🔥"Tanaya — Jiwa dari Zaman Purba”
Tanaya, gadis modern yang hidup biasa-biasa saja, tiba-tiba terbangun di tubuh asing—berkulit gelap, gemuk, dan berasal dari zaman purba yang tak pernah ia kenal.
Dunia ini bukan tempat yang ramah.
Di sini, roh leluhur disembah, hukum suku ditegakkan dengan darah, dan perempuan hanya dianggap pelengkap.
Namun anehnya, semua orang memanggilnya Naya, gadis manja dari keluarga pemburu terkuat di lembah itu.
>“Apa... ini bukan mimpi buruk, kan? Siapa gue sebenarnya?”
Tanaya tak tahu kenapa jiwanya dipindahkan.
Mampukah ia bertahan dalam tubuh yang bukan miliknya, di antara kepercayaan kuno dan hukum suku yang mengikat?
Di dalam tubuh baru dan dunia yang liar,
ia harus belajar bertahan hidup, mengenali siapa musuh dan siapa yang akan melindunginya.
Sebab, di balik setiap legenda purba...
selalu ada jiwa asing yang ditarik oleh waktu untuk menuntaskan kisah yang belum selesai.
📚 Happy reading 📚
⚠️ DILARANG JIPLAK!! KARYA ASLI AUTHOR!!⚠️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyx Author, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
|+++
"Hhmmmptt... Ah!!.... A-APA YANG KAU LAKUKAN!!"
Tanaya menjerit keras saat Rua tiba-tiba menyambar bibirnya. Tangan mungilnya berusaha mendorong tubuh pria itu menjauh, tapi Rua semakin merengkuh tubuh nya erat.
Tubuh Tanaya kembali menegang saat Rua kembali mencium dan melumatnya. Tangan besar pemuda itu menahan tekuknya agar tidak bergerak membuat lidah besar itu dengan mudah membelah bibirnya dan mulai menghisapnya kuat-kuat. Hisapan pemuda itu semakin menguat dan hampir membuat Tanaya tercekik.
'Tidakk!! Apa-apaan ini!!'
Tanaya berteriak—panik dalam hati. Matanya membelalak redup hampir menangis menatap Rua yang tak berhenti mencumbui nya.
Tunggu! Kenapa pemuda ini melakukan ini padanya, bukannya Rua sangat membencinya? Tapi kenapa ia malah menyentuhnya dan melakukan hal mesum seperti ini.
"Akhh! cukupphh..."
Tanaya berusaha menghindar, ia memukul bahkan menjambak rambut pemuda itu tapi Rua terus menikmati bibirnya.
Satu desahan seketika lolos di sela-sela ciuman mereka saat Tanaya merasakan remasan lembut di buah kelinci kembarnya. Tanaya tersentak ia baru sadar jika tubuhnya kini setengah t3l4nj4n9.
"UDAHH!! HIKS... HENTIKAN...! KAK YARENNN TOLONGG!"
Tangis Tanaya seketika pecah, ia semakin memberontak. Sungguh ia tak menyangka jika dirinya benar-benar ada di posisi seperti ini. Jika saja di dunia ini ada Vino, mungkin pemuda itu pasti akan segera menolongnya.
Semilir angin hutan menerpa tubuh mereka berdua, dengan cahaya mentari menyorot mereka terang sangat sunyi—intens dengan keadaan Tanaya saat ini.
Gadis itu memalingkan wajahnya ke kanan dan kiri. Bibirnya terasa sakit dan bengkak namun wajahnya kembali diraih Rua dan menyuruh untuk diam.
"Diam dan menurutlah! Kenapa kau menolakku!"
Rua mencengkeram tubuhnya erat sambil menatap tajam wajah Tanaya yang sudah memerah, mata gadis itu basah menatapnya akibat banyak menangis membuat Rua yang melihat itu tersenyum simpul.
Ia tersenyum sambil memandangi tubuh mungil setengah t3l4nj4n9 itu di bawahnya. Tubuh itu tampak gemetar dan dingin, di terpa sinar mentari membuat kulitnya tampak lebih halus, cerah dan... Harum.
Mata tajam itu menggelap saat tatapannya terkunci di d4d4 Tanaya. Kelinci kembar itu terlihat begitu imut dan lembut. Ujung buahnya tampak segar berwarna merah muda.
Rua hanya melihatnya sekilas tadi, tapi sekarang dia dapat melihatnya dengan jelas bahkan dengan lipatan kelopak bunga yang berdaging dibawah sana yang masih tertutup dengan kain kulit basah membuat nya tanpa sadar menjilat bibirnya pelan.
Melihatnya, sorot mata Rua semakin menggelap. Tanpa ia sadari, terlalu banyak yang berubah dari Tanaya—wajahnya, tubuhnya. Sial.... Kini gadis itu tampak jauh lebih menarik daripada yang ia ingat dulu.
Padahal awalnya ia hanya penasaran. Melihat Tanaya meninggalkan balai, dan berjalan ke arah sungai sendirian. Ia mengikuti tanpa niat apa pun—hingga tanpa sadar, ia justru terpancing oleh apa yang dilakukan gadis itu.
Rua kembali merendahkan tubuhnya, bibirnya langsung kembali melumat bibir gadis itu—kasar membuat Tanaya tersentak dan semakin terisak.
Rua menggeram tertahan di sela-sela ciumannya, tangannya perlahan bergerak mencengkeram salah satu buah kelinci kembar—lembut dan padat itu membuat Tanaya bergetar hebat.
Tubuhnya hampir lemas di sela berontak nya dengan kedua tangannya yang di cekal keatas oleh Rua tanpa memberi celah sedikitpun.
"Ughh... Kak!... Hiks.... Aku mohon... Lepaskannnhh! Apa kau lakukan ini tidak benar kak—AH! CUKUPP!!"Jerit Tanaya sambil terisak.
Sungguh ia benar-benar butuh sosok kakaknya saat ini.
Rua menulikan pendengaran nya. Lidah hangatnya dengan kasar terus menyapu seluruh kulit gandum Tanaya tanpa terlewatkan, lalu kembali ke dada dan wajahnya merasakan asin di indra pengecap nya karna tangis gadis itu.
Rua tak berhenti di situ. Kepalanya kembali menunduk, cengkramannya semakin kuat, gerakannya kasar dan terburu-buru—liar, seolah akalnya ditelan sesuatu yang gelap.
Tanaya meringis kecil, nafasnya terguncang. Rasa perih itu kembali ia rasakan di lehernya—menyakitkan. Pemuda itu memberi hisapan kuat dan membuat tanda merah di sana.
Indah tapi menghina.
Tanaya langsung menatapnya dengan mata memerah—bukan kembali ingin menangis, melainkan marah. Dadanya bergemuruh hebat, napasnya tersengal, tubuhnya gemetar oleh rasa dilecehkan yang tak bisa ia terima begitu saja.
Tepat saat pemuda itu ingin memberi tanda di perutnya Tanaya langsung menendang wajahnya—kuat menggunakan lutut nya membuat Rua tersentak dan menjauh sambil memegangi hidungnya.
Rua meringis kesakitan, ia melihat tangannya berdarah. Darah perlahan keluar dari hidungnya membuat ia terkekeh kecil.
Tanaya segera bangkit dan menjauh, tubuhnya masih gemetar, wajahnya memerah dengan rambutnya berantakan. Ia merapatkan kakinya sambil menutupi bagian dadanya dengan kedua tangannya.
“Aku akan mengadukan ini pada ayahku!!”
Ia kembali menjerit, kali ini suaranya pecah oleh tangis dan amarah. Ancaman itu meluncur tajam—seperti pisau yang akhirnya diarahkan balik pada Rua.
Rua tersentak kecil. Sejenak ia terdiam menatap wajah Tanaya—datar. Sudut bibirnya perlahan terangkat, membentuk senyum tipis yang tak menyentuh matanya.
“Katakan saja,” ucapnya rendah.
Kata-kata itu menghantam lebih keras daripada genggaman mana pun.
Tatapannya mengunci Tanaya, gelap dan tak bergeming, seolah tantangan itu tak lebih dari angin lewat. Di balik senyum itu, ada sesuatu yang lebih berbahaya dari amarah—keyakinan.
Tanaya mengepalkan tangannya, kukunya menekan telapak tangannya hingga perih. Airmatanya kembali menggantung di sudut matanya, namun tatapannya tak lagi goyah. Marahnya kini bercampur luka—dan harga diri yang terinjak.
“Kau pikir aku takut?” suaranya kembali bergetar, tapi tak surut. “Aku akan mengadukan nya!! Dan kakakku akan menghajar mu nanti! Brengsek!"
Rua tak menjawab saat gadis itu mengumpatinya. Selama ini tak ada yang berani mengumpat nya dari belakang, tapi saat Tanaya berbicara seperti itu, ketertarikannya muncul semakin gelab. Ia hanya menatapnya, seolah sedang menilai—bukan ancaman Tanaya, melainkan keberaniannya.
“Rua! Apa kau di sana?!”
Tak lama, suara lembut itu terdengar dari kejauhan, memecah ketegangan seperti pisau membelah udara. Keduanya sontak menoleh.
Rua segera berdiri. Wajahnya kembali datar, tenang—terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja melewati kekacauan. Tangannya terangkat, mengusap hidungnya yang kembali berdarah seakan itu tak lebih dari luka sepele.
Sementara itu, Tanaya tersentak panik. Tanpa menunggu kesempatan lain, gadis itu berbalik dan berlari menjauh. Langkahnya tertatih—kakinya masih nyeri akibat benturan batu sungai tadi, namun rasa takutnya mendorongnya untuk terus bergerak. Ia tak lagi memikirkan keranjang, ikan-ikan, ataupun apa pun yang tertinggal di tepi sungai.
Satu-satunya yang memenuhi kepalanya kini hanyalah satu... Yaitu menjauh dari pemuda yang bernama Rua, dan sampai ke rumah—secepat mungkin.
Sungai kembali menderu di belakang mereka, menjadi saksi bisu. Di antara desir air dan napas yang belum pulih, Tanaya tahu—apa pun yang terjadi setelah ini, hidupnya takkan pernah kembali seperti semula.
Rua menatap kepergian Tanaya dengan sorot yang membara. Tatapannya tak lepas dari tubuh gadis itu—gelap, penuh obsesi—hingga perlahan, Tanaya lenyap di balik pepohonan.
"Rua!"
Disana, Maina dan Liran muncul dari balik pepohonan rindang. Mata mereka langsung tertuju pada Rua yang tengah berjongkok di pinggir sungai sambil mengusap hidungnya yang berdarah. Melihat itu mata Maina langsung membulat dan segera berlari, diikuti Liran, langkah mereka tergesa-gesa.
"Rua? Astaga… kau kenapa? Hidungmu? Darah?"
Gadis itu panik, tangannya langsung menggenggam kedua pipi Rua dengan cemas, seolah ingin menahan rasa sakitnya.
Rua menutup matanya sebentar, ia menarik napasnya panjang, lalu menyingkirkan tangan Maina perlahan.
"Ini… tidak apa-apa,"ucapnya datar, nada suaranya seakan menenangkan dirinya sendiri."Hanya luka kecil… gigitan kelinci tadi."
Sekilas, ia membayangkan wajah Tanaya saat menangis di bawahnya tadi. Gemuruh kembali muncul di dadanya membuat nya ingin sekali mengulangi nya.
"Kelinci?"Maina mengernyit, tidak mengerti.
Rua menatap mereka berdua, matanya kembali serius."Kenapa kalian ada di sini?"
Maina terdiam sejenak, menelan kekhawatirannya sendiri sebelum akhirnya menjawab.
"Ayah mencarimu… Kau akan segera berangkat bukan? Dia memanggilmu ke balai suku untuk tambahan lain. Untungnya Liran melihatmu pergi ke arah sungai tadi, jadi aku tidak perlu mencari kemana-mana."
Rua mengalihkan pandangannya ke Liran, tatapan tajamnya membuat pemuda itu menelan ludahnya, sedikit canggung.
"A-aku hanya membantu Maina menemukanmu…"Liran mencoba tersenyum canggung."Tatapanmu jangan seperti itu… Tenang saja, aku tidak akan menyukai nya. Lagipula, kalian sebentar lagi akan menikah, bukan?"katanya.
Mendengar itu Maina hanya tersenyum manis, ia menatap Rua dengan lembut lalu menggandeng tangan pria itu, menenangkan.
"Ayo, sebaiknya kita kembali. Perjalananmu sebentar lagi akan dimulai. Aku akan mengobati hidungmu dulu" katanya, nada suaranya menenangkan, namun tegas seakan tak bisa di bantah.
Rua pun menarik napasnya dalam, ia menatap keduanya sebentar, lalu mengangguk lirih. Mereka berjalan bersama kembali ke balai suku, tapi mata Rua sesekali menoleh ke arah sungai, ke tempat Tanaya menghilang—hatinya tetap terikat, meski ia tidak bisa menunjukkannya.
...>>>To Be Continued......
tapi klo di pake trs Tanaya selamat ya ceritanya ga bakal sesuai sihh