Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21. Makan Malam di Kandang Serigala dan Tatapan Sang Perantara
Malam minggu itu, Rendra berdiri di depan cermin di dalam bunker-nya. Bayangan yang memantul bukanlah Rendra si penjaga warnet yang lusuh, bukan pula Rendra si petarung jalanan yang baru saja mematahkan lengan preman kemarin sore.
Ia mengenakan setelan jas berwarna navy gelap, kemeja putih bersih, dan sepatu kulit yang dipoles mengkilap. Bukan merek desainer Italia yang mencolok, tapi merek lokal berkualitas tinggi yang pas di badannya yang atletis. Pakaian ini dibeli dengan uang dari "Nusantara Quantitative Solutions", alibi legalnya. Ia terlihat seperti eksekutif muda yang menjanjikan, atau mungkin, seorang predator yang menyamar menjadi domba.
Rendra merapikan kerahnya. Di saku jas bagian dalam, ia membawa ponsel preman dari Partai Keadilan yang sudah dimatikan. Di saku celana, ponsel utamanya. Dan di kepalanya, Kemampuan Visinya siap siaga.
"Fokus," bisiknya pada diri sendiri. "Jangan buat kesalahan. Kau adalah teman sekolah Clara. Hanya itu."
Taksi online yang ditumpangi Rendra berhenti di depan gerbang besi tempa setinggi tiga meter di kawasan Menteng. Penjaga keamanan berseragam safari memeriksa identitasnya dengan teliti sebelum gerbang terbuka perlahan.
Rumah keluarga Paramita adalah sebuah istana neoklasik dengan pilar-pilar putih raksasa. Mobil-mobil mewah..Mercedes, BMW, Alphard sudah berjejer di halaman. Rendra turun, menarik napas panjang, menghirup aroma kekayaan yang bercampur dengan kemunafikan.
Di pintu utama, Clara sudah menunggu. Malam itu, ia tampak memukau dengan gaun cocktail sederhana berwarna merah marun. Wajahnya berbinar saat melihat Rendra.
"Wow," Clara terkesima sedikit. "Kau... kau terlihat berbeda, Rendra. Sangat berbeda."
Rendra tersenyum tipis, senyum yang sudah ia latih. "Aku hanya berusaha menghormati undanganmu, Clara. Kau terlihat cantik."
Pipi Clara merona. "Terima kasih. Ayo masuk, Ayah sudah menunggu."
Ruang tamu utama dipenuhi oleh suara denting gelas kristal dan obrolan sopan yang bergumam. Di tengah ruangan, berdiri Bapak Seno Paramita, pria paruh baya dengan rambut memutih yang memancarkan aura wibawa, meskipun gurat kelelahan terlihat jelas di sekitar matanya—sisa-sisa stres akibat kasus pajak yang baru saja selesai.
"Ayah," panggil Clara. "Ini Rendra. Teman yang kuceritakan."
Pak Seno berbalik. Matanya menatap Rendra, menilai. Rendra membalas tatapan itu dengan hormat namun tegak, tidak menunduk seperti bawahan.
"Ah, Rendra. Clara banyak bercerita tentangmu. Katanya kau juara umum di sekolah?" Pak Seno mengulurkan tangan.
"Hanya beruntung, Pak. Saya harus belajar dua kali lebih keras untuk mengejar ketertinggalan," jawab Rendra, menjabat tangan pria itu dengan mantap.
"Rendah hati. Bagus," Pak Seno mengangguk. "Jarang ada anak muda yang bicaranya tertata seperti ini. Nikmati pestanya. Ini perayaan kecil karena... yah, sebuah masalah besar baru saja lewat."
"Saya dengar Bapak berhasil mengatasi kesalah pahaman administrasi itu. Selamat, Pak," ujar Rendra, menyisipkan kata 'kesalahpahaman' dengan sengaja.
Pak Seno tertawa kecil, namun matanya menyiratkan rasa penasaran. "Ya, kesalahpahaman. Berkat bantuan seorang jenius misterius yang bekerja dengan putri sulungku."
Jantung Rendra berdesir. Jenius misterius. Mereka membicarakannya tepat di depannya.
Tiba-tiba, suhu ruangan terasa turun beberapa derajat.
"Selamat malam."
Suara itu dingin, tajam, dan elegan. Rendra menoleh. Di ambang pintu ruang makan, berdiri Elena Paramita.
Wanita itu mengenakan gaun hitam yang memeluk tubuh rampingnya, rambutnya disanggul rapi tanpa cela. Matanya, yang sama tajamnya dengan mata elang, langsung terkunci pada Rendra.
Ini adalah pertama kalinya mereka bertatap muka secara langsung, tanpa perantara layar komputer atau kaca mobil. Elena berjalan mendekat, langkahnya berirama seperti detak jam.
"Jadi ini teman sekolahmu, Clara?" tanya Elena, matanya tidak lepas dari Rendra. "Siapa namamu? Rendra Aditama?"
"Benar, Kak Elena," jawab Rendra sopan.
"Rendra," Elena mengulang nama itu seolah sedang mencicipi rasa anggur yang aneh. "Kau punya tatapan mata yang... familiar. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Pertanyaan jebakan. Rendra tahu Elena sangat intuitif.
"Saya rasa tidak, Kak. Saya hanya siswa biasa. Mungkin kita pernah berpapasan di jalan?" jawab Rendra tenang. Elena menyipitkan mata sedikit. "Mungkin...Atau mungkin di tempat lain."
Makan malam berlangsung di meja panjang yang megah. Rendra duduk di samping Clara, berhadapan langsung dengan Elena. Hidangan steak wagyu dan truffle soup disajikan, kontras tajam dengan mi instan yang biasa Rendra makan.
Percakapan didominasi oleh kolega Pak Seno yang membicarakan politik. Rendra lebih banyak diam, mengamati.
"Jadi, Elena," tanya salah satu kolega, "Bagaimana kau menyelesaikan masalah pajak itu begitu cepat? Itu keajaiban."
Elena meletakkan garpunya perlahan. Ia melirik Rendra sekilas sebelum menjawab. "Aku memiliki konsultan independen yang sangat... berbakat. Dia melihat apa yang tidak dilihat orang lain."
"Siapa dia? Aku ingin mempekerjakannya," canda kolega itu.
"Dia tidak bisa disewa," jawab Elena dingin. "Dia hantu."
Rendra tetap memotong dagingnya dengan tenang, seolah tidak mendengar. Namun, di bawah meja, kakinya bersiaga. Instingnya berteriak ada bahaya. Tiba-tiba, ponsel Elena yang tergeletak di atas meja bergetar. Layarnya menyala.
Rendra tidak perlu melirik secara fisik. Ia memicu Visi -nya untuk melihat masa depan yang sangat dekat, atau lebih tepatnya, memprediksi siapa pengirimnya berdasarkan pola getaran dan waktu.
Rendra memejamkan mata sekejap (berpura-pura menikmati makanan). Dalam Visi-nya, ia melihat kejadian 30 detik ke depan: Elena akan membuka pesan itu, wajahnya akan berubah pucat, dan dia akan menatap Rendra dengan kecurigaan yang memuncak.
Isi pesan di Visi itu terlihat samar tapi terbaca: Pengirim: Tuan W. Pesan: "Anak itu, Rendra. Cek latar belakangnya. Dia terlalu dekat dengan adikmu. Pastikan dia bukan duri."
Rendra membuka mata. Pesan itu baru saja masuk. Elena belum membacanya.
Rendra harus melakukan distraksi sebelum Elena membaca pesan itu dan mencurigainya saat itu juga. Tangan Rendra bergerak "canggung", menyenggol gelas kristal berisi air mineral di dekat Clara.
Prang!
Gelas itu jatuh dan pecah, air tumpah membasahi taplak meja mahal.
"Ah! Maafkan saya!" seru Rendra, berdiri dengan wajah panik yang dibuat-buat. "Saya ceroboh sekali."
Kekacauan kecil itu mengalihkan perhatian semua orang. Pelayan segera datang. Clara sibuk membantu Rendra membersihkan jasnya yang terkena sedikit cipratan. Dalam kekacauan itu, Elena tidak jadi membuka ponselnya. Dia justru menatap Rendra dengan tatapan meremehkan.
"Hati-hati, Rendra," kata Elena sinis. "Gelas itu mahal. Mungkin lebih mahal dari SPP sekolahmu."
"Kak Elena!" tegur Clara marah.
"Tidak apa-apa, Clara. Kakakmu benar. Aku tidak terbiasa dengan meja semewah ini," kata Rendra, menunduk "malu".
Strategi berhasil. Di mata Elena sekarang, Rendra hanyalah anak miskin yang canggung dan norak, bukan agen rahasia yang dingin. Pesan Wirawan nanti akan dibaca Elena dengan bias bahwa Rendra adalah anak bodoh yang tidak berbahaya, bukan ancaman.
Setelah makan malam, Rendra pamit untuk mencari udara segar di balkon lantai dua. Ia perlu menenangkan detak jantungnya. Pintu balkon terbuka. Elena muncul. Dia memegang gelas wine, menatap Rendra yang berdiri menghadap taman belakang.
"Kau tidak secanggung yang kau tampilkan di meja makan tadi," kata Elena tiba-tiba. Suaranya rendah, menyelidik.
Rendra berbalik. "Maksud Kakak?"
Elena melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka. Bau parfum mahalnya tercium, aroma melati dan bahaya.
"Tadi, saat gelas itu jatuh... tanganmu bergerak sepersekian detik sebelum gelas itu tersenggol. Seolah kau sengaja menjatuhkannya. Atau kau tahu itu akan jatuh." Rendra menahan napas. Wanita ini mengerikan. Observasinya setajam silet.
"Itu hanya refleks, Kak. Saya gugup," elak Rendra.
Elena menatap mata Rendra lekat-lekat, mencoba menembus jiwanya. "Ayahku bilang kau teman baik Clara. Tuan W atasanku bilang aku harus mengawasimu. Tapi intuisiku mengatakan hal lain."
Elena mendekatkan wajahnya ke telinga Rendra, berbisik. "Katakan padaku, Rendra. Apakah kau si 'Hantu' itu? Apakah kau yang mengirimiku email tentang reversal bank?"
Jantung Rendra berpacu. Ini momen penentuan. Mengaku berarti membuka kartu, tapi bisa mendapatkan sekutu. Menyangkal berarti tetap aman, tapi kehilangan kepercayaan Elena.
Rendra memilih jalan tengah. Jalan ambiguitas.
Rendra menatap mata Elena, ekspresinya berubah dari anak canggung menjadi dingin dan dewasa, hanya untuk sedetik.
"Kak Elena," bisik Rendra tenang. "Jika hantu itu nyata, dia pasti melakukannya karena dia peduli pada keselamatan keluarga ini. Bukan untuk mencari pengakuan. Mungkin lebih baik hantu itu tetap menjadi hantu, selama dia menjaga Kakak dan Clara tetap aman."
Mata Elena membelalak. Itu bukan pengakuan langsung, tapi itu adalah konfirmasi tersirat.
Elena mundur selangkah, terguncang. Dia melihat Rendra dengan pandangan baru: bukan sebagai anak SMA, tapi sebagai sosok pelindung yang misterius.
"Siapa kau sebenarnya?" bisik Elena.
"Hanya teman Clara," jawab Rendra, kembali tersenyum polos. "Sebaiknya saya pulang, Kak. Sudah malam."
Rendra berjalan melewati Elena, meninggalkan wanita karir yang berkuasa itu terpaku di balkon dengan gelas wine yang bergetar di tangannya.
Malam ini, Rendra tidak hanya selamat dari kandang serigala. Dia baru saja menjinakkan sang induk serigala.
Semangat Thor