Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mulai bergerak..
Van hitam itu melaju senyap di jalanan Jakarta yang mulai sepi. Di luar, lampu-lampu jalan memudar menjadi sapuan kuning yang tidak jelas; di dalam, udara tegang dan penuh perhitungan.
Gita menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih memukul-mukul rusuknya.
Melalui headset, suara Derby terdengar jelas, tenang, dan tanpa emosi.
"Peralatanmu sudah siap?" tanya Derby. Tangannya yang cekatan mengendalikan tuas mobil van itu dengan presisi.
Meskipun ia lumpuh, gerakan tangannya menunjukkan kekuatan yang tersembunyi.
"Sudah, Kak," bisik Gita, suaranya sedikit bergetar. Dia memastikan ransel hitam itu tertutup rapat di samping kakinya.
Di telinganya, ia bisa mendengar dengungan statis yang sangat halus—tanda bahwa saluran komunikasi sudah aktif.
"Bagus," balas Derby. "Dengar, Gita. Ini bukan lagi sandiwara. Ini adalah situasi yang berbahaya. Darren tidak akan pernah mengatur pertemuan di Jembatan Manggarai untuk hal yang baik-baik. Dia ingin lari, atau dia ingin menjual kita semua untuk menyelamatkan dirinya."
Gita memejamkan mata sejenak, mencerna kata-kata itu. "Apa yang harus aku lakukan saat bertemu dengannya?"
"Jangan pernah menyebut aku. Jangan pernah berikan flash drive itu lagi.
Catatan itu ada di kepalaku, isinya sudah kurekam. Tugasmu hanya satu: mengulur waktu," perintah Derby. "Tanyakan tentang 'Proyek Bali' dan tentang siapa 'mereka.' Bertingkahlah seperti istri yang panik, tetapi cukup tahu tentang bisnisnya hingga bisa membuatnya bicara."
Derby berhenti sejenak, mobil van itu melewati persimpangan yang gelap.
"Jembatan Manggarai adalah tempat yang terkenal sepi pada jam ini.
Ideal untuk pertemuan rahasia... dan penyergapan. Kita akan berhenti di area stasiun lama, sekitar seratus meter dari jembatan.
Itu akan memberiku garis pandang yang baik. Kamu akan berjalan sendirian dari sana."
"Aku mengerti," jawab Gita, mengangguk meskipun Derby tidak bisa melihatnya. Kepercayaan dirinya mulai tumbuh. Berada di bawah perintah Derby terasa anehnya lebih aman daripada saat ia berpura-pura menjadi istri yang bahagia.
"Kita punya waktu sekitar empat puluh lima menit sebelum kita sampai di sana," kata Derby, suaranya kini terdengar seperti instruktur militer yang berbisik. "Kita akan menggunakan waktu ini untuk melihat sekilas apa yang Darren sembunyikan."
"Ambil tabletmu, dan buka folder 'Naga Hitam'," perintahnya.
Gita mengeluarkan tablet dari ranselnya. Layar itu menyala, menerangi sebagian wajahnya. Dia membuka folder yang dimaksud.
Di dalamnya, terdapat lusinan foto dengan resolusi tinggi.
"Ini... ini adalah foto-foto lokasi konstruksi," bisik Gita. "Sepertinya di Bali. Ada drone shots."
"Perhatikan bangunan yang mereka gunakan untuk 'Proyek Bali'," kata Derby. "Perbesar gambar. Cari anomali."
Gita menggeser layar, memperbesar beberapa foto. Itu adalah area konstruksi mewah yang terbengkalai. Kemudian, matanya menangkap sesuatu.
"Kak, lihat ini," kata Gita, menunjuk ke sebuah sudut di salah satu foto. "Ada tanda-tanda kerusakan pada fondasi, jauh lebih parah dari sekadar terbengkalai. Dan di bawah gudang kayu itu... sepertinya ada terowongan. Atau semacam bunker."
Derby mendengus pelan. "Aku tahu adikku tidak akan pernah repot-repot menyembunyikan uang di dalam dinding semen. 'Proyek Bali' tidak pernah tentang bangunan mewah. Itu adalah kedok."
"Kedok untuk apa?" tanya Gita.
"Bunker. Gudang. Atau tempat pertemuan. Mereka mencuci uang di permukaan, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam yang mereka sembunyikan," jawab Derby. "Terowongan itu menghubungkan ke mana, Gita?"
Gita memeriksa berkas-berkas kontrak lagi, mencari rencana teknis. Dia menemukan peta bawah tanah yang sangat rinci, tersembunyi di dalam file spreadsheet.
"Ini dia," kata Gita, napasnya tercekat. "Terowongan itu adalah bagian dari jaringan penyimpanan yang sudah ada sejak lama. Itu terhubung ke... pelabuhan kargo yang jaraknya beberapa kilometer. Kak, ini bukan hanya pencucian uang. Mereka mungkin menyelundupkan barang."
Derby membanting tuas kemudi sedikit, membuat mobil van bergoyang. "Barang apa? Senjata? Narkoba? Darren gila, tapi dia tidak sebodoh itu. Dia pasti terlibat dengan sindikat besar."
"Aku tidak tahu," kata Gita. "Tapi di log komunikasi terenkripsi yang lain, ada satu pesan yang menonjol. Sebuah koordinat. Dan sebuah kode: Satu Kali Lima Belas."
Derby tiba-tiba memperlambat mobil van. Mereka sekarang memasuki area yang lebih gelap, dengan bangunan-bangunan tua di kedua sisi jalan.
"Satu Kali Lima Belas..." ulang Derby, suaranya mengeras. "Itu adalah kode yang digunakan oleh tim lama ayahku. Sebuah kode untuk 'pengiriman tunggal yang sangat penting' yang nilainya melebihi lima belas miliar."
"Miliar?" Gita bergumam.
Derby memarkir mobil van itu di belakang sebuah truk yang ditinggalkan. Jembatan Manggarai terlihat samar-samar di kejauhan, diterangi oleh lampu neon yang berkedip-kedip. Jam menunjukkan pukul 22:50. Hanya ada sepuluh menit tersisa.
"Jembatan itu ada di depan. Aku tidak bisa lebih dekat lagi," bisik Derby. "Kita tiba tepat waktu. Sekarang, perhatikan ranselmu, Gita. Yang aku berikan padamu."
Gita melihat ransel hitam di pangkuannya.
"Ada alat perekam suara kecil di saku samping yang diresleting. Nyalakan, sekarang. Dan di saku utama, ada... pelacak."
Gita membuka ritsleting di saku utama dan melihat benda kecil, bundar, yang berkedip pelan.
"Kakak ingin aku memberikan ini pada Darren?"
"Tidak. Aku ingin kamu menaruhnya di mobil yang akan digunakan Darren. Atau, lebih baik, lemparkan ke tas atau saku jaket pria yang bertemu dengannya," jelas Derby. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelah pertemuan ini, tetapi kita harus tahu ke mana mereka pergi. Ini adalah rencana cadangan jika dia berhasil melarikan diri."
"Baiklah," kata Gita. Dia menarik napas terakhirnya sebelum membuka pintu mobil.
"Satu hal lagi," bisik Derby, suaranya tiba-tiba menjadi sangat lembut dan serius. "Jika terjadi sesuatu—jika kamu melihat ada orang lain selain Darren, atau jika dia mencoba menarikmu ke mobil—larilah ke arah yang berlawanan dan jangan pernah menoleh. Aku akan segera datang."
Gita mengangguk, mencengkeram ranselnya erat-erat. "Aku akan kembali, Kak."
Dia membuka pintu mobil van itu. Udara malam yang dingin menyambutnya.
"Ingat, Gita. Kamu adalah asistenku. Berani, tenang, dan fokus pada informasi," kata Derby melalui headset. "Pergi."
Gita keluar dari van hitam, menutup pintu mobil itu dengan hati-hati.
Dia menyesuaikan topi baseball-nya. Di bawah bayangan jaket gelapnya, dia terlihat seperti bayangan yang bergerak. Dia mulai berjalan menuju jembatan.
Jantungnya berdebar, tetapi ketakutan telah digantikan oleh tekad yang dingin.
Dia melangkah ke dalam malam, menuju pertemuan yang akan mengakhiri permainan berbahaya ini—satu langkah di depan suaminya, dan satu langkah menuju kebenaran.
Apa yang harus Gita lakukan selanjutnya saat dia mendekati jembatan dan melihat bayangan Darren?
bersambung...