Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Dua Takhta, Satu Hati
Aula itu akhirnya bergerak kembali seperti makhluk hidup yang baru bernapas setelah ditahan terlalu lama. Para pejabat Wang saling melirik dengan mata penuh makna, para menteri Lang berbisik rendah, sementara udara yang semula menegang kini berubah menjadi berat oleh perasaan yang tidak kasat mata.
Yun Sia kembali ke kursinya dengan langkah seperti berjalan di awan. Ia tidak duduk dengan rapi. Ia menjatuhkan diri seperti seseorang yang baru saja bertahan dari ombak besar.
Wang Jia langsung menyodorkan teh.
“Minum,” katanya cepat, lalu berbisik, “kalau kamu pingsan sekarang, aku takut Ayang akan membakar dua kekaisaran.”
Yun Sia tersenyum kecil, nyaris tidak terlihat. Tangannya gemetar saat menerima cangkir itu.
A-yang berdiri di tengah aula, menatap semua orang dengan tatapan yang sudah berubah dari dingin menjadi tajam penuh peringatan.
“Kita tidak akan mengambil keputusan hari ini,” katanya pelan, tapi suaranya menggema seperti palu. “Bukan tentang politik. Bukan tentang status. Dan bukan tentang pernikahan.”
Tatapan Pangeran Lee langsung polos. “Aku bercanda, Gege.”
“Aku tahu,” jawab A-yang datar. “Dan itu sebabnya kau masih hidup.”
Tawa kecil pecah.
Namun Kaisar Lang bangkit dari kursinya dengan aura yang berbeda. Bukan aura seorang penguasa yang ingin menaklukkan. Melainkan seorang ayah yang sudah terlalu lama kehilangan.
“Kaisar Wang,” ucapnya dalam. “Kami tidak berniat memaksakan apa pun. Kami hanya ingin waktu. Istri saya… telah kehilangan anaknya sejak matahari terbit pertama dalam hidupnya. Jika pun gadis ini tidak ingin kembali bersama kami… kami akan menerima.”
A-yang menoleh ke Yun Sia. Tatapannya melembut seketika.
Yun Sia tersentak kecil, seolah baru sadar semua orang masih menunggunya.
Semua mata padanya.
Ia menelan ludah.
“Aku…” suaranya kecil, tapi jelas. “Aku tidak tahu harus bicara apa.”
Permaisuri Lang segera berdiri, langkahnya pelan, penuh kehati-hatian, seolah mendekati anak rusa yang mudah terkejut.
“Kau tidak perlu memutuskan apa pun hari ini,” katanya lembut. “Kau boleh membenciku. Mengacuhkanku. Tidak memanggilku Ibu untuk sepuluh tahun pun aku akan—”
“Tidak,” potong Yun Sia pelan.
Permaisuri Lang tertegun.
Yun Sia mengangkat kepala. “Aku tidak membencimu.”
Ia menggenggam ujung bajunya, napasnya sedikit gemetar. “Aku hanya… tidak tahu bagaimana caranya punya orang tua.”
Keheningan menyebar seperti kabut pagi.
Permaisuri Lang tidak bisa menjawab. Ia hanya menangis sekali lagi, tapi kali ini tidak histeris. Tidak meraung. Hanya… sunyi.
Seperti langit yang akhirnya hujan setelah lama kering.
A-yang melangkah ke sisi Yun Sia tanpa ragu. Ia tidak menyentuh, tidak memeluk, hanya berdiri dekat. Cukup dekat hingga Yun Sia tahu… ia tidak sendirian.
“Ia akan tinggal di Wang selama ia mau,” ucap A-yang. “Dan jika orang Lang ingin mengenalnya, kalian boleh tinggal. Tapi tidak satu pun akan menyeret Yun Sia ke mana pun tanpa kehendaknya.”
Kaisar Tua Wang mengangguk, dan penuh otoritas menambahkan, “Selama dia berada di Wang, dia berada di bawah perlindungan istana ini.”
Mochen yang berdiri di belakang menegakkan tubuh. Liyan melakukan hal sama.
Satu kalimat. Dua pengawal. Satu pesan, jangan sentuh.
Kaisar Lang membungkuk dalam diam.“Terima kasih.”
...****************...
Malam itu, hujan turun dengan pelan seperti kain tipis membasuh atap istana.
Yun Sia duduk di tepi ranjang, memandangi jendela terbuka, pikirannya seperti benang kusut.
Ada ibu.
Ada ayah.
Ada tanah kelahiran.
Dan… ada A-yang.
Pintu diketuk pelan.
Yun Sia tidak bergerak.
Ketukan lagi.
“Aku masuk,” suara itu akrab. Suara yang selalu membuat dadanya menghangat.
A-yang membuka pintu dan masuk tanpa jubah kekaisaran. Hanya baju tidur sutra gelap. Rambutnya tergerai.
Ia duduk di lantai, bersandar ke sisi ranjang, seperti dulu… di rumah kecil di hutan.
“Kalau kamu menghilang besok,” gumamnya, “aku berencana menerima perang.”
Yun Sia tertawa kecil tanpa sadar. “Kamu keterlaluan.”
“Aku kaisar. Aku dibayar untuk itu.” Ia mendongak. “Apa yang kamu rasakan?”
Yun Sia terdiam lama.
“Aneh,” jawabnya akhirnya. “Seperti menemukan wajah dalam air… yang ternyata milikku.”
A-yang mengangguk pelan. “Takut?” tanyanya.
Ia ragu… lalu mengangguk kecil.
A-yang bangkit, duduk di sisi ranjang. “Kalau kamu ingin pergi…” Ia berhenti. “…aku akan mengizinkan.”
Yun Sia menoleh cepat. “Kamu serius?”
Ia tidak bercanda. “Aku kaisar, bukan pemilik hatimu.”
Hening.
Yun Sia tiba-tiba terisak kecil. Bukan keras. Tidak buruk. Hanya lelah.
“Isshh… jangan bicara seperti itu…”
Ia memukul kecil lengan A-yang. “Kalau kamu bicara seperti ini, aku bisa bilang aku mau pergi dan kamu akan tetap melepaskanku, kan?”
A-yang tidak menjawab.
Dan jawaban itulah yang membuat Yun Sia menangis sungguhan.
A-yang memeluknya.
Pelukan penuh. Erat. Tidak ragu.
“Aku ingin kamu tinggal,” katanya pelan. “Aku ingin kita… terus.”
Yun Sia memeluk balik.
“Kalau aku benar-benar putri Lang…”
“Lalu?”
“Dunia kita berbeda.”
A-yang tertawa kecil. “Kita kaisar dan putri. Tidak ada dunia yang lebih sama dari itu.”
“Bodoh.”
“Jatuh cinta membuatku begitu.”
Yun Sia mendongak. “Kamu bilang ‘jatuh cinta’?”
A-yang terdiam… lalu menatap lurus. “Aku sudah lama jatuh. Kamu saja yang lambat menangkapku.”
Yun Sia tersenyum sambil menangis.
---
Keesokan paginya…
Sarapan istana berubah menjadi medan diplomasi penuh senyum kaku.
Permaisuri Lang datang lebih awal, membawa sup herbal buatannya.
Ia berdiri di depan Yun Sia seperti siswi bodoh.
“A-aku… memasak ini sendiri…”
A-yang menatap mangkuk itu seolah bisa meledak kapan saja.
“Untuk apa?”
Permaisuri Lang menegang.
“Untuk… putriku.”
A-yang mendecak pelan. “Dia punya perut sensitif.”
Yun Sia menendang kakinya kecil di bawah meja.
“Ayang!”
A-yang menghela napas. “Baik. Maaf…”
Permaisuri Lang nyaris tertawa… atau menangis lagi.
Yun Sia mencicipi.
“Enak,” katanya tulus.
Permaisuri Lang tersenyum seperti matahari pertama musim semi.
“Aku akan belajar semua masakan kesukaanmu.”
A-yang bersandar malas. “Aku lebih dulu tahu semua itu.”
“Kaisar Wang,” ucap Permaisuri Lang pelan.
“Hmm?”
“Bolehkah aku cemburu?”
A-yang terkekeh.
Di sisi lain istana, Pangeran Lee bersandar ke pagar bersama Wang Jia.
“Dunia rumit,” katanya.
“Aku lebih bingung,” balas Wang Jia. “Satu hari dia masak sup jamur, besok dia calon putri Lang.”
Lee menarik napas panjang. “Setidaknya Tian ge tidak memilih selir seribu.”
Wang Jia menatap kosong. “Aku akan kabur kalau itu terjadi.”
Sementara itu…
Mochen berdiri di lorong panjang, tatapannya waspada.
Liyan mendekat.
“Ada yang aneh?”
Mochen mengangguk samar.“Ada bayangan yang mengikuti rombongan Lang.”
“Aku juga merasa.” ujar Lian
Mereka saling pandang.
“Selir itu…” gumam Liyan. “Belum ditemukan.”
Mochen mengepalkan tangan.
“Ini baru awal.”
Sementara di taman belakang…
Yun Sia duduk bersama Permaisuri Lang.
Diam.
Tidak canggung.
Hanya… sunyi yang penuh arti.
“Aku kehilangan semua lukisan mu,” ucap Permaisuri Lang pelan. “Ia membakarnya satu per satu.”
Yun Sia menoleh.
“Apa kamu membencinya?”
Permaisuri Lang menghela napas. “Aku membenci diriku… karena membiarkannya tinggal terlalu lama.”
Yun Sia meraih tangan wanita itu perlahan.
Untuk pertama kalinya…
Ia mengambil tangan ibunya.
Permaisuri Lang gemetar,
“Aku tidak tahu harus memanggilmu apa.” ujar Yun sia
“Kalau pun kau memanggilku ‘nona’, itu cukup,” ucap sang permaisuri pelan. “Aku akan menunggu… sampai hatimu siap.”
Dan Yun Sia tahu…
Ia tidak perlu menjawab sekarang.
Malam datang lagi.
Dua negeri.
Dua keluarga.
Dan satu gadis di tengahnya…
dengan kisah yang baru dimulai.
Tapi di balik cahaya lentera, seseorang mengamati.
Seseorang… yang tidak suka masa lalu kembali.
Dan kali ini…
ia tidak akan membuang bayi.
Ia akan…
menghabiskan warisan itu.
Bersambung