NovelToon NovelToon
Hilangnya Para Pendaki

Hilangnya Para Pendaki

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Hantu
Popularitas:329
Nilai: 5
Nama Author: Irmann Nhh

Lima mahasiswa mendaki Gunung Arunika untuk hiburan sebelum skripsi. Awalnya biasa—canda, foto, rasa lelah. Sampai mereka sadar gunung itu tidak sendirian.

Ada langkah ke-enam yang selalu mengikuti rombongan.
Bukan terlihat, tapi terdengar.
Dan makin lama, makin dekat.

Satu per satu keanehan muncul: papan arah yang muncul dua kali, kabut yang menahan waktu, jejak kaki yang tiba-tiba “ada” di tengah jejak mereka sendiri, serta sosok tinggi yang hanya muncul ketika ada yang menoleh.

Pendakian yang seharusnya menyenangkan berubah jadi perlombaan turun gunung… dengan harga yang harus dibayar.

Yang naik lima.
Yang turun… belum tentu lima.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irmann Nhh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 2 – Pos Satu yang Tidak Benar-Benar Sepi

Kami sampai di Pos 1 sekitar jam setengah tujuh malam. Lampu senter sudah jadi satu-satunya penerangan karena langit berubah jadi hitam pekat lebih cepat dari perkiraan. Pos 1 sebenarnya hanya area tanah datar dengan papan nama kayu yang disangga dua balok. Ada bekas api unggun lama dan satu bangku pendek dari batang pohon.

Yang bikin merinding, dari kejauhan aku merasa pos ini terang… seolah ada pendaki lain. Tapi pas kami benar-benar tiba, tempat itu kosong total.

“Nah, istirahat bentar,” Dimas menurunkan carrier-nya dengan nafas berat. “Tinggal satu pos lagi sebelum nge-camp.”

Arif langsung rebahan sambil ngeluh. “Kalau pos dua nggak ada tempat duduk, gue tidur di sini aja.”

“Jangan ngomong sembarangan,” Sari menegur lirih. Raut wajahnya capek, tapi bukan cuma fisik—lebih ke rasa nggak nyaman dari tadi.

Aku duduk di bangku kayu, meneguk air minum. Keringat dingin di tengkuk belum mau hilang sejak suara langkah misterius di belakang kami tadi.

Lintang berdiri, cuma memperhatikan sekeliling pos. Dia nggak duduk, nggak minum. Tatapannya gelisah.

“Kenapa?” tanyaku pelan.

Lintang menggeleng, tapi jelas dia nahan sesuatu. Akhirnya dia ngomong juga, suara rendah:

“Kalian nggak lihat ya waktu kita mau masuk pos ini?”

“Lihat apa?” tanya Sari.

“Dari kejauhan, ada cahaya. Kayak headlamp… bukan cuma satu.”

Aku menoleh cepat. “Maksudmu ada rombongan lain?”

Lintang menelan ludah. “Kalau ada orang lain, kenapa pas kita sampai, semua hilang?”

Dimas langsung memotong, agak keras, mungkin demi nutup rasa takutnya sendiri. “Mungkin mereka udah jalan ke pos dua. Biasa lah, nggak semua pendaki suka lama istirahat.”

Tapi ada yang mengganjal. Kalau pendaki baru aja pergi, kenapa bekas api unggunnya dingin? Kayu bakarnya mati sempurna, bukan baru padam.

Arif memungut botol minum kecil yang tergeletak dekat papan nama pos. Masih separuh penuh. “Nih. Orangnya belum lama pergi. Masih ada air.”

Sari refleks panik. “Taruh! Nggak usah pegang barang orang!”

Arif buru-buru naruh kembali. “Santai, Sar. Gue cuma—”

“Tadi Pak petugas bilang yang naik harus sama jumlahnya dengan yang turun,” potong Sari, hampir seperti bisikan. “Kalau botol ini punya salah satu yang… nggak turun?”

Suasana langsung hening, berat, aneh.

Dimas bangkit, pura-pura sok optimis. “Eh, jangan bikin serem sendiri. Kita istirahat lima menit lagi terus jalan. Target kita pos dua sebelum jam sembilan. Titik.”

Ada ketegasan dalam suaranya, tapi telingaku menangkap ada sedikit getar.

---

Kami lanjut jalan sekitar jam tujuh lewat. Jalur menuju pos dua jauh lebih gelap dan lebih sunyi. Gimana ya jelasin sunyinya… bukan sunyi biasa. Sunyi yang sampai bunyi napas teman sendiri terasa mengganggu telinga. Sunyi yang bikin kita jadi terlalu sadar kalau kita sedang menembus hutan yang orang kota nggak akan ngerti.

Di tengah perjalanan, kabut turun tiba-tiba. Nggak tebal banget, tapi cukup buat bikin jarak pandang pendek. Cahaya headlamp memantul ke partikel-partikel di udara, bikin sekeliling seperti putih susu.

“Kalau kabut makin tebal, kita berhenti dulu,” kata Dimas.

Dan benar aja, kabut makin parah. Udara jadi basah, baju dalam rasanya lembap walau nggak hujan. Anehnya… makin ke atas makin bau wangi kemenyan samar-samar, padahal nggak ada orang, nggak ada pemakaman, nggak ada acara apa pun.

“Ada yang nyium bau aneh?” Sari berbisik.

Aku iya, tapi aku pura-pura nggak. “Mungkin dari tanah, atau tanaman.”

Lintang tiba-tiba berhenti. “Diam dulu.”

Kami semua langsung freeze. Lintang nunjuk ke arah kanan jalur, tempat pohon-pohon makin rapat.

“Denger nggak?”

Awalnya aku nggak dengar apa-apa. Tapi beberapa detik kemudian… ada suara seperti seseorang lagi manggil.

Pelan. Jauh. Lembut.

“Heeei…”

Bukan jeritan, bukan teriakan. Lebih seperti orang melenguh memanggil sapi, tapi ke manusia. Nggak jelas laki-laki atau perempuan.

Arif agak mundur. “Gue nggak mau kesana. Gue nggak mau.”

Dimas mencoba lihat sekeliling, tapi kabut bikin semuanya putih.

“Kalau itu pendaki lain yang kesasar?” tanya Dimas.

“Kalau itu bukan orang?” jawab Lintang, lebih cepat.

Suara itu terdengar lagi. Masih pelan, tapi jaraknya berubah—kadang jauh, kadang dekat. Seolah bergerak. Seolah mengelilingi kami.

Sari mulai gemetar. “Dim… please. Kita berhenti dulu.”

Dimas menghela napas, jelas sedang perang batin. Lalu dia ngangguk. “Kita istirahat lima menit di sini. Kumpul rapat, jangan ada yang jauh dari rombongan.”

Kami duduk di tanah, membentuk setengah lingkaran. Kabut di sekitar kami mengambang seperti tirai.

Di saat semuanya diam, aku merasakan ada sesuatu yang aneh.

Bukan suara. Bukan bayangan.

Kayak ada yang ngelihatin dari belakang kami. Tapi bukan satu titik… kayak banyak.

Aneh, kayak dimata-matain oleh lebih dari satu sosok sekaligus.

Aku cek jam. Jam 19:57.

Masih lama ke jam sembilan. Tapi kecemasan rasanya udah penuh.

“Dim,” aku bicara pelan. “Kalau jam delapan kabut masih gini, kita turun. Serius.”

Dimas mau jawab, tapi tiba-tiba Lintang berdiri mendadak.

“Siapa?” suaranya tinggi, seperti marah sekaligus takut.

Kami kaget. “Kenapa?!”

Lintang menatap ke arah semak di sisi kanan. “Barusan ada bayangan lewat,” katanya cepat, napas berat. “Bukan hewan. Tinggi. Jalannya pelan. Nggak nginjek ranting, nggak ada suara.”

Sari sudah hampir menangis. “Please jangan bercanda… aku nggak kuat kalau kalian bercanda…”

“Tadi gue nggak bercanda,” kata Lintang, tegas tapi putus asa. “Gue ngeliat orang. Atau sesuatu. Gue nggak tau.”

Arif tiba-tiba seperti ingat sesuatu. “Ka… gue mau nanya dari tadi.”

“Apa?”

Dia menatapku sambil cemas. “Lu yakin kita cuma berlima?”

Aku kaget. “Maksud lu?”

“Dari tadi… tiap kita jalan… gue berasa jumlah langkah ada enam.”

Hening. Angin nggak kedengeran. Hutan seolah berhenti bernapas.

Arif melanjutkan dengan suara pecah, “Kayak ada satu lagi di belakang. Atau di antara kita.”

Dimas berdiri cepat, panik tapi ingin tampak tenang. “Oke. Udah. Kita turun. Sekarang. Ini nggak bener. Kita turun.”

Semua berdiri buru-buru.

Tapi Lintang nggak bergerak. Dia masih menatap ke arah semak-semak. Bibirnya gemetar, tapi bukan karena dingin.

“Apa pun itu,” gumamnya lirih, “dia nggak mau kita turun.”

Dan tepat saat Lintang ngomong begitu—suara panggilan itu muncul lagi.

Tapi sekarang dekat.

Sangat dekat.

Sampai aku bisa dengar jelas:

suara itu seolah berada tepat beberapa meter di belakang kami.

“Heeei…”

Suaranya seperti dari mulut manusia…

tapi nadanya bukan suara manusia.

Tut…

lama-lama tubuhku gemetar sendiri.

Tanpa komando, kami langsung lari.

Dan saat aku menoleh sedikit ke belakang, aku cuma sempat lihat satu hal sebelum kabut menelan pandanganku:

Ada sosok tinggi berdiri diam di antara pepohonan. Nggak bergerak. Nggak mengejar.

Tapi kepalanya… menunduk.

Seolah menghitung…

atau memilih.

1
Roro
waduh gak mudeng aku thor
Roro
hummmm penasaran
Irman nurhidayat: sebenernya aku gak serius si ngerjain novel ini wkwk,tapi kalo misal udah baca sampe ke bab terakhir dan minta lanjut,bakal aku lanjutin si,tpi aku ada prioritas novel lain yg lebih horor lagii,pantau yaa💪
total 1 replies
Roro
🤣🤣🤣🤣🤣 kok makin kesini malah gak horor tur, malah lucu
pintu tertutup terbuka aja
lama banget horonrnya datang
Irman nurhidayat: cek novel terbaruku kak,lebih seru,seram,mudah di cerna,lebih horor dan seram 🔥🔥
total 3 replies
Roro
ahhh keren inj
Roro
lanjut besok aja, jadi merinding aku
Roro
ouu UU main horor lagi,
Roro
lah... Arif apa kabar
Roro
sulit aku mencerna , tapi seru u tuk kubaca, dan akhirnya aku faham jalan cerita
Roro: iya kek nya Thor, tapi aku tetap menikmati bacaanya
cerinya nya seru banget
total 2 replies
Roro
beuhh makin keren aja
Roro
hah... tamat kah
Roro
makin seru dan makin penasaran aku
Roro
ahhhh keten banget
Roro
gak sabar pengen tau Arif sama Dimas udah koit atau kek mana yah
geram sekali sama mereka main kabur aja
Roro
keren.. makin penasaran aku
Roro
aku doakan pembaca mu banyak Thor, aku suka banget sumpah
Irman nurhidayat: Aamiin🤲makasih yaaaaa🙏
total 1 replies
Roro
Ter amat bagus...
Irman nurhidayat: mantapp makasih rating bintang 5 nyaa😍😍
total 1 replies
Roro
aku bacanya sesak nafas,
terasa banget horor nya.
Irman nurhidayat: bisa sampe sesak nafas yaa🤣
total 1 replies
Roro
ahhh seru banget
Irman nurhidayat: Bantu share yaaa💪💪
total 1 replies
Roro
misteri...
aku suka horor
Irman nurhidayat: mantap kak lanjut baca sampai tamatt💪💪
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!