Yang Suka Action Yuk Mari..
Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Bab 2
Tiga puluh lima tahun telah berlalu sejak dua pemuda bernama Julius dan Miko Stanley pertama kali menjejakkan kaki di halaman perguruan tua di pinggiran Kota Yanzim. Waktu telah menempa mereka menjadi sosok-sosok luar biasa — tidak lagi sekadar murid, melainkan dua dari sedikit orang di dunia yang mencapai Tingkat Dewa Bela Diri.
Namun di balik gelar mulia itu, tersimpan bara lama yang perlahan memanas.
---
Malam itu, langit Kota Yanzim kelabu keunguan. Hujan tipis menetes di halaman perguruan yang sudah menua. Batu-batu taman dilapisi lumut, suara gemericik air terdengar dari kolam di tengah halaman. Di bawah pohon pinus rimbun, seorang lelaki tua bersandar di kursi kayu, rambutnya memutih seluruhnya.
Dialah Guru Liang, sosok yang dulu memungut Julius dan Miko sebagai murid. Kini usianya hampir seratus tahun, tubuhnya lemah, tapi mata yang menatap tetap tajam seperti pedang.
“Julius… Miko…” suaranya parau namun tegas, “kalian telah menempuh jalan panjang. Dunia kini mengenal kalian sebagai dua dewa bela diri generasi ini. Namun satu hal ingin kuceritakan sebelum aku menutup mata…”
Julius menatap gurunya dengan hormat, sementara Miko berdiri di sisi lain, tangan bersilang di dada, wajah datar namun matanya menyimpan sesuatu yang sulit diartikan.
Guru Liang mengeluarkan sebuah peti kecil dari pangkuannya — kayu hitam berukir naga. Ia membukanya perlahan. Di dalamnya terbaring sepotong tulang berwarna keperakan, memancarkan aura hangat yang seakan memeluk jiwa.
“Tulang ajaib…” gumam Julius hampir tanpa suara.
Barang itu legendaris. Konon, tulang ini bisa memperkuat energi internal seseorang hingga menembus batas manusia. Kedua murid itu tahu, hanya satu tulang seperti itu yang tersisa di dunia.
“Guru…” Miko melangkah maju setapak. “Bukankah kau berkata tulang ini hanya diberikan pada murid paling layak?”
Guru Liang mengangguk pelan. “Aku telah melihat jalan kalian berdua. Julius — engkau menempuh bela diri dengan hati jernih. Kekuatanmu digunakan untuk menolong, bukan menindas. Sedangkan kau, Miko…”
Nada suaranya menurun, lembut tapi menusuk. “Kekuatanmu besar, tapi hatimu telah lama diracuni ambisi.”
Miko menegang. “Ambisi? Tanpa ambisi aku takkan sampai di sini! Tanpa itu, aku masih anak jalanan yang kau pungut di lorong kotor itu!”
Guru Liang memejamkan mata sejenak. “Benar. Tapi kekuatan tanpa kendali hanya akan menghancurkan segalanya, termasuk dirimu sendiri.”
Ia menoleh ke Julius dan menyerahkan peti itu. “Kuserahkan Tulang Ajaib ini padamu. Gunakan dengan bijak. Ingatlah… ujian terbesar seorang pendekar bukan melawan musuh, tapi mengalahkan amarah sendiri.”
Julius menunduk, menerima peti dengan kedua tangan, wajahnya sendu. Miko terpaku, jemarinya menggenggam kain jubah hingga berkerut.
Ketika keduanya meninggalkan ruang itu, langit perguruan bergemuruh — pertanda badai besar akan datang.
---
Sejak malam itu, hubungan dua sahabat itu berubah. Miko mulai jarang terlihat di perguruan. Ia membangun menara pelatihannya sendiri di sisi barat Kota Yanzim, menolak semua undangan Julius.
Kabar mulai menyebar: Keluarga Stanley — yang dipimpin Miko — menguasai pelabuhan, perdagangan senjata, bahkan pasukan bayaran. Sementara Julius yang memimpin Keluarga Garcia dikenal sebagai pelindung rakyat kecil, menjaga keseimbangan kota.
Rakyat menyebut mereka “Dua Dewa Yanzim.”
Namun bagi Miko, hanya ada satu tempat bagi seorang dewa.
Suatu sore, ia berdiri di ruang latihan pribadinya, menatap bayangannya sendiri di cermin besar dari batu giok. Di belakangnya, berdiri seorang pria berjas hitam, kepala pengawal keluarga Stanley.
“Tuan,” kata pria itu dengan hormat, “kami mendapat kabar bahwa Guru Liang telah meninggal dunia. Pemakaman akan diadakan tiga hari lagi.”
Miko tidak menjawab. Ia hanya menatap wajahnya sendiri di cermin, lalu tersenyum tipis. “Jadi akhirnya beliau pergi juga…”
“Apakah kita akan menghadiri pemakaman, Tuan?”
Miko menoleh perlahan. Tatapannya dingin. “Tidak perlu. Dia sudah memilih penggantinya.”
Pengawal itu menunduk. Sejak hari pemberian Tulang Ajaib, hati tuannya tak pernah sama lagi.
---
Tiga bulan kemudian, surat undangan tiba di kediaman Keluarga Garcia.
Tulisan tangan Miko sendiri:
> “Untuk saudaraku, Julius Garcia.
Sudah terlalu lama kita tak duduk satu meja.
Datanglah ke rumahku, bawa keluargamu.
Aku ingin berdamai, untuk mengenang guru kita yang telah tiada.”
Julius membaca surat itu lama. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya. “Mungkin sudah saatnya semua ini berakhir.”
Istrinya khawatir. “Apa kau yakin, Julius? Miko bukan orang yang mudah memaafkan.”
Julius menggeleng. “Aku tak ingin mati membawa dendam. Jika dia benar-benar ingin berdamai, aku akan datang sebagai sahabat.”
Malam itu, langit Yanzim diterangi lentera-lentera perayaan. Di rumah besar keluarga Stanley, meja panjang dipenuhi makanan lezat dan arak tua.
Miko menyambut mereka dengan senyum ramah, seolah tak pernah ada kebencian.
“Saudaraku!” serunya, memeluk Julius di depan semua orang. “Aku menyesal atas kata-kata buruk di masa lalu. Malam ini kita rayakan masa muda kita!”
Gelak tawa terdengar. Anak-anak Julius berlarian, cucu kecil tertawa di pangkuan nenek.
Namun di balik meja, tangan Miko yang memegang cangkir arak bergetar pelan — bukan gugup, tapi menahan hasrat gelap yang lama menguasainya.
Arak dituangkan. Gelas diangkat.
Miko menatap Julius dalam-dalam. “Untuk sahabatku… untuk masa lalu kita yang indah.”
Julius tersenyum. “Untuk perdamaian.”
Mereka meneguk arak bersama.
Beberapa menit kemudian, musik berhenti. Seorang pelayan menjatuhkan nampan karena gemetar.
Satu per satu wajah tamu memucat. Anak sulung Julius menggenggam perutnya dan jatuh ke lantai. Istrinya menjerit. Arak di gelas memancarkan cahaya kehijauan.
“Miko… apa yang kau lakukan?” suara Julius bergetar, darah mulai mengalir dari sudut bibirnya.
Miko berdiri perlahan, menatap sahabat lamanya tanpa senyum. “Aku hanya mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milikku, Julius.”
“Guru memilihmu karena hatimu. Tapi lihatlah… apa hasilnya? Kau membentuk keluarga, murid, semua orang menyanjungmu! Sedangkan aku, yang menanggung hinaan itu, dianggap haus kekuasaan!”
Julius berusaha berdiri, tapi tubuhnya goyah. “Kau… salah jalan, Miko… kekuatan tanpa nurani akan membinasakanmu.”
Miko mendekat, menatapnya dari atas. “Mungkin. Tapi malam ini, sejarah akan mencatat bahwa Keluarga Garcia musnah karena kebodohannya sendiri.”
Ia berbalik, meninggalkan aula yang kini dipenuhi tubuh tak bernyawa.
Di luar, hujan turun lagi. Langit Yanzim memerah seperti api.
---
Namun, dari reruntuhan itu, satu cahaya kecil bertahan.
Seorang gadis remaja berusia 15 tahun — Raysia Garcia — selamat. Malam itu ia kebetulan berada di luar kota, mengunjungi biara bersama pengasuhnya.
Keesokan harinya, ketika kembali ke rumah, yang tersisa hanyalah abu dan keheningan.
Raysia disembunyikan karena takut, namun akhirnya ditemukan oleh pasukan Miko. Tanpa perasaan, dengan kekuasaannya, ia membuang Raysia ke pulau terpencil bernama Barbar City.
Sejak itu, nama Keluarga Garcia hilang dari peta Kota Yanzim.
Di menara batu miliknya, Miko menatap kota dari kejauhan, wajahnya datar, memegang peti hitam warisan gurunya.
Di dalamnya, Tulang Ajaib masih berkilau.
Namun tak lagi memancarkan cahaya hangat — melainkan sinar dingin yang mencerminkan jiwanya sendiri.
---
Bersambung.
thumb up buat thor