NovelToon NovelToon
Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Perempuan Yang Tak Boleh Dipanggil Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Ibu Mertua Kejam / Era Kolonial
Popularitas:8.8k
Nilai: 5
Nama Author: Hayisa Aaroon

1927. Ini kisah tentang seorang garwo ampil (istri selir) yang melahirkan anak yang tak boleh memanggilnya ibu.

Ini kisah tentang lebarnya jurang bangsawan dan rakyat kecil,
tapi bukan semata-mata tentang ningrat yang angkuh atau selir yang hina.

Ini kisah tentang perempuan yang kehilangan haknya di era kolonial, terbentur oleh adat dan terkungkung kuasa lelaki.

Ini kisah tentang bagaimana perempuan belajar bertahan dalam diam, karena di masa itu, menangis pun tak akan menggetarkan hati siapapun yang haus akan derajat.

Dilarang plagiat, mengambil sebagian scene atau mendaur ulangnya menjadi bentuk apapun. Apabila melihat novel serupa, tolong lapor ke IG/FB: @hayisaaaroon.

Novel ini bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyuarakan mereka yang dibungkam sejarah; perempuan-perempuan yang terkubur dalam catatan kaki, yang hidupnya ditentukan oleh kehendak patriarki yang mengatasnamakan adat, agama, dan negara.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hayisa Aaroon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

6. Mas Baskoro

Tiba di rumah, bangunan joglo yang megah itu terasa seperti penjara emas. Pariyem berjalan menyusuri longkangan dengan langkah tanpa tujuan, menatap kosong mawar-mawar merah yang bermekaran di kanan kiri setapak.

Kakinya membawanya ke area dapur belakang, tempat para pelayan sedang menyiapkan makan siang. Suara bisik-bisik dan tawa renyah langsung terhenti begitu sosoknya muncul di ambang pintu.

Hening, hanya diisi desisan air mendidih dan derak kayu yang terbakar di tungku. Hawa panas dari arah sana membawa aroma gurih sedap, namun tak cukup menggugah selera Pariyem untuk makan siang itu.

Para pelayan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang menumbuk bumbu dengan ulekan batu. Ada yang mencuci sayuran di ember besar. Ada yang mengipasi tungku agar api tetap menyala. Semua menunduk, menghindari tatapan Pariyem.

"Siti, Minah," panggil Pariyem pada dua perempuan muda yang sedang memotong kangkung.

Keduanya mendongak dengan canggung. "Dalem, Yu?"

Dulu mereka bertiga seumuran, sama-sama pelayan dapur. Sering bergosip tentang majikan sambil mencuci piring. Tertawa bersama saat membuat sambel yang terlalu pedas hingga membuat Nyonya Besar terbatuk-batuk. Berbagi impian sederhana tentang suami dan anak-anak kelak.

Kini jurang tak terlihat memisahkan mereka. Siti dan Minah sudah bersuami—tukang kebun dan kusir—sesama rakyat jelata.

Anak-anak mereka bermain di halaman belakang, suara tawa mereka terdengar riuh bercampur dengan anak-anak pelayan lain.

"Masakan untuk hari ini apa?" tanya Pariyem, mencoba membuat percakapan.

"Cah kangkung, telur pindang, ikan goreng, dan sambal terasi, Yu."

Percakapan kaku. Formal. Seperti bicara dengan tembok.

Pariyem memeriksa dapur. Semua sudah pada tempatnya. Panci berjejer rapi. Bumbu tersusun di rak bambu. Lantai tanah yang dipadatkan bersih mengkilap. Para pelayan bekerja dengan teliti, mereka tak akan bicara jika tidak ditanya.

Meski tampak menghormati dengan membungkuk setiap Pariyem lewat, tapi dia bisa merasakan tatapan mereka. Mencuri pandang dari sudut mata. Berbisik begitu dia menjauh. Menilainya sebagai pelayan yang mau menjual diri demi menaikkan derajat.

"Lihat si Pariyem, dulu sombong sekali waktu berhasil dinikahi Ndoro."

"Sekarang apes. Ndoro pindah ke kadipaten dia tidak diajak."

"Salah sendiri, mau jadi selir. Memangnya tidak tahu risikonya?"

Bisikan-bisikan itu sampai ke telinga Pariyem meski diucapkan pelan. Atau mungkin memang sengaja didengar.

Di mata pelayan, dia perempuan hina yang mengkhianati kelasnya sendiri. Di mata ningrat, dia tidak ada—sekadar bayangan yang tidak perlu dilihat.

Terjebak di antara dua dunia, tidak diterima di mana pun.

Malam itu Pariyem tidak bisa tidur lagi. Wajah Pram yang dibayangkannya terus berubah-ubah. Kadang mirip Soedarsono dengan hidung mancung dan dagu tegas. Kadang mirip dirinya dengan bibir tipis dan kulit terang.

Esok paginya, sebelum matahari tinggi, dia sudah bersiap. Kebaya sederhana berwarna cokelat, kain batik lusuh, selendang tipis menutupi kepala. Penampilan seorang perempuan biasa, bukan selir bangsawan.

"Ke kadipaten lagi, Kang," perintahnya pada Wiro.

Kusir tua itu tidak bertanya. Dia sudah belajar untuk tidak ikut campur urusan majikannya.

Kali ini Pariyem lebih berani. Begitu kereta berhenti di depan gerbang, dia langsung turun dan mendekati penjaga.

"Saya Pariyem dari dalem Prawiratama," katanya dengan suara tegas. "Rumah lama Kanjeng Gusti Bupati. Ada yang ingin saya laporkan pada Ndoro Gusti Bupati."

Penjaga berjenggot itu mengerutkan dahi. "Tunggu sebentar."

Dia berjalan ke pos jaga—bangunan kecil di samping gerbang. Berbicara dengan seseorang di dalam. Kepala penjaga, mungkin. Seorang pria tua dengan kumis putih yang sejak tadi mengawasi lalu lintas keluar masuk.

Pariyem menunggu dengan jantung berdebar. Tangannya berkeringat dingin. Penjaga itu kembali. Wajahnya datar, tanpa ekspresi.

"Namamu Pariyem?"

"Ya! Ya, saya Pariyem!" Harapan menyala di dadanya, senyum merekah, mata berbinar.

"Kata Kepala Penjaga, ada pesan dari Kanjeng Raden Ayu. Nama Pariyem termasuk yang dilarang masuk. Dengan alasan apa pun."

Senyum di bibir Pariyem layu seketika. "Tapi saya ... saya ibunya Raden Mas Pramudya ...."

"Maaf, perintah dari atas. Silakan pergi."

Pariyem tidak memaksa lagi. Percuma. Dia kembali ke kereta dengan langkah gontai, naik dengan hati tercabik-cabik.

"Pulang, Yu?" tanya Wiro hati-hati.

"Tunggu dulu, Kang."

Sebelum kereta sempat bergerak, terdengar bunyi terompet dari dalam. Gerbang besar dengan cepat dibuka.

"Minggir! Cepat minggir!" bentak penjaga pada kusir yang ada di depan gerbang.

Kereta Pariyem menyingkir ke sisi pagar. Pariyem memerintahkan berhenti di sana.

"Kenapa berhenti, Yu?"

"Saya mau lihat sebentar."

Mungkin, pikirnya dengan putus asa, mungkin putranya akan dibawa keluar. Dia bisa melihatnya walau sekilas. Sedetik saja sudah cukup.

Suara derap kaki kuda terdengar semakin dekat. Pasukan khusus berkuda—pengawal elit bupati dengan seragam hitam dan pedang terhunus—melesat keluar lebih dulu. Disusul kereta besar berlambang kadipaten dengan hiasan emas di setiap sudutnya.

Debu beterbangan.

Pariyem menyipitkan mata, mencoba melihat ke dalam kereta. Soedarsono duduk di sana bersama asisten pribadinya. Pandangan mereka bertemu sekilas. Ada kilatan di mata Soedarsono—terkejut? marah? malu?—sebelum dia memalingkan wajah.

Di belakangnya kereta-kereta lain yang lebih kecil tapi tetap mewah. Para pejabat kadipaten dengan pakaian kebesaran mereka.

Dan di antara rombongan itu, seorang pria menunggang kuda hitam. Mantri tulis muda dengan beskap biru tua dan blangkon rapi.

Pandangan mereka bertemu. Pria yang dulu melamarnya itu melambatkan kudanya sejenak. Ada sesuatu di matanya—kesedihan? kasihan? penyesalan?

Pariyem menunduk, tidak sanggup membalas tatapan itu.

Tiga tahun lalu, Baskoro datang ke rumah Prawiratama untuk urusan administrasi dengan Soedarsono yang saat itu masih menjabat patih.

Pemuda dua puluh lima tahun, tak setampan Soedarsono memang, namun wajah manis dan senyum tulusnya sempat menggetarkan hati Pariyem. Bangsawan rendah, tapi punya jabatan tetap dan masa depan cerah.

Dia jatuh cinta pada Pariyem yang saat itu masih membantu ibunya di dapur, melamar dengan cara terhormat—mengutus orang tua untuk bicara dengan ibu Pariyem, menawarkan mas kawin yang layak. Berjanji menjadikannya istri satu-satunya.

Pariyem menolak mentah-mentah. Baskoro hanya mantri tulis waktu itu. Soedarsono adalah calon bupati. Pilihan tampak mudah saat itu.

Betapa bodohnya dia.

Rombongan berlalu meninggalkan kepulan debu. Pariyem masih duduk di kereta, menatap gerbang yang kembali tertutup.

"Mas Baskoro sekarang sudah jadi wedana muda," kata Wiro tiba-tiba, yang tahu betul kisah mereka dulu. "Istrinya baru melahirkan."

Pariyem tidak menjawab. Tenggorokannya tercekat.

Andai waktu bisa diulang. Mungkin sekarang dia istri wedana. Istri sah, bukan selir. Tinggal di rumah sederhana tapi hangat. Punya anak-anak yang bisa memanggilnya "Ibu" dengan bebas. Tertawa bersama suami yang mencintainya sungguh-sungguh.

Bukan terjebak di istana emas tanpa pintu keluar ini.

"Mau ke mana sekarang, Yu?" tanya Wiro lagi.

"Di sini dulu, Kang. Saya mau tunggu sebentar."

"Tunggu apa, Yu?"

1
SENJA
yok semangat yem! perempuan tua tukang atur itu harus dilawan!
SENJA
itu dipikir nanti aja yem.... sekarang yang penting aman dulu dari sundel 😑
SENJA
diracun aja kanjeng ayu gimana? ayo yem diracun aja nduk.. biar kamu bisa sama pram terus 🤗😑
Binbin
tuker aja teh nya yem
Ricis
tetaplah waspada Yem, jangan ceroboh & mudah percaya dgn orang
Lannifa Dariyah
pariyem k t4 sumi, apa akan menggoda Martin juga?
oca
aku juga mules yem,takut kamu di apaapain😬
oca
jangan2 suruhan kanjeng ibu
oca
pinteeer kamu yem
SENJA
naaah gitu le jangan cuma nunduk2 aja,,, protes! tanya! 😙
oca
neeeh kumat merasa berjasa🤣
oca
🤭🤭🤭🤭
🌺 Tati 🐙
pokonya hati2 dan waspada Yem,mau dia baik tetep kita harus hati2
SENJA
buset pemikirannya gini amat yak 😂 astaga miris ya
SENJA
ddihhh jahat banget yah 🥺😑
SENJA
hmmn tugasmu yem buat ngorek2 tapi harus hati2 yem 😂
SENJA
kamu kan laki2 kamu imam lho! masa cemen gini yak ternyata 😪😂
SENJA
addduh sayang kau tak bisa baca tulis yem 😑
SENJA
deal sudah ! pinter juga kau yem 👌
Eniik
❤❤❤
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!