Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Reina Curiga
Hari Senin pagi, suasana kelas XI-2 ramai seperti biasa. Icha duduk di bangkunya, sibuk menyalin catatan dari buku Albar.
“Pelan-pelan, Bar. Tulisannya kayak resep dokter,” gerutu Icha.
“Lah, kalau gampang dibaca, nanti semua orang bisa nyontek,” jawab Albar sambil nyengir.
Dari kejauhan, Reina yang duduk dua baris belakang memperhatikan mereka. Mata gadis itu menyipit, bibirnya mengerucut. Sudah beberapa hari ini ia memperhatikan Albar lebih sering ngobrol dengan Icha.
Kenapa sih, mereka sering banget bareng? batin Reina. Jangan-jangan…
Di sisi lain kelas, Nayla yang biasanya sesekali melirik Albar kini tampak sibuk membuka laptop. Di mejanya ada setumpuk kertas, beberapa diagram, dan satu brosur bertuliskan Lomba Sains Nasional.
Rio yang duduk di sebelahnya melirik penasaran. “Tumben serius banget, Nay.”
“Aku mau fokus buat lomba. Nggak mau mikirin hal-hal nggak penting lagi,” jawab Nayla datar.
“Termasuk Albar?” goda Rio.
Nayla menghela napas. “Iya. Udah cukup aku capek sendiri. Dia mau deket sama siapa juga, terserah. Aku mau juara lomba ini.”
Jam istirahat, Reina berjalan ke arah Icha yang sedang duduk di kantin sambil memakan roti. “Cha, lo sering bareng Albar, ya?”
Icha hampir tersedak. “Hah? Nggak kok, cuma ngerjain tugas.”
Reina tersenyum tipis, tapi tatapannya menusuk. “Oh… cuma tugas. Soalnya gue lihat kalian sering banget bareng, bahkan ketawa-tawa sendiri.”
Icha buru-buru mengalihkan topik. “Eh, lo udah beli kertas origami buat tugas seni belum?”
“Belum. Tapi gue beli mata,” jawab Reina pelan sambil tersenyum dingin, lalu pergi begitu saja.
Icha memandangi punggung Reina yang menjauh, merasa sedikit gelisah. Gawat… dia mulai curiga.
Sore harinya, di lapangan basket, Albar menghampiri Icha yang sedang menunggu jemputan. “Tadi di kantin, Reina nanya-nanya ke gue juga,” kata Albar pelan.
“Nanya apa?”
“Ya… nanya kita sering bareng. Gue bilang iya, soalnya emang bener. Tapi cuma buat tugas.”
Icha memegang kepala. “Ya ampun, Bar… lo nggak bisa jawab lebih hati-hati?”
“Lah, jawab jujur aja salah?” Albar tertawa kecil. “Tenang, gue bisa bikin dia nggak curiga lagi.”
“Caranya?”
“Ya tinggal pura-pura deket sama orang lain.”
Icha melotot. “Sama siapa?”
Albar mengedikkan bahu. “Nggak tau, yang penting aman.”
Sementara itu, Nayla benar-benar menutup telinganya dari gosip. Ia bahkan menghindari obrolan teman-teman yang membicarakan Albar. Semua energinya ia curahkan ke persiapan lomba sains.
Rio yang melihat perubahan itu cuma geleng-geleng kepala. “Wah, ini sih udah bukan Nayla si pengagum Albar, tapi Nayla sang ilmuwan masa depan.”
Nayla tersenyum tipis. “Lebih baik aku jatuh cinta sama rumus fisika. Nggak bikin sakit hati.”
Keesokan harinya, Reina kembali mengamati. Kali ini ia melihat Icha dan Albar keluar dari perpustakaan bersama. Mereka berjalan agak berdekatan, dan Icha terlihat menahan tawa saat Albar berbisik sesuatu.
Oke… ini makin mencurigakan, batin Reina. Ia menggigit bibir, sedikit kesal. Apa mereka pikir nggak ada yang lihat?
Saat Icha kembali ke kelas, Reina menghampirinya lagi, kali ini sambil tersenyum manis. “Cha, lo punya pulpen hitam nggak?”
Icha memberikannya. “Nih.”
Reina menatapnya sebentar sebelum berkata pelan, “Hati-hati kalau jalan sama Albar. Orang-orang bisa salah paham.”
Icha terdiam, pura-pura tidak mengerti maksudnya, lalu segera duduk. Namun detak jantungnya sedikit berdebar—pertanda tekanan mulai datang dari luar.
Di rumah, Icha merenung sambil menatap layar ponselnya. Ada pesan dari Albar:
Bar: Besok kita ketemu di taman belakang sekolah aja buat ngerjain tugas. Biar nggak banyak yang lihat.
Icha: Iya, kayaknya Reina udah mulai curiga.
Bar: Tenang, kita bisa atur strategi.
Icha menutup chat itu sambil tersenyum tipis. Hubungan mereka memang baru sebatas pacaran diam-diam, tapi rasanya seperti misi rahasia yang harus dilindungi dari segala arah—termasuk dari tatapan tajam Reina dan telinga gosip teman-teman.