya nggak terlalu paham apa yang dilakukan dalam proses ta'aruf. Jadi mungkin inilah cara ta'aruf saya untuk lebih nengenal Mbak Huma. Insya Allah nanti dua atau tiga minggu ke depan saya akan ajak orang tua saya untuk melamar Mbak Huma boleh?"
"Me-melamar saya, Mas?"
"Iya, Mbak. Itu pun kalau Mbak Huma mengizinkan, dan Mbak Huma bersedia melanjutkan proses ta'aruf kita ke jenjang selanjutnya."
Jantung Huma kini berdebar amat keras. Mungkin kalau ponsel yang ia pegang kini didekatkan ke dadanya, Mas Huda bisa mendengar debaran itu dari ujung telepon.
"Eh i-iya, Mas boleh ... Eh maksudnya nanti saya akan pikirkan lagi, Mas."
Huma merutuki diri sendiri. Mengapa ia tadi langsung mengatakan boleh? Seolah-olah ia sudah sangat siap dan berharap Mas Huda datang ke rumahnya. Kini ia amat malu. Kalau ada orang lain di kamarnya tentu bisa melihat pipinya yang kini sudah merah merona.
"Terima kasih banyak ya, Mbak. Sudah mau menerima saya yang hanya seorang tukang ini."
"Mas Huda tidak usah merendah seperti itu. Saya nggak pernah menilai seseorang dari jabatan atau pekerjaannya kok. Saya menerima Mas Huda karena akhlak yang Mas Huda miliki," jawab Huma pelan. Sungguh sebenarnya ia amat malu mengatakan itu tadi.
"Sekali lagi terima kasih ya, Mbak. Saya sangat berharap semoga hubungan kita bisa berlanjut ke pelaminan."
"Iya, Mas. Sama-sama." Kini pipi Huma sudah benar-benar merah merona. Ia tak mampu menahan senyuman di bibirnya itu. Jujur, Huma juga berharap yang sama seperti Mas Huda.
"Ya sudah saya tutup ya, Mbak. Aassalamu'alaikum warohmatulloh wabarokatuh."
"Wa'alaikumussalam warohmatulloh wabarokatuh."
Sambungan telepon pun ditutup. Kini Huma masih senyum-senyum sendiri mengingat percakapannya dengan Mas Huda tadi. Ponselnya ia peluk di depan dada.
"Ah cara berpikir Mas Huda memang tak pernah bisa ditebak. Dia berbeda sekali dengan laki-laki lain. Selalu ada kejutan tak terduga dari setiap tindakannya. Tapi justru setiap tindakannya itu sangat manis dan romantis sekali," gumam Huma.
Ia tak sabar menanti hari-hari dimana ia akan setia menunggu setiap fakta dari Mas Huda tiap harinya. Benar kata Mas Huda. Pasti tak akan ada rasa jenuh atau bosan karena terlalu sering berkirim pesan. Yang ada hanya rasa rindu menanti fakta-fakta itu.
"Kamu memang unik, Mas," senyum Huma.
---------------------------------------------------------
aku suka ceritanya bagus