Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4. Yang Tidak Pernah Dimaafkan
Pertanyaan itu menggantung lama di udara.
Raska menatap lurus ke depan. “Aku mau.”
Itu saja.
Tak ada cerita soal trauma. Tak ada nama Elvara. Tak ada alasan patriotik. Tak ada luka yang dibuka.
Hanya keputusan.
Nata tersenyum kecil. Pahit. “Kamu selalu begitu,” katanya pelan. “Nggak pernah mau cerita.”
Raska tetap diam.
“Ras, militer itu keras,” lanjut Nata. “Bukan tempat lari.”
“Aku nggak lari.”
Nata menatapnya lama. Terlalu lama.
“Kamu mirip mamamu,” katanya akhirnya. “Kalau sudah memutuskan, nggak ada yang bisa menghentikan.”
Nama itu membuat dada Raska mengencang. Mendiang ibunya yang meninggal tak lama setelah pertengkaran hebat itu.
Sunyi kembali turun.
Nata mengambil pulpen. Jemarinya berhenti sejenak di atas kertas.
“Kamu benci Papa,” katanya lirih. Bukan tuduhan. Lebih seperti pengakuan.
Raska menegang. “Aku cuma nggak lupa.”
Pulpen itu akhirnya menyentuh kertas. Tanda tangan tergores tegas.
Nata menutup map, lalu mendorongnya ke arah Raska. “Papa nggak setuju,” katanya jujur. “Tapi Papa juga nggak punya hak menghalangi.”
Raska mengambil map itu. “Terima kasih,” ucapnya datar. Ia berbalik menuju kamarnya.
“Raska.”
Langkahnya berhenti.
Nata berdiri. Suaranya lebih rendah. “Kalau suatu hari kamu jatuh… kamu tetap anak Papa.”
Raska tidak menoleh. “Kalau aku jatuh,” jawabnya pelan, “aku bangun sendiri. Dan itu nggak akan terjadi.”
Pintu kamar tertutup.
Nata duduk sendirian di ruang tamu kecil itu, menatap kota yang tak pernah tidur.
Untuk pertama kalinya, ia sadar, bukan hanya kehilangan istrinya, tapi juga anak laki-laki yang tak pernah benar-benar memaafkan.
Nata menyandarkan tubuh di sofa. Matanya terpejam. Namun ketenangan itu hanya ilusi.
Ingatan tujuh tahun lalu datang tanpa izin.
“Aku mencintaimu.”
Suara Nata terdengar tegas, tapi berat. Seolah setiap kata ditarik dari dada yang sudah lama lelah.
“Dan aku tidak pernah mencintai Lisa. Tidak pernah.”
Ibu Raska tertawa pendek. Bukan geli, melainkan pahit.
“Tapi itu tidak berarti,” lanjut Nata, “kalau kamu menyakiti Lisa dan Roy, aku akan diam saja.”
“MENYAKITI?” suara wanita itu meninggi. “Aku yang terluka, Nata!”
Ia melangkah maju. Matanya merah, dadanya naik turun.
“Aku menerima wanita itu. Aku menerima anak hasil jebakannya. Dengan hati hancur, aku terima. Tapi apa balasanmu?”
Ia menunjuk dada Nata.
“Kamu terus menuduh aku. Seolah aku monster yang ingin menghancurkan hidup mereka!”
“Semua bukti bicara, Ma,” jawab Nata, suaranya mulai goyah. “Kamu memang berusaha menyakiti mereka. Bahkan—”
Ia membuang napas kasar. “Bahkan pernah berniat melenyapkan mereka.”
“CUKUP!”
Teriakan itu mengguncang ruangan.
Ibu Raska menatapnya dengan mata basah dan tajam sekaligus.
“Aku tidak ingin mendengar omong kosongmu lagi,” katanya bergetar. “Rumah tangga dibangun dari kepercayaan. Kalau itu sudah mati, untuk apa dipertahankan?”
Ia menarik napas panjang.
“Kita cerai.”
Di balik dinding, seorang bocah kecil berdiri terpaku.
Raska, sepuluh tahun, menggenggam ujung kausnya. Matanya membesar. Napasnya tercekat.
“Jangan asal bicara,” sahut Nata keras. “Aku tidak akan menceraikanmu.”
Ibu Raska tersenyum miring. Hampa. “Kau tidak percaya padaku,” katanya pelan, menusuk. “Tapi juga tidak ingin melepaskanku.”
Ia mendekat. Suaranya bergetar karena luka yang sudah terlalu lama ditahan. “Apa kau ingin membunuhku perlahan-lahan, Nata?”
Nata menatapnya lurus. Rahangnya mengeras. “Aku mencintaimu.”
“Omong kosong.”
Kalimat itu memotong tanpa ampun.
“Kalau kau mencintaiku,” lanjutnya, air mata jatuh tanpa suara, “kau tak akan pernah meragukanku.”
Ia membalikkan badan. “Aku akan menggugat cerai.”
“Kita tidak akan berpisah,” balas Nata. “Kecuali maut yang menjemput.”
Ingatan itu pecah. Digantikan oleh gambar lain.
Lebih sunyi. Lebih dingin. Lebih mematikan.
Langkah tergesa terdengar.
“Raska! Apa yang terjadi?!”
Nata berlutut, lalu membeku.
Tubuh itu terbaring kaku di lantai. Wajah pucat. Dingin. Tak bernapas. Obat tidur berserakan di sekitarnya.
Dunia seolah runtuh tanpa suara.
“Ma…” panggilnya nyaris tak terdengar.
Tangannya terangkat, gemetar, hendak menyentuh, lalu ragu. Seolah takut menerima kenyataan.
“Nggak… ini nggak mungkin…” gumamnya lirih.
Di samping tubuh itu, Raska kecil mengguncang bahu ibunya dengan panik.
“Mama bangun, Ma… Mama…”
Tangis bocah itu menusuk kesadaran Nata. Ia menoleh. Dan di detik itu, tatapan Raska menghantamnya lebih keras dari tamparan apa pun.
“Aku benci Papa!”
Kalimat itu pecah di udara yang dingin.
“Mama nggak akan mati kalau Papa percaya Mama!” teriaknya histeris.
“Ini semua karena Papa! Karena Papa lebih percaya wanita jahat itu!”
Kepalan kecil itu menghantam dada Nata berkali-kali. Nata tersentak, seperti baru kembali ke tubuhnya sendiri. Refleks ia mengangkat tangan, hendak memeluk. Namun Raska mundur.
“Jangan sentuh aku!”
Tangisnya berubah amarah.
“Aku benci Papa!”
Ingatan terakhir menyusul.
Seorang bocah duduk di sudut kamar. Memeluk lutut. Menenggelamkan wajah di pahanya. Bahu kecil itu bergetar. Isaknya lirih, tapi menyayat.
Nata membuka mata.
Ruang tamu kembali sunyi. Dadanya terasa sesak, seperti tujuh tahun lalu.
Kini ia mengerti.
Trauma Raska bukan hanya karena kehilangan ibunya. Melainkan karena seorang anak yang melihat cinta berubah menjadi kecurigaan, dan kematian yang ia yakini… bisa dicegah.
Dan penyesalan itu, tak pernah benar-benar pergi.
***
Sore itu, ruang praktik Dokter Wira kembali sunyi.
Kali ini tak ada Raska di kursi pasien.
Yang duduk di sana adalah Wijanata, pria dewasa dengan bahu tegap, namun sorot matanya kelelahan. Tangannya saling bertaut di pangkuan, seperti menahan sesuatu agar tak runtuh.
Dokter Wira menutup map cokelat di tangannya.
“Raska ingin jadi tentara,” ujar Nata akhirnya. Bukan bertanya, lebih seperti memastikan kalimat itu benar-benar nyata.
Dokter Wira mengangguk kecil. “Saya sudah tahu.”
Nata menoleh. “Dia cerita ke Dokter?”
“Tidak secara langsung,” jawab Dokter Wira tenang. “Tapi keputusannya sudah lama terbaca.”
Nata menghela napas pendek. “Alasannya?” Kali ini ia menatap lurus. “Jangan jawab normatif.”
Dokter Wira menarik napas pelan. “Trauma hanyalah satu lapisan,” katanya jujur. “Bukan satu-satunya.”
Nata terdiam.
“Trauma Raska memang kambuh saat melihat orang terlentang, pucat, dingin,” lanjutnya. “Tidak selalu ibunya. Tapi paling keras ketika yang terbaring memiliki ikatan emosional.”
“Itu sebabnya saya ragu,” potong Nata. “Militer penuh kematian.”
“Dan justru itu,” jawab Dokter Wira tanpa meninggikan suara, “yang membuat Raska memilihnya.”
Nata mengernyit.
“Di medan tugas,” lanjut dokter Wira, “ia bukan saksi. Ia pelaku yang memiliki kendali. Bukan anak sepuluh tahun yang berdiri di balik dinding. Tak berdaya.”
Kalimat itu menghantam pelan, tapi tepat.
Nata menelan ludah. “Lalu… selain trauma?”
Dokter Wira menatapnya lebih lama dari sebelumnya, seolah menimbang batas yang tak boleh ia lewati.
“Raska kehilangan lebih dari satu hal,” katanya akhirnya, hati-hati. “Ia kehilangan ibunya. Setelah itu, ia kembali mengalami kehilangan dalam relasi personal.”
Dahi Nata berkerut. “Relasi personal?”
Dokter Wira mengangguk. “Ia pernah membangun rumah tangga. Singkat. Dan berakhir tanpa penyelesaian.”
“Apa?!”
Nata refleks setengah berdiri. “Maksud dokter, dia sudah menikah?”
“Tenang,” ujar Dokter Wira cepat, suaranya tetap terkendali. “Saya tidak membicarakan detail. Hanya konteks yang relevan.”
Nata duduk kembali, napasnya berat. “Wanita itu,” katanya pelan, “yang sebelumnya membuat emosi Raska tidak stabil?”
Dokter Wira mengangguk. “Benar. Ia sangat terikat secara emosional.”
“Namanya?” tanya Nata nyaris berbisik.
...🔸🔸🔸...
...“Beberapa luka tidak meminta disembuhkan....
...Mereka hanya ingin diakui pernah ditorehkan.”...
...“Ia tidak tumbuh dari trauma....
...Ia tumbuh menghindarinya, dengan cara yang paling berbahaya.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Terus Kak Nana, Uonya kak 🙏🙏🙏
Kak, up lagi donk 🤭
membuatku srlalu memejamkan Mata sejenak untuk meresapi maknanya
lanjutkan ka...
Tapi... Yang nggk di sadari Orang tua yang bilang begitu, anak laki-laki kan juga manusia biasa. Bukan Robot, yang nggk bisa menangis dan terpuruk. Laki-laki juga pernah menangis juga dan terpuruk, sama Seperti Wanita. Jadi Salah, kalau ada yang bilang laki-laki itu, nggk boleh nangis dan Rapuh Seperti Perempuan. Laki-laki juga manusia biasa 😁😁😁🙏
Nangis Saja Rava, kalau kamu mau nangis, nggk papa kok 😁😁😁🙏
tapi wajahmu gak berubah kan Vara??