"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran Beberapa Tahun Lalu
Semenjak Rendra bertemu Ameera, Hari-hari yang ia lalui menjadi tidak tenang. Pikiran dan hatinya terus memikirkan wajah Ameera yang begitu mirip perpaduan dengan Rendra dan Laras.
Bukan hanya wajahnya, tapi Rendra merasakan sesuatu yang berbeda ketika memeluk gadis kecil itu.
"Kenapa aku jadi seperti ini?"
Rendra mengingat kejadian delapan tahun lalu.
- Flasback on -
Saat itu dirinya baru selesai menemani Aurel check up kandungannya. Rendra sangat merindukan Laras, entah mengapa hatinya ingin segera pulang. Rendra pulang menjelang malam. Saat ia sampai di halaman rumahnya, tampak rumah itu berbeda.
Rumah itu menyambutnya dengan sunyi yang tak biasa. Tak ada aroma masakan, tak ada suara langkah kecil Laras, tak ada sapaan lembut yang biasanya menenangkannya setelah hari yang melelahkan.
“Laras?” panggilnya pelan.
Tak ada jawaban.
Rendra berjalan menyusuri setiap sudut rumah—dapur, ruang tamu, halaman belakang. Kosong. Sunyi. Seolah rumah itu tak lagi berpenghuni.
Langkahnya terhenti di kamar.
Di atas meja kecil, tergeletak secarik kertas.
Tangan Rendra gemetar saat meraihnya. Begitu matanya membaca baris demi baris tulisan Laras, tubuhnya seketika mematung.
“Maaf, Mas. Aku pergi. Jangan pernah cari aku. Aku sudah bahagia dengan pilihanku.”
Dunia Rendra runtuh dalam satu tarikan napas.
Kepalanya dipenuhi ribuan kemungkinan, dan satu pemikiran paling menyakitkan menancap kuat—Laras pergi bersama pria lain.
Dadanya sesak. Nafasnya tercekat.
Ia teringat perubahan sikap Laras, jarak yang tak pernah ia pahami, dingin yang ia kira hanya karena kehilangan ibu.
Kini semuanya terasa masuk akal—terlalu masuk akal untuk diterima.
Rendra terduduk lemas di tepi ranjang. Jemarinya mencengkeram kertas itu kuat-kuat, seolah bisa menarik Laras kembali hanya dengan mengerutkannya.
“Apa aku terlambat?” lirihnya, nyaris tak bersuara.
Air mata jatuh tanpa izin.
Untuk pertama kalinya, Rendra merasakan rasa kehilangan yang utuh, kehilangan tanpa penjelasan, tanpa kesempatan memperbaiki, tanpa tau bahwa perempuan yang pergi darinya sedang mengandung darah dagingnya sendiri.
Dan malam itu, Rendra baru menyadari satu hal yang paling kejam, ia kehilangan Laras bukan karena ia pergi.... tetapi karena ia telah lebih dulu menghancurkan hatinya sendiri.
Keesokan harinya, Rendra terbangun dengan tubuh menggigil. Ia terkapar di lantai dingin—tempat ia tertidur semalaman tanpa sadar. Kepalanya berat, tenggorokannya kering, dan matanya sembab oleh tangis yang tak henti sejak Laras pergi.
Penampilannya kacau. Rambut berantakan, wajah pucat, dan perutnya kosong, ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali makan. “Laras…” suaranya serak. “Kenapa kamu pergi ninggalin aku? Apa salah aku, Ras?”
Tangannya mengepal kuat, menggenggam surat itu lagi. Tulisan Laras seperti pisau yang terus mengiris hatinya.
Aku percaya sama kamu…
Lebih baik sepi tanpa kamu daripada mencari kesenangan dengan orang lain.
“Kalau begitu… ini apa, Laras?” suara Rendra bergetar, lalu berubah menjadi teriakan. “Kamu pergi! Kamu bohong, Laras!”
Amarah yang bercampur putus asa meledak. Ia menyapu meja rias, menjatuhkan barang-barang milik Laras ke lantai. Kaca pecah, namun dadanya terasa lebih hancur dari itu.
“Aku harus cari kamu!” teriaknya putus asa. “Aku mau kamu jelasin semuanya ke aku! Aku… aku gak mau kehilangan kamu, Laras!”
Tanpa memedulikan tubuhnya yang demam dan lemah, Rendra meraih kunci mobil. Ia harus menemukan jawaban—satu-satunya tempat yang terlintas di kepalanya hanyalah rumah Hendrawan, ayah mertuanya.
Sesampainya di desa, rumah Hendrawan tampak sunyi. Terlalu sunyi.
Padahal Rendra tau, pada jam seperti ini Hendrawan biasanya sudah berangkat ke kebun. Rendra mengetuk pintu berkali-kali. Tak ada jawaban.
Frustrasi menguasainya.
“Brak!”
Ia menendang kursi kayu di teras rumah.
Seorang tetangga yang kebetulan melintas berhenti. “Maaf, Pak… nyari siapa?”
Rendra mengangkat wajahnya. “Saya Rendra, menantunya Pak Hendrawan.”
“Oh… Nak Rendra,” tetangga itu tampak terkejut. “Nyari Pak Hendrawan, ya? Dia sudah pergi dua hari yang lalu. Rumah ini mau dijual.”
Deg.
“Dijual, Pak?” suara Rendra melemah. “Beliau pergi sendiri?”
“Iya. Pergi sendiri.”
“Bapak tau sekarang beliau di mana?”
Tetangga itu menggeleng. “Gak tau. Dia cuma bilang mau pergi. Kalau rumah ini ada yang mau beli, urusannya lewat saya.”
Rendra terdiam. “Dua hari yang lalu… Bukannya istri beliau baru meninggal lima hari lalu?”
“Iya, betul.”
“Terima kasih, Pak.”
“Ya, sama-sama.”
Rendra melangkah pergi dengan langkah gontai.
Kini ia semakin yakin—Laras pergi bersama ayahnya.
Lalu surat itu…?
Kepalanya penuh tanda tanya, namun tak satu pun memiliki jawaban.
Dengan sisa tenaga, Rendra kembali melajukan mobilnya, terus menyusuri jalanan, berharap menemukan Laras meski ia tahu peluang itu hampir mustahil. Laras sudah pergi dua hari lalu. Terlalu jauh.
Tubuhnya semakin lemah. Pandangannya berkunang-kunang. Kepala terasa berdenyut hebat.
Dan kemudian—semuanya gelap.
Brak!
Mobil Rendra menabrak pohon di pinggir jalan.
Beberapa orang berlarian mendekat, menolongnya, dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat.
Sesampainya di rumah sakit, Rendra langsung ditangani tim medis.
Dokter yang menangani kasusnya tertegun sejenak saat melihat wajah pria di hadapannya. Itu Tari—sahabat Laras.
Sesaat keterkejutan itu terlihat jelas di wajahnya, namun Tari segera menguasai diri. Ia menarik napas panjang, menyingkirkan urusan pribadi, dan kembali bersikap profesional.
Karena di ruang itu, yang ada bukan suami sahabatnya—
melainkan seorang pasien yang sedang berjuang antara hidup dan rasa bersalah.
***
Kesadaran Rendra perlahan kembali. Kelopak matanya bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka. Cahaya putih menyilaukan membuatnya menyipit. Bau antiseptik menusuk hidungnya, disusul suara alat medis yang berdetak teratur.
Rumah sakit.
Dadanya terasa sesak, kepalanya masih berdenyut. Saat ia mencoba bergerak, rasa nyeri menjalar di sekujur tubuhnya. Tangannya terpasang infus, dan beberapa perban melilit lengannya. “Laras…” lirihnya refleks.
Nama itu keluar begitu saja, seolah menjadi satu-satunya hal yang masih hidup dalam pikirannya.
Ia mengedarkan pandangan, berharap—meski kecil—perempuan itu berdiri di sana. Namun yang ia temukan hanyalah ruang kosong dan kesunyian yang kembali menamparnya dengan keras.
Kenangan semalam sebelum kecelakaan menyeruak. Surat. Rumah yang kosong. Kepergian Laras.
Air matanya menggenang. “Aku gagal jaga kamu…” bisiknya lemah. “Aku terlambat…”
Napasnya bergetar, dadanya naik turun menahan rasa sakit yang tak kasatmata. Bukan luka akibat kecelakaan yang paling menyiksanya—melainkan penyesalan yang kini tak tahu harus ia tebus kepada siapa.
Dan di ranjang rumah sakit itu, Rendra akhirnya sadar sepenuhnya, ia masih hidup… namun kehilangan yang paling berharga dalam hidupnya.
***
Pintu ruang perawatan terbuka perlahan.
Tari masuk sambil membawa catatan medis, wajahnya kembali datar dan profesional. Ia memeriksa infus, tekanan darah, lalu menyorot wajah Rendra yang sudah siuman.
“Syukurlah, kamu sudah sadar,” ucapnya tenang. “Kondisimu sempat cukup mengkhawatirkan. Demam tinggi, dehidrasi, dan kelelahan berat.”
Rendra hanya mengangguk lemah. Kepalanya masih terasa berat. "Bukankah kamu Tari, sahabat Laras?"
Tari menutup map di tangannya, lalu menatap Rendra sedikit lebih lama. Ada keraguan di matanya—bukan sebagai dokter, tapi sebagai sahabat Laras. "Iya betul. Di mana Laras?” tanyanya akhirnya. “Kamu sudah kasih tahu dia?”
Pertanyaan itu membuat dada Rendra kembali terasa sesak. Tatapannya kosong, lalu perlahan beralih ke arah jendela.
Tari mengernyit. “Rendra?”
“Kami… lagi ada masalah,” jawab Rendra singkat, nyaris tak bersuara.
Tari terdiam sejenak, lalu mendekat. Nada suaranya melunak. “Dengar ya, apa pun masalah kalian, Laras perlu tau kondisi kamu. Dia pasti khawatir. Kamu jangan pergi begitu saja jika ada masalah."
Rendra menelan ludah. “Iya nanti aku akan hubungi dia." Bohong Rendra.
Wajah Tari langsung berubah tegang. Ia menghela napas, lalu berkata dengan nada serius namun tetap terkontrol, “Sekarang Rendra. Nanti dia khawatir dan bisa berakibat fatal."
Rendra menoleh, bingung. “Kenapa?”
Tari menatapnya lurus. “Karena kalau Laras tau kamu kecelakaan dan dirawat, sementara dia gak dapat kabar apa pun, itu bisa bikin dia stres berat.”
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan nada tegas sebagai dokter, “Dan stres berlebihan itu berbahaya—terutama kalau sampai berdampak ke kondisi janin.”
Rendra membeku. “Janin…?” suaranya nyaris tak terdengar.
Tari belum menyadari arti tatapan kosong itu. Ia mengira Rendra sudah tahu. “Ya. Laras sedang hamil. Kondisinya masih sangat awal dan sensitif. Jadi sebaiknya dia tenang, jangan sampai syok atau terpukul secara emosional. Terkahir aku periksa dia, usia kandungannya sudah tujuh minggu."
Kata-kata itu menghantam Rendra lebih keras daripada kecelakaan yang ia alami.
Hamil.
Laras… hamil.
Dunia di sekelilingnya seolah berhenti bergerak. Dadanya sesak, napasnya tercekat, dan matanya memanas.
Sementara Tari masih berdiri di sana—tanpa tahu bahwa satu kalimat barusan telah menghancurkan dan sekaligus menyadarkan seorang lelaki yang terlambat memahami apa yang hampir ia kehilangan.
***
Setelah kondisinya dinyatakan membaik, Rendra diizinkan pulang. Tubuhnya masih terasa lemah, namun pikirannya jauh lebih kacau dari luka fisik mana pun.
Ia berjalan pelan menyusuri koridor rumah sakit, langkahnya gontai. Bau antiseptik dan suara langkah orang-orang berlalu lalang tak lagi ia pedulikan—hingga matanya menangkap satu sosok yang membuat darahnya mendidih.
Seorang pria berdiri tak jauh darinya.
Rendra mengenalnya.
Rian.
Laki-laki yang ada di foto-foto itu.
Laki-laki yang berdiri di dekat Laras.
Laki-laki yang selama ini menjadi sumber kecurigaan dan kebencian dalam kepalanya.
Tanpa berpikir panjang, Rendra melangkah cepat.
Bugh!
Tinju Rendra mendarat tepat di wajah Rian. Pria itu terhuyung dan hampir terjatuh. “Apa-apaan lo?!” Rian teriak kaget.
Amarah Rendra tak terbendung. Ia mencengkeram kerah baju Rian dengan mata merah menyala.
“Kurang ajar lo! Berani-beraninya lo deketin istri gue!”
“Istri?” Rian membelalak. “Maksud lo apa?”
“Laras!” bentak Rendra. “Gue suaminya!”
Wajah Rian seketika pucat. Tubuhnya menegang, napasnya tercekat. “Gue… gue gak tau,” ucapnya terbata. “Demi Tuhan, gue gak tau kalau dia istri lo.”
Rendra tertawa pahit. “Lo kira gue bakal percaya?”
Rian mengangkat kedua tangannya, panik. “Dengerin gue dulu! Gue gak pernah ada niat sama Laras. Gue cuma… gue cuma disuruh!”
“Disuruh siapa?!”
Rian menelan ludah. Suaranya mengecil. “Hanung Bimantara.”
Nama itu membuat Rendra membeku. “Dia yang nyuruh gue buat deketin Laras,” lanjut Rian cepat. “Katanya cuma mau bikin lo cemburu, biar lo ninggalin Laras. Gue dibayar. Gue cuma alat.”
Tinju Rendra mengendur, namun amarah di dadanya justru semakin membesar. Potongan-potongan peristiwa mulai tersusun rapi di kepalanya—foto-foto itu, tuduhannya pada Laras, jarak yang tercipta, hingga kepergian Laras tanpa pamit.
Semua… dirancang.
“Gue gak pernah nyentuh Laras,” ucap Rian tegas. “Gue cuma ngikutin perintah. Dan sekarang… gue nyesel.”
Rendra melepas kerah baju Rian. Dadanya naik turun menahan gejolak emosi yang nyaris membuatnya roboh.
Jadi benar.
Laras tidak pernah berkhianat. Justru dialah yang buta.
Dia yang mudah dipermainkan. Dan orang yang paling bersalah… adalah dirinya sendiri.
Sementara jauh di lubuk hatinya, satu nama kini berubah menjadi sumber amarah yang tak lagi bisa ia redam:
Hanung Bimantara.
Dan sekarang Rendra makin dilanda rasa bersalah. Apakah Laras pergi karena sebab lain? Jika Laras pergi buka karena pria lain lalu karena apa? Apakah Laras sudah mengetahui semuanya?
Hamil? Bagaimana bisa Rendra tidak tau kalau Laras hamil?