NovelToon NovelToon
KEHUDUPAN KEDUA

KEHUDUPAN KEDUA

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Junot Slengean Scd

Seorang kultivator legendaris berjuluk pendekar suci, penguasa puncak dunia kultivasi, tewas di usia senja karena dikhianati oleh dunia yang dulu ia selamatkan. Di masa lalunya, ia menemukan Kitab Kuno Sembilan Surga, kitab tertinggi yang berisi teknik, jurus, dan sembilan artefak dewa yang mampu mengguncang dunia kultivasi.
Ketika ia dihabisi oleh gabungan para sekte dan klan besar, ia menghancurkan kitab itu agar tak jatuh ke tangan siapapun. Namun kesadarannya tidak lenyap ,ia terlahir kembali di tubuh bocah 16 tahun bernama Xiau Chen, yang cacat karena dantian dan akar rohnya dihancurkan oleh keluarganya sendiri..
Kini, Xiau Chen bukan hanya membawa seluruh ingatan dan teknik kehidupan sebelumnya, tapi juga rahasia Kitab Kuno Sembilan Surga yang kini terukir di dalam ingatannya..
Dunia telah berubah, sekte-sekte baru bangkit, dan rahasia masa lalunya mulai menguak satu per satu...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB.21 Langit Ke Empat

Langit di atasnya tidak biru. Ia berwarna perak, lembut, dan berdenyut seperti nafas seorang makhluk hidup.

Ketika langkah kaki Xiau Chen menapaki permukaan tanah bercahaya itu, setiap pijakan menimbulkan riak tak berujung. Seolah waktu sendiri terbelah mengikuti kehadirannya.

“Apakah ini... Langit Keempat?” gumamnya lirih.

Suara itu menggema tanpa pantulan. Tidak ada udara, tidak ada arah, hanya kesunyian yang hidup.

Dunia Tanpa Waktu.

Sebuah dimensi di mana masa lalu dan masa depan tak lagi memiliki batas. Segalanya mengalir — namun tak bergerak.

Xiau Chen menatap ke kejauhan. Di sana terbentang lautan perak, dan di tengahnya berdiri istana cahaya — bangunan raksasa yang tampak terbuat dari kristal waktu itu sendiri. Pilar-pilarnya menembus langit, sementara arus cahaya berputar di sekelilingnya seperti pusaran hari dan malam.

Ia berjalan, langkahnya ringan namun pasti.

Setiap langkah membawa sekilas bayangan masa lalu:

— Dirinya yang muda, berdiri di puncak Gunung Salju Kunlun dengan jubah putih melambai.

— Dirinya yang tua, duduk bersila di gua batu, menulis huruf-huruf rahasia di udara.

— Dirinya yang sekarat, menatap langit terakhir sebelum mati oleh pedang para pengkhianat.

Semua itu menari di udara, seperti potongan mimpi yang belum selesai.

“Waktu... adalah penjara bagi yang menyesal,”

suara dalam batinnya berbisik,

“dan kau, Xiau Chen, adalah tahanan yang tak pernah bebas dari masa lalu.”

Ia berhenti di tepi lautan perak itu.

Airnya tidak basah — ketika disentuh, yang terasa hanyalah dingin lembut seperti kenangan.

Gelombang kecil muncul, membentuk wajah seseorang.

Wajah itu lembut, indah, namun asing.

“Xiau Chen.”

Suara perempuan itu mengalun, seakan berasal dari seluruh arah.

“Aku adalah Seraphine Valora — Penimbang Jiwa dan Penjaga Cahaya Abadi.”

Dari dalam cahaya perak, muncul sosok perempuan bersayap, mengenakan jubah putih berhiaskan emas.

Setiap bulu sayapnya memantulkan kenangan, seperti ribuan cermin kecil yang memperlihatkan detik-detik kehidupan.

“Kau telah menembus tiga langit,” katanya pelan. “Namun langkahmu di sini akan menentukan apakah jiwamu masih pantas menuju ke atas.”

Xiau Chen menatapnya. “Ujian lain lagi?”

Nada suaranya tenang, namun mata tuanya yang kini terperangkap dalam tubuh muda memantulkan keteguhan yang dingin.

Seraphine tersenyum tipis. “Bukan ujian. Ini penghakiman.”

Sekejap kemudian, lautan perak bergolak.

Dari kedalamannya muncul ribuan bayangan — sosok-sosok manusia, binatang, bahkan roh-roh yang pernah ia bunuh sepanjang hidupnya.

Mereka menatapnya dengan mata kosong, namun penuh tuntutan.

“Semua yang kau korbankan,” kata Seraphine. “Semua darah yang kau tumpahkan. Kau ingin kembali menjadi yang terkuat? Maka lihatlah akibat dari jalanmu.”

Xiau Chen menarik napas dalam.

Bayangan-bayangan itu berteriak tanpa suara, menyerbunya dengan aura kebencian yang membakar.

Namun bukannya mundur, ia justru menatap mereka dengan tatapan penuh kesedihan.

“Aku tidak menyesal telah melangkah di jalan pedang,” ujarnya perlahan.

“Namun aku menyesal... tidak mampu menuntun mereka menuju cahaya.”

Tangannya terangkat.

Cahaya lembut muncul di telapaknya — bukan api, bukan qi, melainkan fragmen dari Hati Abadi yang dulu ia bentuk setelah ribuan tahun bertapa.

Ketika cahaya itu menyentuh bayangan pertama, sosok tersebut lenyap — bukan hancur, melainkan larut menjadi partikel cahaya.

Satu per satu, seluruh roh yang menuntutnya meleleh dalam keheningan, berubah menjadi riak lembut yang kembali ke lautan perak.

Seraphine menunduk. “Kau telah memilih menebus dosa, bukan menolaknya. Itu adalah langkah yang tak banyak ditempuh para kultivator.”

Xiau Chen menatapnya lurus. “Kekuatan sejati bukan hanya memecah gunung dan membelah langit, tapi menundukkan amarah dalam diri sendiri.”

Perempuan bersayap itu tersenyum samar. “Dan karena itu, kau layak menerima Kepingan Keabadian Waktu.”

Dari langit perak jatuh sebutir kristal berbentuk segi enam, berputar perlahan sebelum mendarat di tangan Xiau Chen.

Ketika disentuh, ia merasakan sesuatu berdenyut di dalamnya — denyutan waktu, denyutan kehidupan yang melampaui batas umur.

“Ini bukan kekuatan untuk menguasai waktu,” kata Seraphine,

“melainkan untuk mengingat apa yang seharusnya tidak dilupakan.”

Xiau Chen menutup matanya, membiarkan cahaya itu menyatu ke dalam tubuhnya.

Dalam sekejap, seluruh kenangan yang sempat kabur kini menjadi jelas.

Wajah para sahabat lamanya, murid-murid yang gugur, bahkan suara tawa lembut dari seseorang di masa mudanya — semua kembali.

Dan bersamaan dengan itu, air mata jatuh di pipinya.

Bukan karena penyesalan, melainkan karena rasa manusiawinya belum benar-benar mati.

Seraphine memandangnya dengan lembut. “Kau telah menyatukan jiwa dan kenangan. Langit berikutnya menantimu — Langit Bayangan Asal.”

Tiba-tiba, cahaya di sekelilingnya memudar.

Istana cahaya runtuh menjadi debu, laut perak berubah menjadi kabut hitam.

Dari kehampaan muncul tangga bercahaya — satu-satunya jalan menuju Langit Kelima.

Xiau Chen menatap ke atas, menggenggam pedangnya erat.

Tatapan matanya kembali memancarkan keteguhan seorang legenda.

“Jika waktu tidak dapat menahanku,” katanya perlahan,

“maka biarlah aku menantang bayangan yang lahir dari diriku sendiri.”

Ia melangkah.

Satu langkah ke langit yang lebih tinggi, menuju dunia di mana cahaya dan kegelapan bertemu tanpa batas.

Dan saat tangannya menyentuh udara terakhir di Dunia Tanpa Waktu —

suara Seraphine bergema lembut:

“Jangan lupakan dirimu, Pendekar Suci. Sebab yang akan kau lawan berikutnya… adalah dirimu sendiri.”

1
Nanik S
Lanjutkan Tor
Nanik S
Bagus... walau dulu sektemu hancurkan saja kalau menyembah Iblis
Nanik S
Xiau Chen... hancurkan Mo Tian si Iblis pemanen Jiwa
Nanik S
Lebih baik berlatih mulai Nol lagi dan tidak usah kembali ke Klan
Nanik S
Hadir 🙏🙏
Girindradana
tingkatan kultivasinya,,,,,,,
Rendy Budiyanto
menarik ceritanya min lnjutin kelanjutanya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!