"Aku mati. Dibunuh oleh suamiku sendiri setelah semua penderitaan KDRT dan pengkhianatan. Kini, aku kembali. Dan kali ini, aku punya sistem."
Risa Permata adalah pewaris yang jatuh miskin. Setelah kematian tragis ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Doni, anak kepala desa baru yang kejam dan manipulatif. Seluruh hidup Risa dari warisan, kehormatan, hingga harga dirinya diinjak-injak oleh suami yang berselingkuh, berjudi, dan gemar melakukan KDRT. Puncaknya, ia dibunuh setelah mengetahui kebenaran : kematian orang tuanya adalah konspirasi berdarah yang melibatkan Doni dan seluruh keluarga besarnya.
Tepat saat jiwanya lepas, Sistem Kehidupan Kedua aktif!
Risa kembali ke masa lalu, ke tubuhnya yang sama, tetapi kini dengan kekuatan sistem di tangannya. Setiap misi yang berhasil ia selesaikan akan memberinya Reward berupa Skill baru yang berguna untuk bertahan hidup dan membalikkan takdir.
Dapatkah Risa menyelesaikan semua misi, mendapatkan Skill tertinggi, dan mengubah nasibnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 : Ratu yang Terbuang
Dunia Risa Permata terasa bergoyang saat ia dipaksa bangun dari pengaruh obat penenang yang disuntikkan oleh "dokter" misterius utusan Revano—atau setidaknya begitulah pengakuannya. Kepalanya terasa berat, seolah-olah otaknya dibungkus kapas tebal, dan rasa sakit di kakinya yang patah telah berubah menjadi denyutan tumpul yang konstan.
Namun, bukan rasa sakit fisik yang menyambut kesadarannya pagi itu. Melainkan suara riuh rendah dari arah ruang tengah, suara gesekan furnitur yang dipindahkan, dan tawa melengking Melati yang terdengar sangat berkuasa.
Pintu gudang terbuka kasar. Doni masuk dengan setelan jas mahal yang baru, tampak segar seolah-olah ia tidak baru saja menyiksa istrinya selama berhari-hari.
"Bangun, Risa. Hari ini adalah hari besar," Doni tersenyum, sebuah senyuman yang lebih mirip seringai pemenang. "Ada perubahan rencana. Karena kau terus-menerus sakit dan 'gila', aku memutuskan untuk membawa seseorang yang bisa mengurus rumah ini dengan benar. Seseorang yang tahu bagaimana cara menjadi wanita sejati."
Doni menyeret Risa keluar dari gudang. Tubuh Risa yang lemas tak mampu menahan beratnya sendiri, hingga ia harus diseret seperti karung goni melewati lorong dapur. Saat sampai di ruang tamu, jantung Risa seolah berhenti berdetak.
Seluruh foto mendiang ibunya yang masih tersisa di dinding telah diturunkan. Sebagai gantinya, sebuah lukisan potret diri Melati yang besar dan vulgar terpampang di sana. Koper-koper mewah bermerk luar negeri berserakan di lantai, dan para pelayan baru—yang semuanya adalah orang-orang kepercayaan Nyai Ratna, sedang sibuk menata barang-barang Melati ke dalam lemari-lemari yang dulu berisi pakaian Risa.
"Selamat pagi, Istri Sah," Melati berjalan mendekat dengan langkah gemulai. Ia mengenakan salah satu gaun sutra tercantik milik Risa, yang sudah dikecilkan agar pas di tubuhnya. Di lehernya melingkar perhiasan emas yang Risa tahu itu diambil dari brankas kecil ayahnya.
"Doni... apa yang kau lakukan?" rintih Risa, suaranya nyaris hilang. "Kau membawa wanita ini tinggal di sini?"
"Bukan hanya tinggal, Risa," Doni merangkul pinggang Melati di depan mata Risa. "Melati adalah Nyonya Rumah yang baru. Mulai hari ini, dia yang memegang kunci gudang makanan, dia yang mengatur pelayan, dan dia yang akan menempati kamar utama bersamaku. Secara permanen."
"Tapi aku istrimu! Rumah ini milik Ayahku!" teriak Risa dengan sisa tenaganya.
PLAK!
Doni melayangkan tamparan yang begitu keras hingga kepala Risa tersentak dan tubuhnya jatuh tersungkur di atas tumpukan koper Melati.
"Rumah ini milikku sekarang! Kau sendiri yang menandatangani akta jual belinya, ingat?!" bentak Doni. "Statusmu di sini sekarang tidak lebih dari seorang pemalas yang menumpang hidup. Jika kau ingin tetap makan, kau harus mengikuti aturan Melati."
Melati membungkuk, menatap Risa yang tersungkur dengan pandangan penuh kemenangan. Ia menjepit dagu Risa dengan kuku-kukunya yang panjang dan tajam. "Jangan sedih, Risa. Aku tidak sekejam yang kau kira. Aku sudah menyiapkan tempat khusus untukmu. Kau tidak perlu lagi tidur di gudang bawah tangga yang pengap itu."
Risa menatap Melati dengan penuh curiga. Harapan kecil muncul, apakah ia akan diberikan kamar di paviliun?
"Kau akan tinggal di gudang belakang, di samping kandang anjing penjaga," lanjut Melati sambil tertawa nyaring. "Udaranya lebih segar di sana, dan kau bisa belajar banyak dari anjing-anjing itu tentang cara menjadi penurut."
Sore harinya, pemindahan paksa itu dilakukan. Risa tidak diberikan kesempatan untuk mengambil satu pun barang pribadinya. Ia diseret menuju area paling belakang dari kediaman Permata, sebuah gudang kayu tua yang atapnya sudah bocor dan lantainya tertutup jerami kering. Di sampingnya, anjing-anjing Doberman milik Doni menggonggong beringas, hanya dibatasi oleh pagar besi tipis.
"Ini tempatmu sekarang," ujar salah satu anak buah Doni sambil melemparkan tubuh Risa ke atas jerami. "Nyonya Melati berpesan, jangan coba-coba mendekati rumah utama kecuali kau dipanggil untuk bekerja."
Risa meringkuk di atas jerami yang gatal dan tajam. Luka di punggungnya yang belum sembuh terasa sangat tersiksa dalam kondisi ini. Namun, siksaan mentalnya jauh lebih parah. Lewat jendela gudang yang tidak berkaca, ia bisa melihat jendela kamar utamanya di lantai dua.
Lampu kamar itu menyala terang. Ia bisa melihat bayangan Doni dan Melati yang sedang berdansa, minum anggur, dan tertawa. Mereka menggunakan ranjang ayahnya, menggunakan rumah ayahnya, dan menghancurkan martabatnya sebagai seorang istri di depan seluruh orang di rumah itu.
Ayah... lihatlah... rumah kita telah menjadi sarang iblis, batin Risa.
Malam itu, hujan turun dengan sangat deras. Atap gudang yang bocor membuat air hujan langsung membasahi tubuh Risa. Ia menggigil hebat, demamnya kembali naik. Di tengah kegelapan dan suara gonggongan anjing yang kelaparan, Risa merasa dirinya benar-benar telah mencapai titik nadir sebagai manusia.
Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki yang mengendap-endap di balik dinding gudang.
"Non... ini Bi Nah..."
Suara bisikan itu membuat Risa terjaga. Bi Nah muncul dari balik bayangan pohon besar, membawa sebuah bungkusan kecil yang dibungkus plastik agar tidak basah.
"Bi... kenapa kau kembali? Doni bisa membunuhmu," bisik Risa dengan gigi yang berkeretuk karena kedinginan.
"Saya tidak tega, Non. Tuan Baskoro sangat baik pada keluarga saya. Saya tidak bisa membiarkan putri beliau mati seperti ini," Bi Nah memasukkan bungkusan itu melalui celah dinding. "Di dalam ada selimut tipis, nasi bungkus, dan... sebuah surat dari pria yang waktu itu."
Risa segera membuka bungkusan itu. Selimut itu terasa seperti anugerah terbesar baginya. Ia merogoh ke dasar bungkusan dan menemukan secarik kertas kecil yang ditulis dengan sangat rapi.
"Melati bukan hanya selingkuhan. Dia adalah mata-mata dari pihak ketiga yang ingin mengambil koordinat tambang itu dari Doni. Jangan percaya padanya. Doni berencana membuangmu lusa saat acara kabupaten. Bersiaplah."
Risa terpaku. Melati mengkhianati Doni?
Ia menyadari bahwa konspirasi ini jauh lebih berlapis dari yang ia duga. Semua orang di rumah ini sedang saling tikam untuk mendapatkan harta ayahnya. Doni menggunakan Melati untuk menyiksa Risa, sementara Melati mungkin menggunakan Doni untuk mendekati aset tersebut.
"Bi, apa kau tahu sesuatu tentang Revano Adhyaksa?" tanya Risa.
Bi Nah menggeleng cepat. "Saya tidak tahu banyak, Non. Tapi orang-orang desa bilang, mobil-mobil mewah dari kota sudah mulai berjaga di perbatasan desa. Mereka bilang, tanah ini akan menjadi medan perang."
Gonggongan anjing tiba-tiba mengeras. Bi Nah panik. "Saya harus pergi, Non. Jaga diri Non baik-baik. Jangan makan makanan yang diberikan Melati besok pagi, saya dengar dia menyuruh pelayan memasukkan sesuatu ke dalamnya."
Bi Nah menghilang dalam kegelapan hujan. Risa memeluk selimut tipis itu, mencoba mencari sedikit kehangatan. Kata-kata Bi Nah tentang rencana Doni lusa membuatnya sadar bahwa waktu hidupnya di kehidupan pertama ini benar-benar sedang dihitung mundur.
Keesokan paginya, penghinaan itu berlanjut. Risa tidak dibiarkan beristirahat meskipun tubuhnya sangat lemah. Melati datang ke gudang belakang dengan mengenakan gaun pagi yang sangat mewah, diikuti oleh dua pelayan yang membawa nampan makanan.
"Bangun, Risa! Lihat, aku membawakanmu sarapan spesial," Melati menyeringai. Ia meletakkan nampan itu di atas lantai yang becek. Di sana hanya ada semangkuk bubur encer yang baunya sangat aneh—bau yang sama dengan racun tikus yang sering digunakan pelayan di gudang.
Risa teringat peringatan Bi Nah. Ia hanya menatap makanan itu dengan pandangan dingin.
"Kenapa diam saja? Makanlah. Doni ingin kau terlihat 'hidup' saat acara di kabupaten besok lusa. Dia tidak ingin orang-orang melihatmu sebagai mayat," ejek Melati.
"Kau pikir aku bodoh, Melati?" suara Risa terdengar serak namun tajam. "Aku tahu apa yang kau masukkan ke dalam bubur itu."
Wajah Melati berubah sejenak, namun ia segera tertawa keras. "Oh, jadi kau mulai punya otak sekarang? Baguslah. Tapi kau tidak punya pilihan, bukan? Jika kau tidak makan, kau mati kelaparan. Jika kau makan, kau mati pelan-pelan. Bagiku, hasilnya sama saja."
Melati mendekat dan membisikkan sesuatu yang membuat darah Risa mendidih. "Kau tahu? Doni sebenarnya sangat membencimu. Dia bilang, setiap kali dia menyentuhmu, dia merasa jijik karena kau mengingatkannya pada ayahnya yang sombong. Dia jauh lebih menikmati saat-saat ia menyiksamu daripada saat-saat ia memilikimu sebagai istri."
Risa tidak tahan lagi. Dengan sisa tenaganya, ia meraih mangkuk bubur itu dan menyiramkannya ke wajah Melati.
"AAAAAAKH! JALANG! KAU BERANI MENYIRAMKU?!" teriak Melati histeris. Ia menyeka bubur panas itu dari wajahnya dengan marah. "DONI! DONI, LIHAT APA YANG DILAKUKAN PEREMPUAN GILA INI!"
Doni datang berlari mendengar teriakan itu. Melihat Melati yang berantakan, amarahnya meledak. Ia langsung masuk ke gudang dan menjambak rambut Risa, menyeretnya keluar ke area kandang anjing.
"KAU SUDAH BENAR-BENAR BOSAN HIDUP, HAH?!" Doni berteriak tepat di depan wajah Risa. Ia mengambil sebuah cambuk kecil yang biasa digunakan untuk melatih anjing.
CETAR!
Cambukan itu mendarat di kaki Risa yang patah. Risa menjerit memilukan, rasa sakitnya melampaui batas kewajaran. Ia jatuh tersungkur di atas tanah berlumpur.
"Jangan hanya cambuk, Doni! Beri dia pelajaran yang lebih baik!" Melati menghasut dengan wajah yang penuh kebencian. "Masukkan dia ke dalam kandang anjing! Biar anjing-anjingmu yang mengajarinya sopan santun!"
Doni menyeringai jahat. "Ide yang bagus, Sayang."
Doni membuka pintu kandang salah satu anjing Doberman-nya yang paling agresif. Ia mendorong Risa masuk ke dalam kandang yang sempit itu. Anjing hitam besar itu langsung menggeram, taringnya yang tajam tampak berkilat di bawah sinar matahari.
"Doni... jangan... aku mohon..." Risa merangkak mundur, terpojok di sudut kandang yang bau.
"Diam di sana selama satu jam. Jika kau selamat tanpa digigit, mungkin aku akan memberimu air minum," Doni mengunci pintu kandang dari luar dan tertawa bersama Melati saat anjing itu mulai menggonggong tepat di depan wajah Risa.
Selama satu jam itu, Risa berada dalam teror maut yang paling nyata. Ia harus tetap diam, menahan napas, dan tidak melakukan gerakan mendadak agar anjing itu tidak menyerangnya. Namun, bau darah dari luka-lukanya justru membuat anjing itu semakin agresif.
Setiap detik terasa seperti satu tahun bagi Risa. Ia menutup matanya, memanggil nama ayahnya berulang-ulang. Di dalam hatinya, ia sudah menyerah sepenuhnya. Ia merasa bahwa maut adalah satu-satunya pelarian yang tersisa.
Ayah... Risa ingin pulang... Risa lelah...
Setelah satu jam yang menyiksa, Doni mengeluarkan Risa karena ia tidak ingin Risa benar-benar mati sebelum acara kabupaten. Tubuh Risa yang gemetar hebat dilemparkan kembali ke gudang belakang.
"Besok adalah kesempatan terakhirmu, Risa," ujar Doni sambil membersihkan sepatunya. "Pak Surya sudah menyiapkan naskah pidatomu. Jika kau mengacaukannya, aku tidak akan hanya memasukkanmu ke kandang anjing. Aku akan membiarkan mereka mencabik-cabikmu sampai habis."
Doni dan Melati pergi, meninggalkan Risa dalam kehancuran yang total. Risa berbaring di jerami yang basah, matanya menatap kosong ke langit-langit gudang. Ia menyadari bahwa posisinya benar-benar sudah tidak memiliki harga sedikit pun. Ia adalah istri sah yang diusir ke gudang, digantikan oleh selingkuhan, disiksa sebagai hiburan, dan sekarang akan dibuang seperti sampah.
Namun, di tengah keputusasaan itu, Risa merasakan sesuatu di dalam saku bajunya. Pecahan permata dari liontin ibunya yang ia simpan dengan nyawa. Ia merasakannya tajam menusuk jarinya.
Ia teringat kode yang ia tulis kemarin.
"UTARA - BAYANGAN JATI TUA - 09.00"
Ia harus bertahan satu hari lagi. Hanya satu hari. Jika ia bisa sampai ke acara kabupaten itu, mungkin ia bisa memberikan kode ini kepada orang-orang Revano. Ini adalah pertaruhan terakhirnya. Jika ia gagal, ia akan mati. Jika ia berhasil, setidaknya ia akan mati dengan melihat rumah ini hancur.
Malam kembali turun, lebih dingin dari sebelumnya. Risa meringkuk di bawah selimut tipis pemberian Bi Nah. Ia mendengar suara tawa dari rumah utama, suara pesta yang seolah merayakan kematian jiwanya.
"Aku akan bertahan..." bisik Risa pada kegelapan. "Bukan untuk hidup... tapi untuk membalas dendam."
Keesokan paginya, sebelum acara kabupaten dimulai, Melati mendatangi Risa sendirian. Kali ini ia tidak membawa bubur beracun. Ia membawa sebuah dokumen rahasia yang ia curi dari brankas Doni.
"Risa, aku tahu kau memegang kunci ke tambang itu," bisik Melati dengan nada mendesak. "Kerjasamalah denganku. Berikan koordinatnya padaku, dan aku akan membunuh Doni malam ini juga. Kita bisa lari bersama dan membagi hartanya. Doni tidak akan pernah membiarkanmu hidup setelah acara besok, kau tahu itu kan?"
Risa menatap Melati. Musuh dari musuhnya mengajak bekerja sama. Namun, apakah Melati benar-benar ingin menolongnya, atau ini hanya trik lain dari para predator yang mengelilinginya? Risa harus memilih antara dua iblis, sementara malaikat maut sudah berdiri tepat di belakang punggungnya.