HUMAIRAH (Gadis Pesantren)

HUMAIRAH (Gadis Pesantren)

PROLOG

PROLOG

"Astaghfirullohal'adzim!" Gadis itu setengah berteriak saat mendengar suara iqamat dari masjid pesantren. Sekilas ia menatap arloji di tangan kanannya. Pukul 11.50 WIB.

"Mengapa tak ada yang membangunkanku? Ah, sial! Jangan sampai aku bolos salat jemaah," ucap gadis bernama lengkap Humairoh Assyifa itu.

Dengan cepat ia memakai kerudung bergo maroon miliknya dan segera berlari ke kamar mandi asrama untuk mengambil air wudhu.

Ia merutuki diri sendiri. Gara-gara tidur mendekati waktu salat zuhur, hampir saja ia melewatkan salat jemaah di masjid. Tidak lucu 'kan jika ia dihukum sendiri, apalagi ia seorang Lurah Pondok di asrama putri. Bisa malu, dan tentu saja akan menjadi contoh yang tidak baik bagi santri lain.

Peraturan di Pondok Pesantren Ash-Shidiq memang mewajibkan seluruh santri untuk menjaga salat jemaah lima waktu di masjid. Jangan tanya apa hukumannya. Tidak tanggung-tanggung, santri putri yang bolos salat jemaat akan langsung dihukum membersihkan seluruh ruangan kamar mandi. Hukuman yang paling dihindari oleh para santri.

Selain malu, yang jelas kamar mandi merupakan tempat yang menurut para santri sangat menyebalkan untuk dibersihkan.

Dengan terburu-buru, Huma segera pergi ke masjid pesantren. "Jangan salam dulu, please," ucapnya. Berharap sang imam belum selesai memimpin salat jemaah.

Ia berdecak kesal. Kamarnya memang terletak paling jauh dari masjid pesantren, sehingga butuh waktu lama untuk sampai ke masjid.

Sesekali ia membetulkan mukena yang tadi hanya dipakai sekenanya saja di dalam kamar.

Terlalu sibuk membetulkan mukena, tanpa sengaja ia menabrak bahu seseorang

Bruk!

"Aaww!" teriak Huma yang sekarang sudah jatuh terduduk di atas tanah.

Huma melirik ke arah orang yang menabraknya tadi. Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu.

"Astaghfirullohal'adzim," lirih Huma yang tersadar dan langsung menundukkan pandangannya.

"Maaf, Mbak. Mbak ngga papa?" ucap seorang pemuda yang menabraknya yang kini sama-sama terjatuh diatas tanah.

Sekilas Huma memperhatikan pemuda itu. Penampilannya sama sekali tak seperti seorang santri. Ia memakai jaket bomber yang dipadukan dengan celana jeans panjang, serta topi baseball menutupi rambutnya. Santri disini mana mungkin boleh berpakaian seperti itu.

"Ngga papa, Mas. Saya juga minta maaf. Saya sedang buru-buru, jadi tadi ngga liat jalan. Saya permisi. Assalamu'alaikum," ucap Huma yang kini berusaha berdiri, dan segera pamit menuju ke masjid.

"Wassalamu'alaikum warohmatulloh," ucap pemuda tersebut sambil berusaha berdiri dan menepuk-nepuk bajunya yang terkena debu.

Pemuda itu tersenyum menatap kepergian gadis yang baru saja menabraknya itu.

"Siapa gadis itu? Mengapa wajahnya selalu terbayang dalam pikiranku? Apa aku sudah jatuh hati dengannya?"

"Apaan si, Huda! Fokus fokus! Kamu kesini itu buat kerja. Bukan buat mikirin wanita!" rutuk pemuda itu pada diri sendiri.

Ia senyum-senyum sendiri mengingat kejadian di halaman masjid tadi.

Hari ini adalah hari pertamanya datang ke pondok pesantren ini. Bukan untuk menjadi santri. Ia adalah seorang tukang bangunan yang hendak membuat menara masjid bersama rekan-rekannya.

Masjid Ash-Shidiq memang sedang dalam proses renovasi. Abah kyai sengaja mendatangkan tukang bangunan dari luar kota untuk memasang menara masjid.

Rencananya, menara tersebut akan dibuat menjulang setinggi 10 meter dari lantai ketiga masjid tersebut. Tentu saja dengan berbagai ukiran dan hiasan yang sudah dipilih oleh abah kyai.

Pemuda itu bersama keempat rekannya mulai hari ini akan membangun menara masjid. Karena berasal dari luar kota, mereka menginap di asrama pondok pesantren.

"Bang! Bang! Bang Huda! Jangan ngelamun, Bang. Nanti kesambet loh," ucap Heru, salah satu rekan tukang pemuda itu, setengah berteriak. Ia mengayunkan tangan kanannya di depan wajah pemuda bernama Huda itu.

"E-eh, ngagetin aja." Pemuda bernama lengkap Miftahul Huda itu tersadar dari lamunannya saat rekan sesama tukang bangunannya tersebut berteriak di depan wajahnya.

"Kenapa, Bang? Habis liat setan po?" tanya Heru seraya membenarkan posisinya agar duduk di sebelah Huda.

"Bukan liat setan. Tapi habis liat bidadari," balas Huda seraya tertawa kecil memamerkan deretan gigi putihnya.

"Hebat nih Bang Huda, baru hari pertama datang ke pesantren ini, udah ketemu bidadari. Ajak-ajak saya napa, Bang," ucap Heru terkekeh mendengar jawaban dari Huda.

"Hahaha takutnya kalau nanti bidadarinya ketemu kamu, malah dia kabur gimana," ledek Huda. Kali ini ia tertawa melihat ekspresi muka Heru yang berdecak mendengar jawaban darinya. Mereka tertawa bersama-sama.

******

Sementara itu di asrama putri, tampak Huma dan santri-santri lain sedang duduk di atas ranjang mereka.

"As, kenapa tadi aku ngga dibangunin si? Hampir bolos salat zuhur jemaah tadi kan. Untung masih nemu satu rakaat," ucap Huma dengan nada sedikit kesal ke sahabatnya tersebut.

"Sorry, Ma. Tadi aku pikir kamu masih haid jadi ngga ku bangunin. Lagian kamu tidurnya nyenyak banget, 'kan ngga tega banguninnya," ucap Asma membela diri seraya menunjukkan wajah memelasnya berharap Huma tidak marah padanya.

"Kan tadi pagi kamu tau sendiri kalau aku udah mandi suci," balas Huma masih sedikit kesal.

"Iya iya deh, maaf yaa.. aku lupa. Jangan marah dong, nanti cantiknya hilang loh, hehe," ucap Asma seraya memeluk sahabatnya itu.

Huma dan Asma memang sudah sahabatan sejak mereka sama-sama baru masuk pesantren ini, yaitu saat kelas X MA. Dan sekarang mereka sudah menjadi seorang mahasiswa semester akhir. Meskipun kuliah diluar pesantren dan berbeda kampus juga jurusan, mereka tetap tinggal di pesantren. Karena bagi mereka, ilmu dunia harus selalu diimbangi dengan ilmu akhirat.

"Iya iya deh, ngga marah kok. Mana mungkin aku bisa marah sama Asma yang comel ini." Huma membalas pelukan dari sahabatnya itu. Persahabatan mereka memang seperti amplop dan perangko, selalu menempel.

"Ya Allah, As! Aku lupa. Aku ada jadwal bimbingan dengan dosbingku." Huma melepas pelukan Asma lantas melirik arloji di tangannya. Pukul 13.10 WIB. "Masih ada waktu 20 menit lagi."

"Ya udah buruan gih siap-siap, nanti telat dimarahin dosbing kamu," ucap Asma.

Huma langsung menuju lemari pakaiannya, mengambil gamis warna tosca dengan jilbab yang senada dan berlalu menuju kamar mandi untuk mengganti pakaian.

Setelah dirasa siap, Huma pun meraih tas berisi laptop dan ponsel miliknya diatas lemari.

Semua santri sebenarnya dilarang untuk membawa alat-alat elektronik semacam laptop dan handphone saat berada di lingkungan pondok pesantren.

Namun peraturan ini dikecualikan untuk santri yang bertitle mahasiswa, atau lebih sering disebut mahasantri yang notabene banyak tugas kuliah dan memerlukan alat komunikasi untuk info jadwal kuliah dan sebagainya. Dengan catatan, setiap pukul 18.00 WIB HP wajib dikumpulkan ke pengurus dan boleh diambil kembali esok hari pukul 06.00 WIB.

Huma melirik arlojinya lagi, 13.15 WIB. Ia segera keluar kamar untuk berangkat, karena perjalanan dari pesantren menuju kampusnya memakan waktu 10 menit. Ia tidak mau mendapat kemarahan dari dosbingnya hanya karena terlambat janjian.

"Aku berangkat dulu ya, As. Assalamu'alaikum," ucap Huma sambil berlalu meninggalkan kamar.

"Wa'alaikumussalam. Hati-hati," balas Asma yang ucapannya kini hanya didengar oleh angin lalu karena yang diajak bicara sudah langsung menghilang keluar kamar. "Huft".

Asma pun menyelonjorkan kakinya, lalu terbaring diatas ranjang kecil miliknya. Ia mulai menutup mata seraya mengucapkan do'a untuk tidur sejenak menunggu jam madrasah datang.

"Assalamu'alaikum," teriak seseorang dari depan pintu dan langsung saja masuk saja ke dalam kamar.

Asma dikejutkan dengan suara salam tersebut, "Siapa si? Baru nutup mata juga," gumamnya. Ia membuka mata.

"Huma? Kok udah pulang?" tanya Asma.

"Berangkat aja belum. Kunci motor aku ketinggalan." Huma sibuk mencari kunci motornya. Setelah ketemu, ia langsung menghilang pergi keluar kamar tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Dasar tuh anak. Datang tak dijemput pulang tak diantar. Kayak jaelangkung." Asma menghela napasnya kemudian melanjutkan tidurnya yang tadi terganggu oleh Huma.

******

"Ya Allah, ini motor kenapa si," ucap Huma. Kini ia berada di parkiran pesantren, sedang berusaha menyetater sepeda motor Beat merah miliknya yang entah kenapa sedang tidak bersahabat dengannya.

Arloji di tangan kanannya sudah menujukkan pukul 13.20 WIB. "Mana waktu tinggal sepuluh menit lagi. Ayo dong nyala." Huma masih tetap berusaha menyetater sepeda motornya.

"Kenapa sepeda motornya, Mbak? Ada yang bisa saya bantu?"

Terdengar suara seseorang di belakang Huma yang bertanya padanya. Huma pun berbalik hendak melihat siapa orang itu.

Deg!

Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu.

Huma begitu kaget saat melihat orang yang menyapanya itu adalah pemuda yang ia tabrak tadi. Seketika ia tersadar dan langsung menundukkan pandangannya.

Begitupun dengan Huda. Jantung Huda kini benar-benar berdebar tak karuan. Seperti ada ratusan petasan di dalam hatinya.

Terpopuler

Comments

Bowiii

Bowiii

ceritanya bagus kak aku suka sukses selalu terima kasih /Kiss/

2024-05-20

0

Bowiii

Bowiii

ceritanya bagus kak 👍

2024-05-20

0

Ilmara

Ilmara

Hai kak, mampir juga yuk ke karya-karya aku.
aku suka ceritanya bagus

2023-08-18

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!