"Aku mencintaimu, Hayeon-ah. Mungkin caraku mencintai salah, kacau, dan penuh racun. Tapi itu nyata." Jin Seung Jo.
PERINGATAN PEMBACA:
Cr. pic: Pinterest / X
⚠️ DISCLAIMER:
· KARYA MURNI SAYA SENDIRI. Cerita, karakter, alur, dan dialog adalah hasil kreasi orisinal saya. DILARANG KERAS mengcopy, menjiplak, atau menyalin seluruh maupun sebagian isi cerita tanpa izin.
· GENRE: Dark Romance, Psychological, Tragedy, Supernatural.
· INI BUKAN BXB (Boy Love). Ini adalah BxOC (Boy x Original Female Character).
· Pembaca diharapkan telah dewasa secara mental dan legal.
©isaalyn
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon isagoingon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ikatan yang Tak Terputus
Malam itu, mansion Seung Jo terbenam dalam hening yang mencekam—seolah waktu berhenti. Hayeon terbangun, terjaga dari mimpi buruk yang menggelisahkan, mendengar suara-suara aneh di luar kamarnya. Langkah kaki yang berat, goyah, disertai dentingan barang jatuh—suara yang membuat jantungnya berdegup kencang.
Ia duduk di tepi tempat tidur, selimutnya melingkar erat di tubuhnya, merasakan ketegangan yang mencekam. Dia tahu siapa yang datang.
Krek!
Pintu kamarnya terbuka dengan suara keras, membentur dinding—seolah mengumumkan kedatangan bencana. Seung Jo berdiri di ambang pintu, tubuhnya limbung, wajahnya memerah, napasnya beraroma alkohol yang menyengat. Matanya, biasanya tajam dan penuh kewaspadaan, kini redup, terperangkap dalam gelap yang tak terungkap.
"Kau..." suaranya parau, seolah terjebak di tenggorokan.
"Kau masih di sini."
Hayeon menjerit, ketakutan menguasai dirinya, merangkak mundur hingga punggungnya menempel pada kepala tempat tidur.
"Jangan... jangan mendekat!"
Tapi Seung Jo, dengan langkah olengnya, tidak menghiraukannya. Dia mendekat, tatapannya membuat bulu kuduk Hayeon merinding.
"Selama ini... aku pikir yang kuinginkan adalah menghabisimu," katanya, tawanya pahit seperti racun.
"Seperti menghabisi ayahmu. Tapi lihatlah sekarang. Junho... dia ingin merebutmu. Dan aku... tidak akan membiarkannya."
Dia meraih lengan Hayeon, menariknya dengan kasar. Hayeon berteriak, berjuang untuk bebas, namun cengkeramannya seperti besi.
"Lepaskan aku! Kau gila!"
"Aku mungkin memang gila," geram Seung Jo, wajahnya mendekat, aroma alkoholnya menusuk hidung Hayeon.
"Tapi kau... kau adalah milikku. Masalahku. Urusanku. Bukan milik Junho, atau siapa pun!"
"AKU BUKAN MILIK SIAPAPUN!" teriak Hayeon, suaranya penuh kepanikan.
"Oh, tapi kau salah," bisik Seung Jo, matanya menyipit, suaranya berbahaya.
"Kau pikir kau bisa kabur? Ini tidak akan berakhir dengan kematianmu yang sederhana."
Dia mendorong Hayeon kembali ke tempat tidur, tubuhnya yang besar menindihnya, membuatnya terjepit. Air mata Hayeon mengalir deras, rasa takut menyelimutinya seperti selimut dingin.
"Dengarkan baik-baik," desis Seung Jo di telinganya, suaranya beracun, penuh tekad.
"Kau tidak akan bisa kabur. Tidak sekarang, tidak pernah. Akan ada sesuatu yang mengikat kita. Selamanya."
Kata-kata itu menggantung di udara, lebih menakutkan daripada ancaman fisik. Apa maksudnya? Apa yang akan dia lakukan?
Hayeon menatapnya, matanya penuh ketakutan dan kebingungan, tak mampu memahami kegelapan yang menyelimuti pria mabuk ini.
Satu hal yang pasti—ini bukan sekadar balas dendam. Ini telah berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, dan lebih berbahaya.
Dan ikatan yang dia maksud, entah apa itu, terasa seperti kutukan yang tak akan pernah bisa dia lepaskan.
---
Keesokan harinya, kamar Hayeon terasa seperti kuburan. Dia tidak menangis, tidak tidur. Hanya duduk di lantai, bersandar pada kaki tempat tidur, matanya kosong menatap dinding. Kata-kata Seung Jo masih bergaung di kepalanya.
"Akan ada sesuatu yang mengikat kita. Selamanya."
Kalimat itu mematahkan semangatnya.
Dia tidak tahan lagi—rasa takut, sakit, dan perasaan seperti boneka yang diperebutkan dua orang gila.
Kematian yang dulu dia inginkan, yang ditolak Seung Jo dengan tamparan, kini terasa seperti satu-satunya jalan keluar. Satu-satunya cara untuk memutus "ikatan" mengerikan yang dia ancamkan.
Dengan tubuh lunglai, dia berdiri dan berjalan ke kamar mandi pribadi. Matanya menyapu rak di bawah wastafel. Beberapa botol pembersih terlihat. Tangannya yang dingin meraih satu botol berisi cairan pembersih toilet berwarna biru. Labelnya memperingatkan tentang racun.
Dia tidak ragu—tidak ada lagi yang tersisa untuk dipertahankan.
Dia membuka tutup botol itu. Aroma kimia yang menyengat memenuhi hidungnya. Dia memejamkan mata, bersiap untuk menuangkan isinya ke dalam mulutnya—
BRAK!
Pintu kamar mandi terbanting terbuka. Seung Jo, wajahnya pucat, sisa-sisa mabuk masih terlihat, namun matanya tajam dan waspada, berdiri di sana. Tatapannya langsung tertuju pada botol di tangan Hayeon.
Dengan gerakan cepat, hampir tidak manusiawi, dia menyepak botol itu dari genggaman Hayeon.
Byur!
Botol itu terbang, menghantam dinding, cairan biru beracun muncrat ke mana-mana, mengotori lantai dan dinding marmer dengan noda biru yang menjijikkan. Aroma menyengat semakin menyengat.
Hayeon terpana, tangannya masih terbuka, tubuhnya bergetar hebat. Dia menatap Seung Jo dengan mata penuh ketidakpercayaan dan keputusasaan.
"Bodoh!" hardik Seung Jo, suaranya kasar, penuh amarah, tapi ada kepanikan di dalamnya—seolah dia takut kehilangan.
Dia meraih bahu Hayeon, mengguncangnya. "Apa yang kau pikir kau lakukan?!"
"Lepaskan aku!" teriak Hayeon, suaranya pecah, seolah semua harapannya hancur.
"Bunuh aku saja! Itu yang kau mau, kan?! Kenapa kau tak biarkan aku mengakhiri semua ini?! Hidup seperti ini... untuk apa?!"
"Karena AKU yang memutuskan!" Seung Jo berteriak, dorongannya membuat Hayeon terjepit di antara dinding dan wastafel, punggungnya terasa sakit—seolah seluruh dunia menekannya.
Wajahnya begitu dekat, mata hitamnya berapi-api—amarah, kontrol, dan ada sesuatu yang mirip keputusasaan. Seakan, di balik semua itu, ada ketakutan yang tak terucapkan.
"Hidupmu, matimu—semuanya milikku! Aku tidak akan membiarkanmu kabur begitu saja! Tidak akan kubiarkan JUNHO menang dengan membuatmu memilih jalan pintas ini!"
Ini bukan sekadar pertarungan antara mereka berdua. Ini tentang ego, tentang permainan yang lebih besar, perang yang tak berujung dengan Junho. Hayeon merasakannya, dan rasa hancur itu semakin dalam.
"Jadi, aku hanya... bidak dalam permainan kalian?" isaknya, tubuhnya lemas, seperti daun kering yang tertiup angin, tergantung di genggaman Seung Jo.
"Hanya alat untuk menyakiti satu sama lain?"
Seung Jo terdiam, napasnya masih terengah-engah. Dia menatap wajah Hayeon yang basah oleh air mata—matanya, bulat dan penuh penderitaan. Dan untuk pertama kalinya, mungkin, dia benar-benar melihatnya. Bukan sekadar simbol pengkhianatan, bukan alat balas dendam, bukan boneka yang diperebutkan, tapi seorang gadis muda yang hidupnya hancur karena dirinya.
Cengkeramannya di bahu Hayeon sedikit melonggar. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri—tapi jantungnya berdegup kencang, seolah merasakan ketegangan di udara.
"Bersihkan ini," perintahnya akhirnya, suaranya lebih rendah, namun tetap tegas. Dia menunjuk ke berantakan di lantai, seolah itu adalah simbol dari semua yang telah terjadi.
"Kau tidak akan mati hari ini. Atau kapan pun dengan keinginanmu sendiri."
Dia berbalik, langkahnya berat, meninggalkan Hayeon sendirian di kamar mandi yang berantakan dan berbau racun—rasa sakit, kebingungan, dan sebuah pertanyaan yang terus berputar: Jika dia bukan sekadar bidak, lalu apa? Ah, mungkin... hanya waktu yang bisa menjawab.