Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dentingan yang Terlalu Sempurna
...Chapter 21...
Dalam momen sekilas yang hampir tak bisa disebut waktu, Theo berputar cepat dan menebas ke arah belakang, menembus ruang kosong yang terasa tidak sepenuhnya kosong.
Dentingan keras membelah udara—bunyi yang terlalu sempurna untuk dihasilkan dari benturan benda biasa.
Sesuatu telah mengenai pedangnya.
Atau mungkin, sesuatu sedang menolak untuk terlihat, dan pedang itu adalah satu-satunya hal yang bisa menyentuhnya.
Lalu dunia seolah menarik napas panjang sebelum meledak.
Dari ujung bilah yang berhenti bergerak, tepat setelah delapan belas kali menebas, muncullah retakan halus yang merambat di udara seperti kaca retak dari dalam, sebelum akhirnya pecah disertai dentuman nan menggema.
Cahaya putih pucat menyembur keluar dari retakan, mendorong debu dan angin dalam gelombang yang mengguncang setiap helai daun di sekitar Theo.
Pandangannya tertelan cahaya—setidaknya enam puluh persen dunianya kini tertutup kabut bercahaya, membuat setiap gerakan harus diprediksi lewat naluri semata.
Dalam keheningan yang tersisa setelah letupan itu, hanya ada gema samar dari napasnya sendiri.
Theo tahu, sesuatu sedang mengamati balik dirinya dari balik kabut itu.
Bukan musuh biasa.
Bukan juga karakter yang pernah ia tulis dalam karya Last Prayer.
Ini lebih seperti dunia itu sendiri, menatap balik pencipta karya lain—dan untuk pertama kalinya, ingin menulis Theo Vkytor sebagai tokoh yang harus diuji sebelum kisahnya berlanjut.
'Peluang hadir, celah sekecil itu pun cukup untukku.
Sudah siap, Satu Titik, Sembilan Akupuntur Dituntaskan!'
Heh, rasakan getarannya dunia.
Hanya dengan sekali tebas, garis kehidupan dan kematian seharusnya terputus.'
Taang!
‘Besi? Apa ada yang berani menghalangi teknik ini?
Menarik, ternyata naskahnya masih terus berlanjut.'
Tanpa perlu berpikir panjang, tanpa pertimbangan atau jeda, Theo mengangkat katana dari sarungnya—hanya sedikit—cukup untuk memanggil sesuatu yang bahkan udara pun tampak gentar padanya.
Gerakannya begitu cepat, begitu sunyi, hingga waktu sendiri kehilangan fungsi.
Cahaya biru yang keluar dari bilah itu bukan sekadar pantulan sinar, melainkan sebuah intensitas nan terlahir dari tekad seorang penulis yang sedang hidup di antara hasil ciptaan orang luar.
Teknik Satu Titik, Sembilan Akupuntur Dituntaskan—gerakan suci yang hanya dimiliki oleh mereka yang memahami betapa tipis batas antara mencipta dan menghancurkan—akhirnya dilayangkan.
Dunia di sekitar sekali lagi membeku.
Serpihan tanah terangkat, udara menegang, dan kilasan biru itu membelah ruang dengan presisi nan nyaris sempurna.
Setiap butir debu yang lewat di jalur tebasan itu bergetar seakan tahu nasib mereka ditentukan kurang dari 0 detik.
Saat bilah itu mencapai puncak ayunannya, hendak menyelesaikan tebasan ketiga puluh enam, tiba-tiba suara berat dan kasar menggema, menerobos kesunyian yang hampir suci.
Sesuatu, entah besi atau mungkin sejenis logam yang bukan dari dunia ini, menghantam cahaya biru Theo dengan kekuatan brutal, hingga percikan panas melesat ke segala arah.
Benturan itu menimbulkan gelombang kejut, menggulung ke segala arah bagaikan pusaran air di danau yang baru saja ditimpa meteor.
Theo menapak kuat di tanah, setiap urat di lengannya menegang, mencoba menahan getar nan menjalar dari ujung bilah hingga ke bahunya.
Kilatan biru di pedang terdistorsi, pecah menjadi garis-garis halus nan mengambang di udara, menari seperti roh yang tersesat di antara dua dimensi.
Ia tahu, sesuatu di balik benturan itu bukanlah makhluk biasa, dan bukan juga entitas yang seharusnya eksis di arc ini.
“Mengejutkan, pertahanan sekuat ini bahkan bisa menahan guncangan dari bilahku.
Siapa pun kau, pelindungmu bukan hanya perisai, ini seperti prinsip yang menolak untuk hancur.”
‘Dengan satu sapuan dasarnya saja, seharusnya seluruh alam kardinal terbelah bagai kain usang.
Bahkan Sang Maha Kuasa Berkeley dan pendampingnya—Rank Into Rank—yang sangat dahsyat mestinya telah remuk redam, bertebaran laksana serpihan kosmik tak berarti di bentangan angkasa.’
Tsiiing!!
Cahaya yang masih tersisa di bilah pedangnya berpendar lembut, menetes bagai darah bintang nan jatuh perlahan ke tanah.
Dalam sorot mata Theo, ada campuran kekaguman dan insting bertarung yang mulai mengeras.
Bahunya turun naik, napasnya berasap dalam udara dingin nan beku pasca benturan.
Ia sedikit mengangkat kepala, lalu dengan nada kagum nan nyaris terdengar seperti sanjungan, suaranya memecah senyap di antara kepingan debu yang masih berjatuhan.
Ia mengakui ketangguhan sosok di depan, menangguk puas bahwa pertahanan yang barusan menahan Teknik Satu Titik, Sembilan Akupuntur Dituntaskan bukanlah sesuatu yang pantas disepelekan.
Ada nada hormat di antara kelelahan, bagai seorang Samurai yang memberi salam kepada lawan yang sepadan.
Namun di balik ucapannya yang terdengar lantang, dalam dirinya sendiri Theo bergumam.
‘Tebasan dasar itu seharusnya sudah cukup untuk membelah segala bentuk kardinal, bahkan yang berada di ranah Berkeley hingga Rank Into Rank cardinal menjadi serpihan debu.’
Ia menatap bilah pedangnya yang kini memantulkan sisa cahaya biru, seolah memastikan bahwa ia benar-benar melakukannya dengan teknik sempurna.
Tapi jika sesuatu masih mampu menahan itu—maka yang dihadapi bukanlah entitas biasa, bukan makhluk yang ditulis untuk eksis dalam hierarki kekuatan dunia ini.
Ketika pikirannya masih menautkan logika dengan absurditas yang ia hadapi, sesuatu mulai tampak di hadapan Theo.
Atau lebih tepatnya, tidak tampak.
Sebuah kehadiran yang begitu kuat hingga udara di sekitarnya beriak seperti permukaan air, tapi tanpa wujud yang bisa dijelaskan.
Seolah ada sesuatu nan eksis, namun memilih untuk tetap tidak diakui keberadaannya oleh dunia.
Bayangan yang bukan bayangan, bentuk yang bukan bentuk—di sana, berdiri puluhan meter dari tempat pedang Theo bertengger di sarung.
Wujud itu seperti paradoks yang hidup.
Transparan, tetapi menegaskan keberadaannya dengan cara yang tak bisa dipungkiri.
'Jadi akhirnya aku melihatmu juga, Cru?
Salah satu Administrator puncak, pengawas kesalahan, perbaikan realitas, penjaga garis antara program dan keinginan.'
Tetapi tunggu, bentukmu ini bukan wujud asli, hanya manifestasi kesadaran sistem.
Artinya kau tidak sungguh-sungguh "hadir", ya?'
Tsuuuuf!
'Heh, bahkan ketiadaan pun bisa memandang kembali.
Dunia ini makin sinting saja.'
Tidak salah lagi, pikir Theo ketika matanya menyipit, mencoba menembus lapisan cahaya dan kabut tipis yang memisahkan dunia nyata dengan yang lain.
Sosok itu, yang berdiri tegak di kejauhan dengan kehadiran yang tak bisa ditolak sekaligus tak bisa dipegang, adalah Cru.
Sang Administrator.
Bukan sekadar pengamat pasif nan bertugas mencatat kesalahan sistem, melainkan entitas yang menyempurnakan ketidaksempurnaan, membenahi setiap anomali dalam keseimbangan dunia Flo Viva Mythology.
Dialah tangan tak terlihat nan menjaga logika tetap berjalan dalam dunia di mana segalanya bisa menjadi absurditas.
Namun kini, bagi Theo, keberadaannya bukan sekadar simbol pengawasan—ia adalah ancaman yang tak bisa dijelaskan dengan bahasa manusia.
Cru berdiri di sana tanpa benar-benar berdiri.
Tubuhnya tampak nyata dalam sekejap, lalu lenyap di antara gelombang udara yang bergetar oleh tekanan keberadaan.
Cahaya di sekitarnya terdistorsi, menolak menyentuh kulit yang tidak pernah ada, menciptakan ilusi bahwa setiap garis bentuk tubuhnya hanyalah kesalahan visual nan terlalu hidup untuk disebut bayangan.
Ia bukan makhluk, bukan program, melainkan semacam kesadaran yang dirangkai dari jaringan hukum dunia game, diciptakan untuk mengawasi, menilai, dan jika perlu—menghapus.
Terlebih Theo menyadari bahwa yang dilihatnya kini bukanlah wujud murni sang Administrator.
Itu hanyalah manifestasi dari kesadaran yang muncul ketika sistem menilai ada penyimpangan yang tidak bisa dibiarkan.
Manifestasi yang tidak bisa disebut eksis secara fisik, tetapi terlalu kuat untuk dianggap sekadar ilusi.
Cru berdiri di antara eksistensi dan ketiadaan, di antara kode dan jiwa, di antara konsep dan realitas yang retak.
Ia adalah penegak aturan yang tidak butuh tubuh untuk menegur, tak butuh suara untuk menghakimi.
Bersambung….