NovelToon NovelToon
Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Drama Cinta Kaki Lima (Rujak Seblak Mesra)

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Perjodohan / Romantis / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Konflik etika
Popularitas:303
Nilai: 5
Nama Author: Laila ANT

Gunawan, penjual rujak bumbu yang pendiam, dan Dewi, pemilik seblak pedas yang independen, terjebak dalam perjodohan paksa setelah gerobak mereka bertabrakan, menciptakan kekacauan di lapak. Warga, di bawah arahan Pak RT, menghukum mereka dengan pernikahan untuk menjaga reputasi lapak. Awalnya, mereka sepakat untuk menjalani 'kontrak pacaran palsu', penuh kecanggungan dan konflik komedi. Namun, seiring waktu, serangkaian tantangan publik—mulai dari "Love Brigade" yang selalu mengawasi, drama keluarga, hingga sabotase pesaing—memaksa mereka bekerja sama. Tanpa disadari, sandiwara tersebut mulai menumbuhkan perasaan nyata, hingga akhirnya mereka harus memutuskan apakah akan tetap berpegang pada janji palsu atau jujur pada hati mereka, yang berarti menghadapi konsekuensi dari komunitas yang pernah memaksa mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ujian Love Brigade

Mata mereka bertemu, sebuah keheningan singkat yang terasa lebih nyata dari seluruh sandiwara mereka. Dewi menarik tangannya, sentuhan Gunawan masih terasa di kulitnya, meninggalkan jejak hangat yang tak ingin ia akui. Ia pura-pura batuk, lalu sibuk mengamati deretan panci yang mengkilap.

"Ehem. Sudah cukup basa-basinya," Dewi berkata, suaranya sedikit serak. Ia menghindari tatapan Gunawan.

"Kita pulang saja. Aku sudah mual melihat panci."

Gunawan mengangguk pelan, wajahnya kembali ke ekspresi canggungnya. Ia merasa sedikit kecewa, tapi juga mengerti. Sandiwara ini terlalu lama.

Namun, sebelum mereka sempat melangkah, Bu Ida sudah berdiri tegak, ponselnya masih merekam.

"Tunggu dulu, calon pengantin! Kencan wajib belum selesai!"

Dewi mendengus.

"Apanya yang belum selesai, Bu? Kami sudah suap-suapan sosis karet dan puding artifisial. Sudah cukup drama kencan absurd ini."

"Bukan itu! Ini ada kelanjutan!" Bu Ida tersenyum misterius.

"Mulai besok siang, Dewi, kamu akan ikut acara Arisan Janda-Janda Lapak! Ini untuk 'pendewasaan' kamu sebagai calon istri! Biar kamu tahu bagaimana rasanya jadi ibu rumah tangga sejati!"

Dewi terbelalak.

"Arisan janda? Pendewasaan? Bu, saya ini bukan anak kecil yang perlu didewasakan! Saya sudah mandiri, jualan seblak sendiri, bayar kontrakan sendiri!"

"Justru itu!" Bu Marni menimpali, mengangguk-angguk.

"Independent itu bagus, Dewi. Tapi nanti kalau sudah menikah, harus tahu bagaimana mengurus suami dan anak! Arisan itu tempatnya ibu-ibu berbagi ilmu dan pengalaman!"

Bu Tuti mendekat, berbisik pada Dewi.

"Apalagi nanti kalau Gunawan sibuk dagang, kamu kan harus bisa mengurus rumah. Belajar dari ibu-ibu yang sudah berpengalaman!"

Gunawan hanya bisa diam, merasakan firasat buruk. Arisan janda. Ia tahu Dewi benci hal-hal yang berbau paksaan dan interfensi pribadi. Ini akan jadi neraka bagi Dewi.

"Tidak, Bu. Saya tidak bisa," Dewi menolak tegas.

"Saya ada jadwal masak seblak, Bu. Banyak pesanan."

"Alasan!" Bu Ida bersedekap.

"Pesanan bisa ditunda! Atau minta Gunawan bantu! Ini demi kebaikanmu, Dewi! Biar kamu tidak dibilang 'pengecut' lagi oleh netizen julid itu! Biar kamu terbukti siap jadi istri Gunawan!"

Mendengar kata "pengecut", wajah Dewi kembali mengeras. Ia melirik Gunawan, lalu menghela napas panjang.

"Baiklah. Jam berapa?"

"Besok siang! Di rumah Bu Marni!" Bu Ida berseru senang. "Gunawan, kamu tidak boleh ikut! Ini khusus perempuan! Tapi kamu harus tetap memantau dari jauh! Biar tahu calon istrimu belajar apa!"

Gunawan menatap Dewi, ada kekhawatiran di matanya. Dewi hanya membalasnya dengan tatapan pasrah bercampur jengkel.

*

Siang itu, rumah Bu Marni dipenuhi tawa dan bisikan ibu-ibu. Aroma masakan rumahan bercampur bedak tebal memenuhi udara. Dewi duduk canggung di salah satu sofa, di antara Bu Ida dan Bu Tuti, mencoba tersenyum ramah. Di hadapannya, ada piring berisi kue-kue tradisional dan segelas teh manis. Ia merasa seperti domba yang baru masuk kandang serigala.

"Jadi, Dewi, bagaimana perasaanmu sekarang? Sudah siap jadi nyonya Gunawan?" Bu Marni memulai, senyum lebar di wajahnya.

Dewi memaksakan tawa.

"Perasaan saya... baik-baik saja, Bu. Biasa saja."

"Biasa saja?" Bu Ida mendengus.

"Tidak ada rasa deg-degan, gitu? Mau menikah itu kan sekali seumur hidup! Harus penuh persiapan mental!"

Seorang ibu lain, Bu Lastri, yang terkenal paling suka bergosip, menyahut.

"Betul, Dewi. Apalagi Gunawan itu kan penjual rujak. Nanti kalau sudah menikah, kamu harus siap-siap kalau dia pulang malam, capek, minta pijit. Sudah siap memijit Gunawan?"

Wajah Dewi langsung memerah. Ia membayangkan memijit Gunawan, lalu segera menggelengkan kepala.

"Eh, Bu Lastri! Itu kan nanti ada tukang pijit panggilan! Atau dia bisa pijit sendiri!"

Tawa ibu-ibu pecah. Bu Tuti menepuk pundak Dewi. "Halah, Dewi! Jangan malu-malu begitu! Kalau sudah suami istri kan wajar! Nanti malam pertama bagaimana?"

Seketika, Dewi tersedak teh manisnya. Ia batuk-batuk, wajahnya memerah padam.

"Malam pertama? Bu, itu kan privasi!"

"Privasi apanya!" Bu Ida tertawa terbahak-bahak.

"Ini kan arisan, Dewi! Kita semua sudah melewati itu! Harus siap lahir batin! Kamu sudah siap jadi ibu, kan?"

Pertanyaan itu menusuk Dewi. Ia teringat luka lamanya, alasannya mengapa ia begitu anti-komitmen. Ide tentang "ibu" atau "rumah tangga" selalu membuatnya takut, membuatnya merasa terkekang.

"Saya... saya belum memikirkan itu, Bu," Dewi menjawab pelan, mencoba menguasai diri.

"Lho, kok begitu?" Bu Marni mengerutkan kening.

"Menikah itu kan ujung-ujungnya punya anak, Dewi. Penerus Gunawan. Nanti kalau tidak punya anak, kasihan Gunawan!"

"Iya, Dewi!" Bu Lastri menambahkan.

"Nanti kalau suami sudah capek kerja, pulang ke rumah, lihat ada anak lucu, kan semangatnya jadi balik lagi! Kamu harus jadi wanita yang bisa membangkitkan semangat suami!"

Dewi merasa semakin terpojok. Setiap pertanyaan terasa seperti tombak kecil yang menghantam tembok pertahanannya. Ia melirik ke jendela, mencari celah.

*

Di luar, Gunawan menyamar di balik gerobak sate milik Mang Udin, pura-pura membeli sate padahal matanya terus mengawasi rumah Bu Marni. Ia bisa mendengar tawa dan obrolan ibu-ibu dari dalam, sesekali diselingi suara Dewi yang terdengar tegang. Jantungnya berdebar, ia tahu Dewi pasti sedang kesulitan.

"Mang, sate saya kok belum dibakar?" Gunawan bertanya, mencoba tetap fokus pada penyamarannya.

"Sabar, Nak. Baru juga ditaruh!" Mang Udin menyahut, tangannya cekatan membakar sate.

"Kamu ini, bukannya mengawasi Dewi, malah sibuk ngurusin sate!"

Gunawan tersentak.

"Hah? Maksud Mang Udin?"

Mang Udin terkekeh.

"Halah, sudah tua begini saya ini! Sudah tahu kamu itu disuruh Bu Ida mengawasi dari jauh! Tenang saja, Dewi itu kuat orangnya. Tapi memang, arisan ibu-ibu itu kadang bikin pusing kepala."

Gunawan menghela napas. Ia merasa tidak enak. Ia ingin sekali masuk ke dalam, menarik Dewi keluar dari sana, tapi ia tahu ia tidak boleh. Ini adalah 'ujian' dari Love Brigade.

Ia melihat Dewi di balik jendela, wajahnya tampak lelah, senyumnya terasa dipaksakan. Ada sedikit cat hijau di hidung Dewi, bekas kemarin, yang kini sudah pudar tapi masih terlihat. Gunawan tersenyum tipis. Ia teringat bagaimana ia membersihkan hidung Dewi dengan saputangan lusuhnya. Momen itu terasa begitu... nyata.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!