NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Larasati dan Reza Semakin Dekat

Setelah Julian pergi—dengan janji untuk tetap mendukung Larasati apapun yang terjadi—rumah itu terasa terlalu sepi, terlalu besar, terlalu penuh dengan hantu dari kehidupan yang sudah hancur. Larasati berdiri di tengah ruang tamu yang kemarin jadi medan perang verbal, menatap foto-foto pengkhianatan Gavin yang masih tersebar di sofa, dan merasakan sesuatu di dadanya remuk lagi.

Dia tidak bisa di sini. Tidak malam ini. Tidak sendirian dengan semua ini.

Dengan gerakan yang hampir otomatis—seperti orang yang berjalan dalam mimpi—Larasati naik ke kamar, ambil tas kecil, isi dengan beberapa pakaian dan kebutuhan dasar. Dia tidak berpikir. Hanya bergerak. Karena kalau dia berhenti dan berpikir, dia akan runtuh lagi. Dan dia sudah terlalu lelah untuk runtuh.

Ponselnya di tangan, jemari melayang di atas kontak. Dia hampir telepon Aurellia—tapi sahabatnya punya keluarga sendiri, punya hidup sendiri. Dia tidak mau jadi beban lebih dari yang sudah.

Lalu matanya jatuh pada nama Reza.

Reza yang kemarin dia bilang dia butuh waktu sendiri. Reza yang mungkin sedang khawatir. Reza yang... yang menawarkan sesuatu yang Gavin sudah lama tidak berikan: kehadiran. Perhatian. Kehangatan.

Sebelum dia bisa overthink, Larasati tekan tombol telepon.

Dua nada, lalu suara Reza—cemas, waspada. "Lara? Kamu baik-baik saja? Aku khawatir sejak kemarin kamu—"

"Aku..." Suara Larasati pecah sebelum dia sempat melanjutkan. "Aku... aku tidak bisa di rumah malam ini, Reza. Aku tidak bisa... aku tidak kuat—"

"Kamu di mana sekarang?" Suara Reza langsung berubah jadi mode protektif—tegas tapi lembut. "Lara, dengar, apapun yang terjadi, kamu tidak sendirian. Aku akan jemput kamu sekarang. Kamu di rumah?"

Larasati mengangguk meski Reza tidak bisa lihat. "Iya. Tapi... tapi Reza, aku tidak mau... aku tidak mau ganggu kamu—"

"Kamu tidak ganggu," potong Reza firm. "Tunggu aku. Lima belas menit. Jangan kemana-mana."

Line mati. Dan Larasati berdiri di kamarnya—kamar yang dulunya jadi sanctuary tapi sekarang hanya penuh dengan kenangan menyakitkan—dengan tas di tangan dan hati yang berdetak cepat karena campuran lega dan takut.

Dia tulis note cepat untuk Ziva: _"Aku akan nginap di luar malam ini. Tolong jaga Abi. Aku akan jemput dia besok pagi."_

Lalu dia turun, tutup semua lampu, dan tunggu di teras—tidak mau di dalam rumah lebih lama dari yang harus.

Tepat lima belas menit kemudian, mobil Reza masuk ke halaman. Dia turun dengan cepat, berjalan menghampiri Larasati yang berdiri di teras dengan tas kecil dan wajah yang pucat di bawah lampu teras.

"Lara," bisik Reza, langsung tarik dia ke pelukan. "Apa yang terjadi? Kamu kelihatan... Ya Allah, kamu gemetar."

Larasati tidak sadar dia gemetar sampai Reza bilang. Tubuhnya bergetar—bukan karena dingin, tapi karena shock yang delayed, karena semua yang terjadi dalam dua hari terakhir akhirnya menghantam sekaligus.

"Ayo," kata Reza lembut, membimbing dia ke mobil. "Kita keluar dari sini dulu. Kamu bisa cerita nanti."

---

Reza tidak membawa Larasati ke apartemennya—terlalu pribadi, terlalu banyak implikasi. Dia bawa dia ke hotel mewah di kawasan Sudirman—hotel bintang lima dengan privasi terjamin dan service yang tidak akan bertanya terlalu banyak.

Mereka check in dengan Larasati duduk di lobi sambil Reza urus semua administrasi. Dia tidak protes saat Reza pesan suite dengan dua kamar tidur—memberikan opsi untuk Larasati punya space sendiri kalau dia butuh.

Di lift menuju lantai 28, mereka diam. Reza sesekali melirik Larasati yang berdiri dengan tas dipeluk di dada seperti pelindung, mata menatap kosong pada angka lantai yang terus naik.

Kamar suite luas dan mewah—ruang tamu dengan sofa besar dan TV layar datar, dua kamar tidur terpisah dengan ranjang king-size masing-masing, pemandangan kota Jakarta yang berkelip dari jendela besar. Tapi Larasati tidak melihat apa-apa. Dia hanya berjalan ke sofa dan duduk dengan gerakan seperti boneka—tidak ada energi, tidak ada kehidupan.

Reza duduk di sebelahnya—tidak terlalu dekat untuk invasif tapi cukup dekat kalau Larasati butuh. "Lara," katanya pelan. "Cerita sama aku. Apa yang terjadi?"

Dan Larasati cerita. Semua. Tentang confrontation dengan Gavin kemarin. Tentang bukti-bukti yang dia tunjukkan. Tentang teriakan, tangisan, pengakuan setengah hati. Tentang Julian yang datang pagi tadi, tentang Gavin yang masih mau fight dirty untuk custody meski sudah ketahuan.

Setiap kata keluar dengan susah payah—seperti meludahkan racun yang terlalu lama tersimpan. Dan semakin banyak dia cerita, semakin kencang tubuhnya bergetar, sampai akhirnya—di tengah kalimat tentang bagaimana Gavin planning untuk label dia tidak stabil—suaranya pecah total.

"Aku... aku sudah kasih dia segalanya," isak Larasati, air mata mengalir deras sekarang—tidak bisa ditahan lagi. "Delapan tahun. Delapan tahun aku jadi istri yang sempurna. Dan dia... dia masih mau hancurkan aku. Dia masih mau ambil Abi dariku. Kenapa? Kenapa dia benci aku sebesar ini? Apa yang aku lakukan sampai dia rela hancurkan aku seluruhnya?"

Reza tidak jawab dengan kata-kata. Dia tarik Larasati ke pelukannya—pelukan yang erat, yang hangat, yang membuat Larasati merasa—untuk pertama kalinya dalam berhari-hari—aman.

Dan dia menangis. Menangis dengan intensitas yang membuat seluruh tubuhnya bergetar, dengan suara yang pecah dan tidak terkendali, dengan rasa sakit yang sudah terlalu lama dia tahan. Dia menangis untuk delapan tahun yang terbuang. Untuk cinta yang tidak dihargai. Untuk pengorbanan yang tidak dilihat. Untuk mimpi yang hancur. Untuk perempuan yang dia dulu—perempuan yang percaya pada cinta dan kesetiaan dan selamanya—yang sudah mati di tangan pria yang berjanji untuk melindunginya.

Reza peluk dia selama dia menangis—tangan mengusap punggungnya dengan ritme yang menenangkan, bisikan lembut di telinga tentang "kamu tidak sendirian, aku di sini, kamu akan baik-baik saja" yang mungkin tidak sepenuhnya benar tapi terdengar seperti doa yang Larasati butuhkan untuk dengar.

Entah berapa lama mereka duduk seperti itu. Mungkin sepuluh menit. Mungkin satu jam. Waktu kehilangan arti saat kamu tenggelam dalam kesedihan yang begitu dalam.

Akhirnya tangis Larasati mereda jadi isakan pelan, lalu jadi keheningan yang terengah-engah. Dia angkat kepala dari dada Reza—dada yang sekarang basah oleh air matanya—dan lihat wajah pria itu yang menatapnya dengan tatapan yang begitu lembut, begitu penuh perhatian, sampai membuat sesuatu di dada Larasati yang sudah mati mulai berdetak lagi.

"Maaf," bisik Larasati, suaranya serak. "Maaf aku... aku tidak bermaksud untuk—"

"Jangan minta maaf," potong Reza, tangan naik untuk mengusap air mata di pipi Larasati dengan ibu jarinya. "Kamu tidak perlu minta maaf untuk merasa. Untuk menangis. Untuk hancur setelah semua yang kamu lewatin."

"Aku merasa lemah," kata Larasati, menatap tangannya yang gemetar di pangkuannya. "Aku benci merasa lemah."

"Kamu tidak lemah," kata Reza dengan conviction yang membuat Larasati menatapnya. "Kamu perempuan terkuat yang aku kenal, Lara. Kamu survive bertahun-tahun dengan suami yang mengkhianatimu. Kamu jaga anak sendirian sambil suamimu sibuk dengan selingkuhannya. Kamu kumpulkan bukti dengan hati yang patah. Kamu confront Gavin dengan berani. Kamu fight untuk anakmu. Itu bukan lemah. Itu... itu superhuman."

Kata-kata itu—diucapkan dengan tulus, tanpa agenda tersembunyi—membuat sesuatu di dada Larasati mencair. Dia tidak tahu kapan terakhir kali seseorang bilang dia kuat. Kapan terakhir seseorang lihat dia bukan sebagai istri yang harus patuh atau ibu yang harus sempurna, tapi sebagai perempuan yang layak untuk dihargai.

"Lara," bisik Reza, dan ada sesuatu di nada suaranya yang membuat jantung Larasati berdetak lebih cepat. "Aku tahu timing-nya buruk. Aku tahu kamu lagi dalam proses untuk... untuk keluar dari pernikahan yang toxic. Tapi aku harus bilang ini sekarang karena kalau aku tidak bilang, aku akan menyesal selamanya."

Larasati menatapnya, tidak bernapas, menunggu.

"Aku jatuh cinta sama kamu," kata Reza, mata terkunci pada matanya. "Bukan sekarang. Bukan karena kamu vulnerable. Tapi sejak lama. Sejak sepuluh tahun lalu di pesta kampus itu saat aku lihat kamu tertawa dengan teman-temanmu dan aku pikir kamu perempuan tercantik yang pernah aku lihat. Sejak Gavin datang dan claim kamu sebagai pacarnya dan aku harus pretend aku tidak merasa apa-apa. Sejak pernikahan kalian di mana aku jadi saksi dan aku berdoa supaya Gavin treat kamu dengan baik karena aku tidak bisa. Aku jatuh cinta sama kamu bertahun-tahun yang lalu, Lara. Dan aku tidak pernah berhenti."

Kata-kata itu menggantung di udara—confession yang terlambat sepuluh tahun, confession yang datang di waktu yang paling complicated, tapi confession yang terasa... benar.

"Reza..." Suara Larasati tidak lebih dari bisikan. "Aku... aku tidak tahu harus bilang apa."

"Kamu tidak harus bilang apa-apa," kata Reza cepat. "Aku tidak expect kamu untuk bilang kamu cinta aku juga. Aku tidak expect apapun. Aku cuma... aku cuma mau kamu tahu. Mau kamu tahu bahwa kamu dicintai. Bahwa kamu berharga. Bahwa kamu deserve semuanya yang Gavin tidak kasih."

Larasati merasakan air mata mengalir lagi—tapi kali ini bukan air mata kesedihan. Air mata untuk sesuatu yang dia tidak bisa namai, sesuatu yang terasa seperti hope di tengah kehancuran.

"Aku tidak tahu apa yang aku rasakan," bisik Larasati jujur. "Semuanya... semuanya terlalu banyak. Terlalu complicated. Aku tidak tahu apakah ini... apakah ini cinta atau cuma... cuma desperate need untuk tidak sendirian."

"Tidak apa-apa," kata Reza, menggenggam tangannya dengan lembut. "Kamu tidak harus tahu sekarang. Kamu boleh butuh waktu. Kamu boleh bingung. Yang penting—yang paling penting—adalah kamu tahu bahwa aku di sini. Bukan karena aku mau ambil advantage dari situasimu. Tapi karena aku peduli. Karena aku mau support kamu. Karena aku... karena aku sudah menunggu sepuluh tahun untuk bisa bilang aku cinta kamu, dan sekarang aku tidak mau tunggu lagi."

Larasati menatap pria di depannya—pria yang gentle tapi kuat, yang sabar tapi passionate, yang menawarkan cinta tanpa syarat di saat dia paling butuh.

Dan tanpa berpikir—tanpa analisa, tanpa pertimbangan rasional—dia mencium Reza.

Ciuman yang dimulai sebagai sentuhan lembut, tentative, tapi dengan cepat berubah jadi sesuatu yang lebih dalam, lebih desperate. Larasati merasa sesuatu di dalam dirinya yang sudah mati mulai hidup lagi—hasrat yang tidak hanya fisik tapi emosional, kebutuhan untuk merasa wanted, untuk merasa dicintai, untuk merasa hidup.

Reza balas ciuman dengan intensitas yang sama, tangan di wajah Larasati, menarik lebih dekat sampai tidak ada space di antara mereka.

Mereka lepas hanya untuk bernapas, dahi bertemu, mata tertutup, napas bercampur.

"Lara," bisik Reza, suaranya serak dengan hasrat yang barely terkendali. "Kamu yakin? Karena kalau kita lanjut... aku tidak mau kamu menyesal. Aku tidak mau kamu merasa aku ambil advantage—"

"Aku yakin," potong Larasati, membuka matanya untuk menatap Reza. "Aku butuh ini. Aku butuh kamu. Tolong... tolong buat aku lupa. Tolong buat aku merasa... merasa seperti aku masih worth something."

"Kamu worth everything," bisik Reza, lalu dia angkat Larasati—mudah karena dia memang ringan—dan bawa ke kamar tidur terdekat.

---

Di kamar yang hanya diterangi oleh lampu kota dari jendela besar, mereka berbagi sesuatu yang lebih dari sekadar fisik. Reza memperlakukan Larasati seperti dia adalah hal paling berharga di dunia—setiap sentuhan lembut, setiap ciuman penuh perhatian, setiap bisikan tentang betapa cantiknya dia, betapa sempurnanya dia.

Tidak seperti dengan Gavin yang terakhir—yang mekanis dan kosong. Ini penuh dengan emosi, dengan koneksi, dengan sesuatu yang terasa seperti... seperti pulang setelah tersesat terlalu lama.

Mereka bercinta dengan intensitas yang datang dari bertahun-tahun penantian—dari Reza yang akhirnya bisa mengungkapkan perasaan yang dia simpan sepuluh tahun, dari Larasati yang akhirnya merasakan dicintai dengan cara yang tulus dan tidak bersyarat.

Dan kali ini, tidak ada ragu. Tidak ada rasa bersalah. Hanya ada mereka berdua—dua jiwa yang terluka menemukan penyembuhan di tangan satu sama lain.

Mereka klimaks bersama dengan nama masing-masing di bibir, dengan tubuh yang bergetar karena pleasure yang begitu intens sampai hampir menyakitkan, dengan perasaan yang terlalu complicated untuk diurai tapi terasa... terasa benar.

Setelahnya, mereka berbaring dengan tubuh bertaut, Larasati di pelukan Reza, kepala di dadanya mendengar detak jantung yang steady dan menenangkan.

"Terima kasih," bisik Larasati di kegelapan.

"Untuk apa?"

"Untuk membuat aku merasa hidup lagi."

Reza cium keningnya—ciuman lembut yang berbicara tentang janji, tentang perlindungan, tentang sesuatu yang mungkin bisa jadi masa depan.

"Kamu selalu hidup, sayang," bisiknya. "Kamu cuma butuh seseorang yang lihat itu."

Mereka tertidur seperti itu—tertaut, terhubung, menemukan ketenangan di tengah badai yang belum selesai.

Tapi di tengah malam, Larasati terbangun dengan hasrat yang belum terpuaskan, dengan kebutuhan untuk merasa wanted lagi dan lagi. Dia bangunkan Reza dengan ciuman, dengan sentuhan, dan mereka bercinta lagi—kali ini lebih lambat, lebih eksplorasi, lebih tentang menikmati setiap detik daripada desperate need.

Dan lagi di dini hari—saat Jakarta mulai bangun dengan bunyi klakson jauh dan cahaya matahari pertama—mereka menemukan satu sama lain sekali lagi, dengan kelelahan yang nikmat dan kepuasan yang membuat semuanya terasa worth it.

---

Keesokan paginya, Larasati terbangun dengan cahaya matahari penuh memenuhi kamar, dengan tubuh yang terasa berbeda—sore tapi satisfied, lelah tapi hidup.

Reza masih tidur di sebelahnya, wajah damai dalam tidur, lengan masih melingkar di pinggangnya seperti tidak mau lepas bahkan dalam tidur.

Larasati menatap langit-langit kamar hotel, merasakan campuran emosi yang complicated. Rasa bersalah—karena dia secara teknis masih menikah, karena ini technically adultery bahkan kalau pernikahannya sudah mati. Tapi juga lega—lega karena dia tidak sendirian lagi, karena ada seseorang yang genuinely peduli, karena untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun dia merasa seperti dia bukan hanya istri atau ibu, tapi perempuan yang layak untuk dicintai.

Reza bergerak, matanya terbuka perlahan, lalu tersenyum saat lihat Larasati menatapnya.

"Pagi," bisiknya, suaranya serak dari tidur.

"Pagi," balas Larasati, dan untuk pertama kalinya dalam berhari-hari, senyumnya genuine.

"Kamu... kamu menyesal?" tanya Reza hati-hati, tangan mengusap lengan Larasati dengan lembut.

Larasati berpikir sejenak, jujur pada dirinya sendiri. "Tidak," katanya akhirnya. "Aku tidak menyesal. Aku... aku merasa bersalah. Karena ini complicated dan messy dan timing-nya buruk. Tapi aku tidak menyesal. Karena semalam... semalam aku merasa dicintai. Dan aku butuh itu. Aku butuh kamu."

Reza tarik dia lebih dekat, cium keningnya. "Kamu tidak perlu merasa bersalah. Pernikahanmu dengan Gavin sudah berakhir sejak lama. Kamu tidak mengkhianati dia—dia yang mengkhianati kamu terlebih dulu. Kamu cuma... kamu cuma menemukan kebahagiaan di tempat yang tidak expected. Dan tidak ada yang salah dengan itu."

Larasati ingin percaya itu. Ingin percaya bahwa dia tidak jadi perempuan jahat karena tidur dengan pria lain sementara masih secara legal menikah. Tapi bagian dari dirinya—bagian yang dibesarkan dengan nilai-nilai tradisional, dengan konsep tentang kesetiaan dan pernikahan—berbisik bahwa ini salah.

Tapi bagian lain—bagian yang sudah terlalu lama terluka, terlalu lama diabaikan—berbisik bahwa dia layak untuk bahagia. Bahwa dia sudah memberi Gavin bertahun-tahun kesempatan. Bahwa dia sudah cukup menderita.

"Aku harus jemput Abi," kata Larasati akhirnya, duduk di tepi ranjang. "Ziva jaga dia semalam. Dia pasti khawatir."

"Oke," kata Reza, ikut duduk. "Aku antar kamu."

"Kamu tidak harus—"

"Aku mau," potong Reza dengan senyum. "Dan Lara... apapun yang terjadi selanjutnya, apapun yang kamu putuskan tentang kita, tentang masa depanmu... aku akan di sini. Selalu. Kamu tidak sendirian lagi."

Kata-kata itu membuat sesuatu di dada Larasati hangat—kehangatan yang sudah lama tidak dia rasakan.

Mereka bersiap dengan gerakan yang sync, dengan comfort level yang biasanya butuh bertahun-tahun untuk develop tapi somehow terasa natural untuk mereka.

Dan saat mereka keluar dari hotel—dengan cahaya matahari Jakarta yang terik menyambut, dengan kehidupan kota yang terus berjalan tidak peduli drama personal siapapun—Larasati merasa sesuatu berubah di dalam dirinya.

Dia bukan lagi istri yang patuh yang menunggu suami pulang.

Dia bukan lagi perempuan yang hancur karena pengkhianatan.

Dia adalah perempuan yang fight back. Yang mencari kebahagiaannya sendiri. Yang tidak akan jadi korban lagi.

Dan dengan Reza di sampingnya—atau bahkan tanpa Reza kalau ternyata mereka tidak meant to be—dia akan survive ini.

Dia akan lebih dari survive.

Dia akan thrive.

---

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!