Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. 5 Tahun Kemudian.
Langit biru siang itu seakan mengejek Rafael. Terlalu tenang, terlalu indah, kontras dengan hatinya yang sejak lima tahun lalu selalu dihantui bayangan malam berdarah itu. Malam ketika Roman ditembak mati oleh Aurel, ketika dirinya terkapar tak sadarkan diri, dan ketika Arunika, cinta sekaligus luka terbesarnya, hilang ditelan sungai.
Rafael berdiri di balkon tinggi kantornya, tatapannya kosong menembus horizon. Angin menerpa wajahnya, namun tak ada sebersit rasa damai. Semua yang ia lihat hanyalah gelombang air, jeritan Arunika, dan tangannya yang tak pernah sempat ia genggam kembali.
'Lima tahun … dan aku masih menunggu kabar yang tak pernah datang.'
Aurel sudah berkali-kali meyakinkannya, mengatakan bahwa Arunika dan Marco mati tenggelam malam itu. Bahwa bahkan orang-orang terbaik sudah menyisir sungai berhari-hari, dan yang mereka temukan hanyalah serpihan mobil dan darah. Tidak ada tubuh. Tidak ada tanda kehidupan. Tapi Rafael tidak pernah percaya sepenuhnya.
Dia tahu ibunya pandai memainkan kata-kata. Ia tahu Aurel bisa memutarbalikkan kenyataan dengan dingin. Dan sejak hari itu, sesuatu dalam dirinya mati. Kelembutan yang dulu sempat Arunika lihat, kini lenyap tanpa jejak. Rafael menjadi jauh lebih dingin, lebih kejam, tak segan menghabisi musuh tanpa ampun.
Bagi anak buahnya, Rafael adalah badai. Bagi lawan-lawannya, Rafael adalah bencana. Dan bagi Aurel sendiri Rafael sudah bukan lagi putra yang bisa ia kendalikan dengan mudah.
“Rafael …” suara Aurel terdengar dari balik pintu yang terbuka. Wanita itu melangkah masuk ke ruang kerja yang mewah namun terasa dingin. Wajahnya tetap anggun, rambutnya disanggul rapi, namun sorot matanya menyimpan sesuatu yang sulit dibaca. Rafael tidak menoleh. Matanya tetap tertuju pada langit biru di kejauhan.
“Ada proyek baru yang harus kau tangani,” ucap Aurel datar, seakan ingin membicarakan bisnis biasa. “Ini akan memperluas kekuasaan kita. Kau harus hadir di rapat dengan dewan utama malam ini.”
Rafael tetap diam, tangannya yang memegang segelas wiski hanya bergerak sedikit, memutar cairan emas itu perlahan.
“Rafael,” Aurel menekankan, suaranya mulai terdengar tegas. “Kau dengar aku?”
Akhirnya Rafael bergerak. Ia menaruh gelasnya dengan bunyi denting halus, lalu berbalik. Tatapannya menusuk, dingin, penuh ketidakpercayaan. Ia berjalan melewati ibunya tanpa sepatah kata pun.
Aurel menahan napas sesaat, tubuhnya menegang. “Kau mau ke mana?”
Rafael berhenti di ambang pintu, menoleh setengah dengan senyum tipis yang lebih mirip luka.
“Bukan urusanmu.”
Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, meninggalkan ibunya berdiri sendirian di ruang kerja yang tiba-tiba terasa sesak. Aurel mengepalkan tangannya erat. Di balik wajah dinginnya, hatinya bergejolak. Ia tahu, putranya yang dulu sudah hilang. Yang berdiri hari ini adalah pria yang bahkan dirinya sulit kendalikan. Dan di hati terdalam Rafael, hanya ada satu doa yang tak pernah padam,
'Jika kau masih hidup, Aru … walau hanya tulang belulang yang tersisa … biarkan aku menemukannya.'
Air sungai itu masih sama. Mengalir deras, membawa suara gemuruh yang menusuk telinga Rafael lebih tajam dari peluru mana pun. Sudah lima tahun berlalu, namun setiap kali berdiri di tepi sungai ini, waktu seakan berhenti.
Rafael berdiri di atas batu besar, jas hitamnya kontras dengan warna alam yang suram. Mata tajamnya menatap arus yang bergolak, seolah mencari sesuatu yang tidak pernah benar-benar ia temukan. Di sinilah malam itu semuanya berakhir, atau mungkin justru di sinilah semuanya dimulai.
Dia masih bisa mendengar jeritan Arunika, masih bisa merasakan getar tangannya ketika tak sempat ia genggam. Dan lebih dari itu Rafael masih bisa merasakan degup kecil di perut Arunika malam itu. Janin yang belum sempat melihat dunia, anak mereka yang seharusnya menjadi cahaya pertama dalam hidupnya.
Tangannya mengepal erat, hingga buku-bukunya memutih. Napasnya berat. “Arunika …” gumamnya lirih, suara yang pecah dihempas angin. “Aku sudah mencari. Lima tahun … dan aku masih di sini. Tapi yang kutemukan hanya kehampaan.”
Dia berlutut, menyentuhkan jemarinya ke air yang dingin. Alirannya seakan mengejek, membawa bayangan masa lalu yang tak mau padam. Marco, yang setia ikut mati malam itu.Arunika, cinta dan istrinya, dan calon anak yang bahkan belum sempat ia beri nama.
Rafael menutup mata, rahangnya mengeras. Ada getaran halus di dadanya, antara rindu dan amarah yang bercampur menjadi satu. Harapan yang dulu keras kepala kini terkikis. Kenyataan itu lebih pahit dari racun, tak ada yang selamat malam itu. Tidak Arunika, tidak calon anak mereka. Tidak harapan tentang keluarga kecil yang pernah ia impikan.
Hanya dirinya yang tersisa dan sisa-sisa dendam yang menggerogoti jiwa.
“Kalau pun hanya tulang belulangmu yang tersisa … biarkan aku menemukannya,” bisiknya lagi, menatap derasnya arus. “Karena sampai hari ini … aku masih milikmu.”
Suara langkah mendekat dari belakang memecah lamunannya. Anak buahnya datang memberi hormat, suara mereka rendah, hati-hati. “Tuan, waktunya kembali. Dewan sudah menunggu.”
Rafael tidak langsung bangkit. Pandangannya masih terikat pada arus sungai. Lalu akhirnya, ia berdiri tegak, menoleh ke langit yang mulai memerah. Wajahnya kembali keras, sedingin batu. Tak ada lagi air mata, hanya bara yang membeku.
“Ayo.” ucapnya pelan.
Tanpa menoleh lagi pada sungai itu, ia melangkah pergi. Namun di hatinya, luka itu tetap menganga, membawanya semakin jauh dari manusia biasa dan semakin dekat pada sisi tergelap dirinya.
Di tempat lain di negara yang sama dan di kota yang berbeda, lebih tepatnya di puncak gunung di sebelah Utara.
Di puncak gunung belah Utara, udara menusuk dingin, namun tubuh wanita bergerak luwes, menghunus pedang kayu panjang yang berkilat diterpa sinar matahari. Setiap gerakannya mantap, mengalir dengan kekuatan penuh. Nafasnya teratur, matanya tajam, seolah setiap tetes luka masa lalu ia tuangkan dalam jurus-jurus yang terus ia asah.
Di sisi lapangan kecil itu, berdiri seorang pria tegap, berwajah dingin namun penuh wibawa.
Pria itu adalah, orang kepercayaan suaminya, kini menjadi saksi diam perkembangan luar biasa dirinya. Dia tak berani mengganggu, hanya mengamati dengan patuh, kadang memberi arahan singkat, tapi lebih sering membiarkan wanita itu menyalurkan emosinya dalam setiap tebasan.
Pedang kayu itu menghantam udara, membelah kesunyian hutan. wanita itu berhenti, peluh menetes di keningnya. Tatapannya jatuh pada lembah jauh di bawah gunung. Dalam hatinya, ada kerinduan yang sulit ia padamkan, sekaligus dendam yang menyalakan bara.
“Arunika!” suara lembut namun tegas memanggil. Dari arah pondok kayu sederhana, seorang wanita paruh baya melangkah sambil mengibaskan tangan penuh aroma bumbu dapur, dia adalah ibunya Larasastri.
Rambutnya telah banyak memutih, wajahnya penuh garis kehidupan, tapi tatapan matanya tidak kehilangan kejernihan. Dialah ibu Arunika, yang dulu Rafael ‘kurung’ dulu, bukan untuk menyiksa, melainkan untuk melindunginya dari ancaman Aurel, ibu kandung Rafael yang kejam dan penuh tipu daya.
Larasati selama ini memainkan peran gila, berbicara sendiri, tertawa tanpa alasan, menatap kosong, semua agar musuh mengira dirinya rapuh dan tak berguna. Padahal, ia melihat lebih banyak daripada yang orang lain kira.
Arunika meletakkan pedang kayunya, melangkah mendekat dengan senyum lelah. “Mama sudah selesai memasak?” tanyanya pelan.
Larasati mengangguk, namun sorot matanya meredup. “Dua hari sebelum kau diculik, aku berhasil keluar dari kurungan itu. Aku kira aku akan menemuimu dengan selamat … tapi yang kudengar justru jeritanmu, kabar serangan itu.” Suaranya bergetar, penuh sesal.
" Ini sudah lima tahun, Ma. Berhenti membicarakan itu. Mari kita bicarakan cara untuk membalas semua kejahatan mereka,"
Larasastri terdiam, jemarinya mengepal. Luka itu kembali menganga. Luka kehilangan, luka pengkhianatan, luka karena semua yang ia cintai direnggut darinya.
Marco menunduk hormat. “Nyonya, Anda tidak boleh menyalahkan diri sendiri. Jika bukan karena kepintaran Anda berpura-pura gila, kita tidak akan tahu bahwa Aurel lah dalang dari semua kekacauan itu.”
Arunika menatap ibunya, lalu menatap Marco. “Aku tak akan biarkan semua ini berakhir begitu saja. Jika aku masih bernafas, itu berarti aku masih punya jalan. Untuk suamiku … untuk anakku … dan untuk semua darah yang sudah ditumpahkan.”
Di puncak gunung itu, angin berhembus lebih kencang, seolah ikut menjadi saksi tekad Arunika yang semakin membaja.
walau awalx sulit menyakit kan..
jgn sampai ada apa2 ya
tegang bacanya
Dan Rafael tidak mengetahui nya