Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33
Kemarahan Aryan menggetarkan seluruh rumah. Ia berteriak, mengeluarkan sumpah serapah yang bercampur dengan bahasa iblis. Jaka, yang wajahnya masih pucat karena kengerian oleh ledakan gaib, berusaha bersikap tenang.
“Tuan Aryan, tenang,” ujar Jaka, membungkuk. “Mereka tidak akan bisa lari dari kita. Saya akan segera kirim anak buah saya. Saya akan mencari mereka sampai ke lubang tikus.”
“Pergi!” raung Aryan, matanya menyala. “Bawa mereka kembali! Hidup atau mati! Tapi aku lebih suka melihat Azmi hidup-hidup, aku sendiri yang akan membuatnya mati di hadapanku!”
Jaka segera berlari keluar, memberikan perintah tegas kepada anak buahnya yang sudah mulai sadar dari pingsan.
“Cepat! Ikuti aku! Mereka tidak mungkin jauh dari sini! Cari di segala arah! Jangan sampai mereka kembali ke pesantren!” perintah Jaka, suaranya mengandung janji kekejaman.
Azmi dan Rina berlari tanpa arah. Rasa sakit di tubuh Azmi akibat pukulan kursi, ia abaikan. Rina yang trauma dan syok terus menangis, namun ia tahu ia harus tetap bergerak. Mereka berdua berpegangan tangan, menyusuri jalan setapak gelap di pinggiran kota.
“Kita harus cepat, Mbak Rina,” bisik Azmi, napasnya tersengal. “Jaka pasti mengejar kita.”
Mereka baru saja mencapai sebuah tikungan di jalan sepi yang dikelilingi semak belukar, ketika mereka mendengar suara deru mobil. Sinar lampu yang terang menyapu jalan di belakang mereka.
“Itu mereka!” kata Rina, suaranya pecah.
Azmi menarik Rina. Mereka melompat ke dalam semak-semak tebal, bersembunyi di balik pohon besar.
Jaka, mengemudi dengan mobil hitamnya, melaju kencang. Di belakangnya, beberapa mobil lain mengikuti, memotong jalanan sepi itu seperti gerombolan serigala.
Jaka menghentikan mobilnya. Ia turun, wajahnya memancarkan aura kemarahan yang mengerikan.
“Sial! Mereka tidak mungkin secepat ini!” teriak Jaka. Ia melihat ke jalanan, lalu menoleh ke arah semak-semak.
“Periksa area ini! Mereka pasti bersembunyi! Kalau ketemu, jangan bunuh Rina! Bawa dia ke markas kita, biar Tuan Aryan yang membereskan sisanya!” perintah Jaka kepada anak buahnya.
Dua anak buah Jaka mulai menyisir semak-semak di sisi kiri jalan.
Azmi dan Rina menahan napas. Mereka saling berdekatan, Azmi melindungi Rina dengan tubuhnya. Rina yang memegang Keris Gana Loka, mencengkeramnya erat-erat.
Anak buah Jaka semakin mendekat. Azmi tahu, ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak boleh menggunakan kekuatan spiritualnya di sini, karena itu akan menarik perhatian Aryan.
Tiba-tiba, Azmi merogoh saku celananya. Ia menemukan batu kecil yang ia ambil di pesantren.
Azmi melirik ke arah kanan, di mana terdapat sebuah tumpukan sampah besar. Ia menggunakan kekuatan tangannya, melemparkan batu itu ke tumpukan sampah.
Krak!
Suara itu cukup keras, menarik perhatian Jaka dan anak buahnya.
“Di sana! mereka di sana! Tangkap mereka!” teriak Jaka, menunjuk ke arah tumpukan sampah itu.
Dua anak buah Jaka bergegas menuju tumpukan sampah, meninggalkan sisi Azmi dan Rina. Jaka sendiri kembali ke mobil, berputar, dan melaju ke arah suara itu.
“Cepat, Mbak!”
Azmi dan Rina keluar dari semak-semak dan berlari ke arah berlawanan dari mobil Jaka. Mereka berlari menyeberangi jalan raya yang gelap, menuju permukiman padat penduduk. Mereka berharap keramaian akan menyulitkan Jaka untuk mengejar.
Mereka terus berlari, memasuki jalan kecil dan gang-gang sempit yang padat. Lampu-lampu rumah penduduk yang remang-remang menjadi satu-satunya penerangan mereka. Rina mulai kehabisan napas, tubuhnya terlalu lelah.
“Aku… aku tidak kuat lagi, Azmi,” bisik Rina, bersandar pada tembok.
“Sedikit lagi, Mbak. Kita harus menemukan jalan ke luar kota, kembali ke Kiai Syarif.”
Tiba-tiba, dari ujung gang, Azmi melihat Jaka. Jaka tidak menggunakan mobil, ia berlari, didampingi dua anak buahnya. Jaka terlihat sangat marah, wajahnya penuh keringat dan dendam.
“Mereka di sana! Jangan biarkan mereka lari!” teriak Jaka, melihat Azmi dan Rina.
Azmi tahu, mereka tidak akan bisa mengalahkan Jaka dalam bertarung menggunakan fisiknya.
Azmi menarik Rina ke dalam sebuah toko kelontong kecil yang sudah tutup, bersembunyi di balik tumpukan kardus.
Jaka dan anak buahnya berlari melewati toko itu, tidak menyadari keberadaan mereka. Jaka terus berteriak, menyuruh anak buahnya menyebar.
“Sial! Mereka pasti sudah lari ke arah kota! Cari mereka ke setiap lorong!”
Azmi menunggu beberapa menit. Ia mendengar suara Jaka dan anak buahnya semakin menjauh. Mereka berhasil mengelabui Jaka.
“Kita aman, Mbak Rina,” kata Azmi, menarik napas lega. Ia melihat Rina, yang kini terduduk lemas, memeluk Keris Gana Loka. Pakaiannya robek dan kotor.
“Aku minta maaf, Azmi,” ujar Rina, suaranya serak. “Aku gagal. Jimat itu tidak ada. Dan aku hampir membuat kita semua mati.”
Azmi berlutut di depannya. “Tidak, Mbak. Kamu adalah pahlawan. Kamu memberi kita waktu dan kabar. Itu yang terpenting. Sekarang, ayo kita keluar dari sini dan kembali ke Kiai Syarif.”
Azmi memapah Rina. Mereka keluar dari toko dan mulai berjalan perlahan, menjauh dari area pencarian Jaka, menuju jalan raya utama yang mengarah ke luar kota.
Mereka berhasil lolos dari cengkeraman Jaka. Namun, mereka tahu bahwa lolos dari Jaka tidak berarti mereka lolos dari Aryan. Perburuan ini baru saja dimulai.
Azmi menunggu beberapa menit. Ia mendengar suara Jaka dan anak buahnya semakin menjauh. Mereka berhasil mengelabui Jaka.
“Kita aman, Mbak Rina,” kata Azmi, menarik napas lega. Ia melihat Rina, yang kini terduduk lemas, memeluk Keris Gana Loka. Pakaiannya robek dan kotor.
“Aku minta maaf, Azmi,” ujar Rina, suaranya serak. “Aku gagal. Jimat itu tidak ada. Dan aku hampir membuat kita semua mati.”
Azmi berlutut di depannya. “Tidak, Mbak. Kamu adalah pahlawan. Kamu memberi kita waktu dan kabar. Itu yang terpenting. Sekarang, kita harus keluar dari sini dan kembali ke pesantren. Tapi jaraknya terlalu jauh untuk kita tempuh dengan berjalan kaki.”
Azmi memapah Rina. Mereka keluar dari toko dan berjalan perlahan, menjauhi daerah pencarian Jaka, menuju jalan raya utama yang mengarah ke luar kota.
Tak lama kemudian, dari kejauhan, mereka melihat cahaya lampu mobil yang mendekat. Azmi ragu, takut itu adalah anak buah Jaka yang kembali. Namun, ia melihat mobil itu adalah mobil bak tua yang melaju pelan.
Azmi mengambil risiko. Ia melambaikan tangan dengan panik ke arah mobil itu.
Mobil itu berhenti. Seorang pria tua dengan wajah lelah, menatap mereka dengan curiga.
“Ada apa, Nak? Kenapa kalian di sini tengah malam begini?” tanya pria itu.
“Tolong, Pak,” kata Azmi cepat. “Kami dirampok. Kami harus segera kembali ke pesantren Kiai Syarif. Kami tidak punya uang sepeser pun. Kami mohon tumpangan.”
Pria itu melihat kondisi Rina yang pucat dan Azmi yang babak belur. Ia lalu melihat Keris yang digenggam Rina. Setelah menimbang-nimbang sebentar, ia mengangguk.
“Naiklah. Saya kebetulan searah. Pesantren Kiai Syarif? Beliau orang baik.”
Azmi mengucapkan terima kasih. Ia segera membantu Rina naik ke bagian belakang mobil bak yang tertutup terpal. Mereka duduk di sana, gemetar menahan dingin dan ketakutan.
Perjalanan itu terasa sangat panjang, namun berkat tumpangan itu, mereka berhasil menghemat waktu dan tenaga yang sangat berharga. Mereka tahu, Jaka tidak akan berhenti untuk mengejar mereka.
Akhirnya, mobil itu berhenti di depan gerbang pesantren. Azmi berterima kasih berkali-kali kepada pria baik hati itu.
Saat Azmi dan Rina memasuki halaman pesantren, seorang santri yang berjaga di pos depan segera berlari menghampiri mereka.
“Azmi! Rina! Kalian baik-baik saja?” tanya santri itu cemas.
“Kami baik-baik saja, tolong bantu aku,” kata Azmi. “Di mana Kiai Syarif?”
Santri itu segera memanggil beberapa orang. Mereka memapah Rina menuju ruangan Kiai Syarif.
Mereka menemukan Kiai Syarif sedang duduk bersandar di kursi, wajahnya pucat, namun matanya masih memancarkan ketenangan. Di sampingnya, Bu Ratih duduk khawatir, merawat luka kecil di lengan Kiai Syarif yang terkena serpihan gaib.
Melihat Rina masuk dalam kondisi lemah, pakaian robek, dan wajah penuh air mata, Bu Ratih terlonjak.
“Rina! Ya Tuhan, Nak!”
Bu Ratih segera menghampiri Rina, memeluknya erat-erat, tidak peduli dengan kondisi pakaian Rina yang kotor. Rina menangis tersedu-sedu dalam pelukan Bu Ratih, melepaskan semua ketakutan yang ia tahan.
Azmi berlutut di depan Kiai Syarif. “Kiai, maafkan kami. Kami gagal menemukan Jimat benda itu. Tapi kami berhasil lolos.”
Kiai Syarif tersenyum tipis. “Berhasil lolos adalah kemenangan terbesar, Nak Azmi. Kamu dan Rina kembali dengan selamat, itu lebih penting daripada Jimat terkutuk itu.”
Kiai Syarif mengalihkan pandangannya pada Rina, yang masih menangis tersedu-sedu. Ia tahu apa yang dialami Rina di kamar ritual itu jauh lebih buruk dari pertempuran apa pun.
“Istirahatlah, Nak Rina,” ujar Kiai Syarif lembut. “Biarkan dirimu pulih. Kamu adalah wanita yang sangat berani.”
Rina melepaskan pelukan Bu Ratih dan menatap Kiai Syarif. Ia meletakkan Keris Gana Loka di meja.
“Kiai,” kata Rina, suaranya parau, “Aryan tidak main-main. Dia berniat menumbalkan saya. Dia akan menumbalkan siapa pun untuk memperkuat dirinya dan hartanya.”
Azmi menimpali, “Dan Kiai, Aryan mengirim Jaka dan anak buahnya untuk mencari kami, bukan hanya untuk melawan. Jaka sekarang tahu di mana kami berada. Pesantren ini sudah tidak aman lagi.”
Kiai Syarif mengangguk. Matanya menunjukkan keseriusan penuh.
“Benar. Mereka sudah tahu kita ada di sini. Itu adalah kesalahan yang tidak bisa kita ulangi. Mulai saat ini, kita tidak lagi bersembunyi. Kita akan menjadikan pesantren ini sebagai benteng pertahanan terakhir.”
Kiai Syarif memandang Azmi, lalu Keris Gana Loka di meja.
“Azmi, kamu sudah tahu bahwa Jimat itu tidak ada di tubuh Aryan, tapi disembunyikan di tempat paling gelap di rumahnya, dilindungi oleh jin peliharaannya.”
“Ya, Kiai. Saya harus kembali ke sana. Saya harus mencari Jimat itu,” kata Azmi.
Kiai Syarif menggeleng. “Tidak. Kita tidak bisa menyerang sekarang. Kita kelelahan, dan Aryan sedang sangat marah. Dia sedang mempersiapkan ritual besar untuk tumbal berikutnya, entah itu Bu Ratih, atau orang lain.”
“Kita harus bersiap di sini. Aku akan menggunakan seluruh energiku untuk memperkuat benteng gaib di pesantren ini. Kita akan bertahan sampai energimu pulih sepenuhnya, dan kita akan merencanakan serangan balik yang tidak bisa ia duga.”
Kiai Syarif memandang Rina. “Nak Rina, kamu sudah melihat ruangan ritualnya. Kamu sudah tahu di mana Aryan menyimpan Jimat itu. Di mana tempat paling gelap di rumah itu yang memiliki ikatan gaib terkuat?”
Rina terdiam, mencoba mengingat. Ia mengingat bau darah kering dan suasana dingin yang menusuk di kamar ritual.
“Ruang ritual, Kiai,” bisik Rina. “Dia sangat menghargai ruangan itu. Tapi saya tidak melihat brankas atau tempat penyimpanan di sana. Jimat itu pasti tersembunyi dengan sempurna.”
Azmi menatap Keris Gana Loka. “Kiai, apakah keris ini bisa membantu kami menemukan lokasinya?”
“Keris itu hanya bisa menetralkan ikatan gaib Jimat itu, Nak. Tapi mungkin ia bisa merasakan. Bawa Keris itu, Azmi. Dan fokuskan niatmu. Sekarang, mari kita semua beristirahat. Kita akan melawan lagi saat matahari terbit.”
Bu Ratih memapah Rina ke kamar yang aman. Azmi duduk di samping Kiai Syarif, memegang Keris Gana Loka, mencoba merasakan keberadaan Jimat Besi Kuning yang tersembunyi jauh di rumah Aryan.
Mereka selamat malam ini, tetapi mereka tahu, malam berikutnya, Aryan dan Jaka akan datang dengan kekuatan penuh.