NovelToon NovelToon
Kontrak Pacar Pura-Pura

Kontrak Pacar Pura-Pura

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua / Kekasih misterius / Perjodohan
Popularitas:152
Nilai: 5
Nama Author: SineenArena

Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21: Strategi Sarapan Pagi

Bab 21: Strategi Sarapan Pagi

Pukul 05:45.

Alarm ponsel berbunyi.

Bergetar hebat di atas meja nakas marmer yang dingin.

Bunyinya tajam. Mengganggu.

Yuni tersentak bangun.

Matanya terbuka lebar seketika.

Jantungnya langsung berpacu.

Deg. Deg. Deg.

Bukan karena kaget oleh suara alarm.

Tapi karena sadar di mana dia berada.

Dia bukan di kamar kosnya yang sempit, yang dindingnya lembap dan bercat kusam.

Dia di dalam sangkar emas.

Langit-langit kamar tamu itu tinggi sekali.

Dihiasi moulding gipsum rumit berbentuk sulur-sulur bunga yang dicat emas pudar.

Cahaya matahari pagi yang tipis, berwarna abu-abu kebiruan, menerobos celah tirai beludru maroon yang berat.

Suasana di dalam kamar terasa asing.

Hening.

Terlalu hening.

Yuni duduk perlahan.

Selimut bulu angsa yang tebal melorot dari bahunya.

Kepalanya pening.

Berdenyar-denyar di bagian belakang.

Efek kurang tidur.

Efek sisa adrenalin dari kunjungan rahasia Juan semalam yang masih menyisakan getaran di sarafnya.

Dia menurunkan kakinya ke lantai.

Lantai marmer itu sedingin es.

Mengirimkan kejutan beku ke telapak kakinya yang telanjang.

Dia berjalan menyeret langkah ke kamar mandi.

Kamar mandi itu sendiri seukuran kamar tidur kosannya.

Dindingnya dilapisi marmer Carrara putih.

Di cermin wastafel yang besar, dibingkai lampu-lampu kecil seperti ruang rias artis, dia melihat wajahnya.

Pucat.

Ada lingkaran hitam samar di bawah mata.

Rambutnya kusut masai seperti sarang burung.

Bibirnya kering dan pecah-pecah.

"Kamu bisa," bisiknya pada pantulan itu.

Suaranya serak.

Dia menyalakan keran air.

"Kamu partner Juan."

Dia membasuh wajahnya dengan air dingin.

"Kamu musuh Clarissa."

Kata itu. Clarissa.

Nama yang terdengar mahal dan sempurna.

Yuni mandi air hangat. Cepat.

Dia tidak berani berlama-lama menikmati shower bertekanan tinggi yang memijat punggungnya.

Dia takut terlambat.

Pukul 06:00.

Dia membuka koper bututnya di atas bench di kaki tempat tidur.

Isinya terlihat menyedihkan dibandingkan lemari walk-in closet di kamar itu.

Dia mencari outfit sesuai instruksi Juan.

Sporty tapi sopan.

Jangan terlalu ketat. Jangan terlalu terbuka.

Dia memilih celana training jogger warna hitam. Bahannya katun tebal, tidak membentuk lekuk tubuh berlebihan.

Kaos lengan panjang warna abu-abu misty. Longgar dan nyaman.

Sepatu lari putih yang baru dia beli kemarin dengan kartu hitam Juan.

Masih bersih. Belum pernah injak tanah.

Baunya masih bau toko.

Dia mengikat rambutnya.

Ekor kuda tinggi.

Menarik semua rambutnya ke belakang, mengekspos leher dan wajahnya.

Rapi. Praktis. Siap tempur.

Tidak ada makeup tebal.

Hanya pelembab wajah dan sedikit lip balm agar tidak terlihat sakit.

Oma benci kepalsuan di pagi hari, kata Juan.

Natural beautyatau tidak sama sekali.

Pukul 06:20.

Yuni keluar kamar.

Lorong sayap timur masih sepi.

Tapi vila itu sudah bangun.

Vila itu bernapas.

Yuni bisa mendengar suara aktivitas samar-samar dari kejauhan.

Denting panci logam dari arah dapur di sayap barat.

Suara sapu lidi yang menggesek paving block di halaman depan.

Dan bau itu.

Bau kopi yang baru diseduh.

Kuat. Wangi. Sedikit nutty.

Mulai merambat di udara, memanggil-manggil sarafnya yang butuh kafein.

Pasti kopi mahal. Robusta atau Arabika single origin?

Yuni berjalan menuju teras belakang.

Sesuai titik kumpul.

Langkah kakinya diredam oleh karpet koridor yang tebal.

Dia melewati ruang tengah.

Ruangan itu tampak berbeda di pagi hari.

Tanpa lampu kristal yang menyala, sofa-sofa beludru itu tampak seperti monster raksasa yang sedang tidur dalam keremangan.

Dia membuka pintu kaca menuju teras.

Angin pagi menerobos masuk.

Udara dingin Puncak langsung menampar wajahnya.

Segar. Tapi tajam menusuk tulang.

Kabut tipis masih menyelimuti halaman belakang yang luas.

Rumput hijau yang dipotong rapi terlihat basah berkilauan oleh embun pagi.

Di tepi teras, duduk seorang laki-laki.

Juan.

Dia sudah siap.

Memakai hoodie olahraga biru tua bermerek Nike edisi terbaru.

Celana pendek lari yang memamerkan otot betisnya yang kencang.

Sepatu lari Hoka yang harganya mungkin setara dengan biaya hidup Yuni selama dua bulan.

Dia sedang minum kopi dari cangkir porselen putih tulang.

Kakinya disilangkan santai.

Di pangkuannya ada tablet.

Membaca berita ekonomi global, mungkin. Atau memantau harga saham.

Terlihat seperti pangeran modern yang sedang menikmati pagi di kerajaannya sendiri.

Tenang. Berkuasa.

Tapi Yuni tahu itu cuma casing.

Di balik hoodie mahal itu, ada laki-laki yang semalam memanjat talang air dengan tangan berdarah.

Dia mendekat.

Sepatu barunya berdecit pelan di lantai teras yang terbuat dari batu alam.

Juan menoleh.

Gerakannya waspada.

Dia menurunkan tabletnya.

Matanya, yang tersembunyi di balik kacamata lari oakley bening, memindai penampilan Yuni.

Dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Scannerberjalan.

Menilai kelayakan asetnya.

"Bagus," komentar Juan.

Singkat. Padat.

"Sopan. Nggak norak. Nggak kayak mau fashion show di Car Free Day."

"Terima kasih," jawab Yuni datar.

Pujian Juan selalu terdengar seperti evaluasi kinerja.

Dia duduk di kursi rotan di hadapan Juan.

Kursi itu dingin dan lembap.

"Mau kopi?" tawar Juan.

Dia menunjuk teko perak di atas meja bundar.

"Ada di teko. Masih panas. Aceh Gayo."

Yuni menuang sendiri.

Tangannya sedikit gemetar saat mengangkat teko berat itu.

Dia butuh kafein.

Sangat butuh.

Cairan hitam itu mengepulkan uap panas.

Dia menyesapnya sedikit.

Pahit. Asam. Kuat.

Tanpa gula.

Cairan itu mengalir hangat di tenggorokannya, membangunkan sel-sel otaknya yang masih setengah tidur.

"Dengar," kata Juan.

Suaranya rendah. Serius.

Dia meletakkan tabletnya di meja. Layarnya mati.

"Sebelum Oma turun, kita bahas strategi sarapan."

Yuni mengerutkan kening.

"Sarapan?" tanya Yuni bingung. "Kirain kita jalan pagi dulu?"

"Habis jalan pagi, kita sarapan bareng keluarga besar."

"Di teras samping. Al fresco."

"Di bawah pohon kamboja."

"Itu medan perang kedua," kata Juan, matanya menatap lurus ke mata Yuni.

"Medan perang yang lebih tricky daripada jalan pagi."

Juan meletakkan cangkirnya.

Bunyi tak pelan saat porselen bertemu kaca meja.

"Aturan satu: Porsi makan."

"Jangan ambil makanan terlalu banyak."

"Kenapa?"

"Oma menilai pengendalian diri dari piringmu."

"Kalau numpuk kayak gunung, kamu terlihat rakus. Nggak punya etika."

"Kalau terlalu sedikit, cuma selembar selada, kamu terlihat diet atau sok jaim. Atau lebih parah, dianggap nggak menghargai rezeki."

"Terus?"

"Ambil secukupnya. Proporsional."

"Seimbang. Karbo sedikit, protein, sayur banyak."

"Bikin piringmu terlihat 'sehat dan cerdas'."

"Ribet amat," gumam Yuni, memutar bola matanya.

"Makan aja harus pakai strategi."

"Di dunia ini, Yuni, semuanya adalah strategi," balas Juan dingin.

"Aturan dua: Table manner."

"Aku tahu cara pegang sendok garpu, Juan. Aku bukan orang hutan."

"Bukan itu," potong Juan cepat.

"Bukan soal teknis."

"Tapi cara kamu interaksi saat makan."

"Tawarin orang tua dulu. Jangan mulai suap sebelum Oma suap pertama."

"Dan yang paling penting..."

Juan menatap tajam.

"...jangan meladeni provokasi saat mulutmu penuh."

Yuni berhenti minum. "Maksudnya?"

"Kevin atau Tante Lisa pasti bakal nyindir pas kamu lagi ngunyah."

"Sengaja."

"Mereka akan tanya hal sulit pas mulutmu penuh roti."

"Supaya kamu keselek. Atau jawab buru-buru sambil muncrat."

"Itu cara klasik mereka bikin orang baru terlihat kampungan dan nggak berkelas."

Yuni merinding.

Bulu kuduknya berdiri.

Taktik perang psikologis lewat croissant dan telur dadar.

Keluarga ini benar-benar gila.

"Jadi aku harus gimana?"

"Telan dulu," instruksi Juan.

"Pelan-pelan."

"Minum sedikit air. Lap bibir pakai serbet."

"Baru jawab."

"Bikin mereka nunggu."

"Jeda itu menunjukkan kelas."

"Dan kontrol emosi."

Yuni mengangguk pelan. Mencatat dalam memori jangka pendeknya.

Telan. Minum. Lap. Jawab.

Telan. Minum. Lap. Jawab.

"Aturan tiga," lanjut Juan.

"Topik pembicaraan."

"Hindari tiga hal tabu: Politik, Agama, Uang."

"Terus ngomongin apa? Cuaca? Macet?"

"Terlalu dangkal."

"Seni. Budaya. Pendidikan."

"Itu wilayahmu, kan?"

"Gunakan wawasan Sastramu."

"Kalau mereka tanya buku apa yang lagi kamu baca, jawab dengan judul yang intelek tapi nggak pretensius."

"Jangan bilang Harry Potter."

"Dan jangan bilang Twilight."

"Aku nggak baca Twilight!" protes Yuni tersinggung. "Aku baca Saman!"

"Bagus. Bilang itu. Tapi jangan bahas adegan eksplisitnya."

Tiba-tiba.

Pintu kaca geser di belakang mereka terbuka lagi.

Suara langkah kaki yang ringan dan cepat.

Seorang wanita keluar.

Bu Linda.

Ibu Suri.

Dia sudah siap dengan setelan olahraga Adidas warna peach pastel yang senada dari atas sampai bawah.

Bahkan warna sepatunya senada.

Visor putih di kepalanya.

Handuk kecil putih bersih di leher.

Wajahnya segar. Full makeup tipis yang terlihat effortless tapi memakan waktu satu jam.

"Selamat pagi, Anak-anak," sapanya riang.

Suaranya melenting ceria.

Terlalu riang untuk jam 06:40 pagi di pegunungan yang dingin.

"Pagi, Ma," jawab Juan. Dia berdiri sebentar, mencium pipi ibunya.

"Pagi, Tante," sapa Yuni, berdiri juga. Menjaga sopan santun.

Bu Linda tersenyum.

Matanya menyapu pakaian Yuni dalam satu detik.

Ada kilatan penilaian di sana.

Mengecek merek sepatu. Mengecek kerapian rambut.

Tapi dia mengangguk kecil.

Lolos sensor.

"Sudah siap jalan?" tanya Bu Linda sambil melakukan peregangan ringan. Memutar bahunya.

"Clarissa nanti nyusul pas makan siang, lho, Juan."

Bom dijatuhkan.

Tanpa peringatan.

Pagi-pagi buta.

Di sela-sela pemanasan.

"Dia baru landing dari Singapura semalam. Katanya kangen banget sama Tante."

"Dia mau kasih surprise."

Bu Linda melirik Yuni.

Tatapannya penuh arti.

"Dia bawa oleh-oleh skincare mahal buat Tante. Katanya bagus buat anti-aging."

"Yuni suka skincare nggak?"

Pertanyaan jebakan.

Jebakan Batman.

Kalau jawab suka, ditanya merek apa (yang pasti kalah mahal dan bikin minder).

Kalau jawab nggak suka, dibilang jorok dan nggak merawat diri.

Yuni menarik napas. Ingat taktik Juan. Framing.

"Suka yang alami aja, Tante," jawab Yuni tenang.

Memasang wajah polos.

"Air wudhu dan tidur cukup."

"Dan lidah buaya dari kebun ibu saya."

Jawaban klise. Religius. Tradisional.

Tapi efektif mematikan argumen soal merek.

Senyum Bu Linda menipis sedikit.

Sudut bibirnya turun satu milimeter.

"Wah, alim ya."

Nada suaranya menyiratkan: Membosankan. Kuno.

"Baguslah. Juan kan butuh yang bisa doain dia. Dia kan sibuk duniawi."

Sarkasme halus yang dibungkus pujian.

Terdengar suara langkah kaki lain.

Lebih berat.

Lebih lambat.

Menghentak dengan irama yang tegas.

Dug. Dug. Dug.

Dari arah pintu utama yang terhubung ke teras.

Semua orang menoleh.

Jantung Yuni berhenti sejenak.

Oma muncul.

Dia memakai setelan training putih polos. Merek Lacoste jadul yang klasik.

Topi lebar anyaman.

Kacamata hitam besar yang menutupi separuh wajahnya.

Dan membawa tongkat jalan dari kayu eboni hitam mengkilap.

Bukan karena dia pincang. Langkahnya masih tegak.

Tapi sebagai tongkat komando.

Aksesori kekuasaan.

Oma berhenti di ambang pintu.

Menatap mereka bertiga di teras.

Udara di teras itu rasanya turun lima derajat.

Beku.

"Kalian ngobrol terus," kata Oma.

Suaranya serak basah.

Tajam.

"Matahari keburu tinggi. Ozon bolong."

Dia mengangkat tongkatnya.

Menunjuk lurus ke arah Yuni.

"Kamu."

Yuni menegakkan punggung. Refleks seperti prajurit.

"Jalan di samping saya."

Perintah. Bukan tawaran.

"Saya mau dengar napas kamu."

"Kalau kamu ngos-ngosan sebelum Kilometer Satu, kamu nggak cocok buat cucu saya."

"Fisik lemah, mental lemah."

Oma berbalik.

Mulai berjalan menuruni tangga teras menuju jalan setapak berbatu.

Langkahnya mantap. Cepat. Berirama.

Juan menatap Yuni.

Wajahnya tegang.

Memberi kode dengan mata.

Hati-hati. Jangan mati.

Yuni menarik napas dalam-dalam.

Menghirup udara dingin yang menusuk paru-paru.

Mengisi oksigen sebanyak mungkin.

Dia melangkah maju.

Mengejar sang matriark yang sudah berjalan menjauh.

Jalan pagi neraka dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!