Jade baru saja kehilangan bayinya. Namun, suaminya malah tega memintanya untuk menjadi ibu susu bagi bayi Bos-nya.
Bos suaminya, merupakan seorang pria yang dingin, menjadi ayah tunggal untuk bayi laki-laki yang baru berusia tiga bulan.
Setiap tetes ASI yang mengalir dari tubuhnya, menciptakan ikatan aneh antara dirinya dengan bayi yang bukan darah dagingnya. Lebih berbahaya lagi, perhatian sang bos perlahan beralih pada dirinya.
Di tengah luka kehilangan, tekanan dari suaminya yang egois, dan tatapan intens dari pria kaya yang merupakan ayah sang bayi, Jade merasa terperangkap pada pusaran rahasia perasaan terlarang.
Mampukah Jade hanya bertahan sebagai ibu susu? Atau hatinya akan jatuh pada bayi dan ayahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenaBintang , isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERAWAL DARI WINE
Jade mengganti pakaiannya dengan piyama. Setelah selesai, dia segera pergi ke kamar Adriano. Begitu tiba di depan kamar pria itu, Jade mengetuk pintunya.
"Langsung masuk saja, aku tidak mengunci pintu," kata Adriano dari dalam kamarnya.
Jade mendorong pintu itu hingga terbuka lebar. Setelah itu dia melangkah masuk ke dalam kamar dengan pelan.
"Tutup lagi pintunya, Jade."
Jade mengangguk. Dia menutup pintu dengan hati-hati, kemudian dia berjalan ke sofa. Dan, di sana terlihat Adriano tengah duduk, bertelanjang dada, dan ada beberapa botol minuman di atas meja.
"Ada apa, Tuan?" tanya Jade.
"Duduk dulu," jawab Adriano.
Jade mengangguk dan duduk di hadapan pria itu. "Aku sudah duduk. Jadi, ada apa Tuan memanggilku?"
Adriano tak langsung menjawab. Dia menuangkan wine ke gelas kosong, lalu mendekatkan gelas yang kini sudah terisi wine ke hadapan Jade.
"Minum bersamaku malam ini," katanya dengan suara yang tenang.
Jade mengerutkan keningnya. "Minum?"
Adriano mengangguk. "Ya, habiskan minuman itu."
Jade sempat ragu. "Aku tak terbiasa minum, Tuan."
"Anggap saja ini malam istimewa," balas Adriano. "Untuk ulang tahun putraku, dan untukmu, yang telah membuat mansion ini hidup kembali."
Jade tersenyum samar, lalu perlahan menerima gelas itu. "Kalau begitu, untuk Maximo," katanya, sambil mengangkat gelas itu.
Keduanya saling menatap sebentar sebelum meneguk minuman masing-masing. Rasa hangat mulai menjalar dari tenggorokan Jade ke seluruh tubuh. Dia tertawa kecil, matanya mulai berkilat lembut.
"Tuan, aku jadi ringan sekali," katanya sambil menepuk pipinya sendiri. "Ternyata wine ini berbahaya."
Adriano ikut tersenyum, sesuatu yang jarang terlihat darinya. "Wine-nya tidak berbahaya, orang yang minum terlalu banyak yang berbahaya."
"Jadi aku orang berbahaya sekarang?" Jade menatapnya dengan senyum menggoda tanpa sadar.
Adriano tertawa pelan. "Mungkin memang begitu."
"Rasanya aku ingin menambahnya lagi, Tuan," ucap Jade dengan suara yang terdengar seperti desahan.
Adriano tersenyum kecil. Dia mencondongkan tubuhnya, dan menuangkan lagi sedikit wine pada wanita itu.
"Kalau begitu, kau harus menghabiskannya, Jade."
Jade mengangguk kecil. Dia meraih gelas itu, lalu meneguknya sampai habis. "Ah, aku merasa semakin ringan." Dia meletakkan gelas ke atas meja dengan kasar.
Jade berdiri dari duduknya. Tatapannya tertuju pada dada bidang Adriano. "Tuan, tubuhmu bagus sekali."
Adriano tertawa kecil. "Benarkah?"
"Benar?" jawab Jade. "Kau tahu, kadang-kadang aku ingin mencoba menyentuhnya."
Adriano berdiri dari duduknya, berjalan mengitari sofa dan berhenti tepat di belakang Jade. "Silahkan saja jika kau mau menyentuhnya," bisiknya, wajahnya begitu dekat dengan wajah Jade. Nafas hangat pria itu terasa di telinganya.
"Aku mau, tapi aku sadar diri siapa aku," balas Jade dengan suara serak. "Kebaikan yang kau berikan, tak mungkin tidak menciptakan perasaan aneh di dalam hatiku. Tapi aku sadar, kau terlalu jauh untuk digapai."
"Jade," bisiknya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. "Kau tak tahu apa yang sedang kau bicarakan padaku."
Jade memejamkan mata sejenak, mencoba menahan nafas yang kini tak beraturan. "Aku tahu, Tuan. Karena setiap kali kau melihatku seperti itu aku lupa harus bersikap bagaimana."
Adriano menahan diri, tetapi jemarinya tanpa sadar terangkat, menyentuh bahu Jade perlahan, sebuah sentuhan yang seolah dia lakukan tanpa rencana. Jade terpaku. Hangatnya telapak tangan Adriano membuat tubuhnya menegang, tapi dia tak bergeming.
Adriano lalu duduk di sebelah Jade. Dia menarik dagu wanita itu, sehingga wajah Jade kini berhadapan dengannya. Jarak mereka sangat dekat, hingga hidung mereka bersentuhan.
Tatapan Jade sayu, bercampur dengan harapan. Dia seperti mengharapkan sesuatu yang lain.
Perlahan, Adriano mendekatkan wajahnya. Jade memejamkan matanya. Ketika bibir mereka menempel, tak ada perlawanan dari Jade.
Bibir pria itu mulai menekan bibir Jade. Dalam, dan mulai panas. Lidah mereka saling bertaut. Kedua tangan Jade melingkar pada leher Adriano.
Kepala mereka bergerak ke kanan dan kiri, tubuh saling menempel, tak ada jarak lagi. Adriano menaikkan Jade ke atas pangkuannya, dan memperdalam ciuman mereka. Tangannya yang besar menekan tengkuk Jade dengan kuat, sehingga wanita itu tak bisa melarikan diri lagi.
Jantung Jade berdegup kencang. Nafasnya terengah. Ketika tautan bibir mereka terlepas, Jade masih belum berani membuka matanya.
"Jade, aku..."
"Aku tahu," potong Jade. "Aku tahu kau ingin melakukan sesuatu yang sudah tidak lama kau lakukan. Dan maafkan aku jika aku juga menginginkannya."
'Aku sudah lama menyukaimu, Tuan. Tapi aku sadar kau tak bisa menjadi milikku. Jadi, biarkanlah malam ini berlalu seperti ini.' lanjut Jade dalam hati.
Adriano mengangkat tubuh Jade, membawa wanita itu ke atas ranjang. "Kau tak akan menyesal, bukan?"
"Ya," jawab Jade dengan suara yang serak.
...****************...