Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34.
Malam itu udara gunung begitu dingin. Di beranda pondok kecil yang diterangi cahaya lampu minyak, Arunika duduk termenung. Matanya menatap kosong ke arah hutan gelap, namun pikirannya jauh melayang ke masa lalu.
Ia masih bisa merasakan hangatnya malam ketika dirinya dan Rafael duduk berdua di kamar mewah mereka, membicarakan masa depan yang mereka impikan. Rafael tersenyum lebar kala itu, tangannya menggenggam tangan Arunika erat, sambil bercanda soal nama-nama anak mereka kelak.
“Apa menurutmu bagus kalau anak pertama kita bernama Arka?” suara Rafael yang penuh semangat seakan kembali terngiang.
Arunika waktu itu tertawa kecil, menggeleng. “Arka bagus, tapi kalau perempuan? Jangan lupa, aku juga ingin punya putri secantik ibunya.”
“Kalau begitu, biar aku yang pilih untuk anak laki-laki, dan kau untuk anak perempuan,” jawab Rafael sambil menempelkan keningnya di kening Arunika.
Kenangan itu membuat dada Arunika sesak. Air matanya menetes tanpa ia sadari. Semua impian indah itu sirna begitu saja suaminya dibunuh tepat di depan matanya, dan dirinya dicampakkan dari keluarga Rafael, dianggap tak pantas, dianggap penghalang.
“Rafael … andai kau masih ada …” bisiknya lirih, suaranya pecah terbawa angin malam.
Keesokan paginya, ketika matahari baru saja menyingkap kabut tipis di puncak gunung, Arunika keluar dari kamarnya dengan raut wajah yang lebih tegas. Marco sudah menunggunya di luar, berdiri tegak seakan tahu bahwa ada sesuatu yang besar akan diputuskan. Larasati, yang masih menyibukkan diri di dapur, memperhatikan putrinya dengan cemas.
“Ibu … aku sudah memutuskan,” ujar Arunika pelan, tapi mantap. “Aku akan turun ke kota. Lima tahun bersembunyi sudah cukup. Aku tak bisa hanya berdiam diri di sini. Aku ingin membangun hidupku sendiri, hidup dengan layak di kota, dan … aku sudah memiliki jaringan bisnis yang selama ini bekerja diam-diam untukku. Hasilnya cukup untuk membiayai langkah pertama kita.”
Larasati menatap putrinya dengan ragu. Tangannya berhenti di atas meja kayu, gemetar. “Nak … kota itu penuh bahaya. Kau tahu Aurel, kau tahu orang-orang yang masih menginginkanmu mati. Apa kau rela mempertaruhkan nyawamu lagi?”
Arunika menunduk sejenak, lalu mengangkat kepalanya dengan sorot mata yang penuh keyakinan. “Ibu … justru demi calon anakku yang telah tiada, aku harus turun gunung. Aku tidak ingin tumbuh bersembunyi seperti pengecut. Dia berhak mendapatkan keadilan dunia,"
Larasati ingin menolak, tapi sebelum ia sempat bicara, Marco menyela dengan suara tegas namun hormat. “Bu, percayalah pada Nyonya. Lima tahun ini ia bukan lagi gadis yang dulu. Ia sudah berlatih, memperkuat dirinya, dan membangun jaringan yang bahkan keluarga besar pun tidak tahu. Kota memang berbahaya … tapi dengan kekuatan yang ia miliki sekarang, Nyonya Arunika bukan lagi perempuan yang bisa diinjak-injak.”
Larasati menatap keduanya bergantian. Hatinya berkecamuk, antara rasa takut kehilangan anak untuk kedua kalinya dan kebanggaan melihat putrinya berdiri setegar itu. Perlahan, ia mengangguk pasrah, air matanya mengalir.
“Baiklah … kalau itu keputusanmu, Ibu akan mendukung. Tapi berjanjilah satu hal … jangan sampai kau ulangi kesalahan lalu. Jangan percaya pada siapa pun terlalu mudah.”
Arunika memeluk ibunya erat. “Aku janji, Bu.”
Di wajah Marco, terlihat sedikit senyum puas, namun di balik sorot matanya ada kesadaran lain, dengan langkah ini, Arunika bukan hanya akan menghadapi dunia luar ia juga akan berhadapan dengan masa lalu yang selama ini ia kira sudah mati bersama Rafael.
Yang tidak pernah Arunika tahu adalah, di saat yang sama di kota, Rafael masih hidup dingin, kejam, dan kehilangan harapan namun masih menunggu secercah kabar dari seseorang yang ia kira telah pergi selamanya.
Keesokan paginya.
Pagi itu, jalanan utama kota tiba-tiba ramai. Deretan mobil mewah berwarna hitam berkilau meluncur beriringan dengan pengawalan ketat. Orang-orang di trotoar menoleh, sebagian berhenti hanya untuk menyaksikan pemandangan tak biasa itu.
Mobil paling depan berhenti di depan gedung kaca menjulang tinggi markas baru dari jaringan bisnis yang diam-diam Arunika bangun selama lima tahun.
Pintu mobil belakang terbuka. Seorang wanita turun dengan langkah mantap. Arunika. Penampilannya jauh berbeda dari lima tahun lalu, tubuh tegak berbalut setelan hitam elegan, rambut panjang tergerai indah, wajahnya tegas namun tetap menyimpan aura kelembutan. Sorot matanya menusuk, seperti mata seorang ratu yang baru saja merebut tahtanya kembali.
“Miss Aru …” suara serempak terdengar. Para bawahan yang sudah menunggu di pintu masuk menundukkan kepala penuh hormat. Tidak ada lagi panggilan ragu atau setengah hati, semua orang tahu, pemimpin baru yang mengendalikan jaringan bisnis raksasa ini bukan orang biasa.
Arunika hanya mengangguk singkat, lalu melangkah masuk.
Di dalam, ruang rapat besar sudah dipenuhi orang. Para eksekutif yang biasanya terbiasa memimpin, kini duduk menunggu arahan. Arunika duduk di kursi utama, meletakkan map di atas meja, lalu menatap satu per satu wajah di hadapannya.
“Mulai hari ini, kita akan memperluas pengaruh. Aku tidak hanya ingin kita menguasai pasar … aku ingin kita mendikte pasar,” ucapnya datar, tapi tegas. “Setiap proyek, setiap kerja sama, harus membawa keuntungan berlipat. Dan aku ingin kalian semua sadar, aku tidak mentolerir pengkhianatan.”
Suasana ruangan hening. Tidak ada satu pun yang berani menatapnya terlalu lama.
Asistennya, seorang pria muda bernama Daryl, mendekat dan berbisik di telinganya. “Miss … ada proposal kerja sama dari salah satu perusahaan besar. Namanya … Aurel Corporation.”
Arunika terdiam sejenak. Bibirnya perlahan melengkung membentuk senyum sinis, senyum yang membuat Daryl menelan ludah gugup.
“Terima.” Jawaban Arunika singkat, namun sarat makna.
Daryl menatapnya heran. “Terima, Miss? Tapi bukankah … itu perusahaan milik...”
“Aku tahu milik siapa.” Arunika memotong cepat, matanya dingin. “Justru itu alasannya. Aku ingin bertemu langsung dengan wanita itu. Aku ingin melihat wajahnya saat tahu aku masih hidup. Dia sudah membuangku … membunuhku … sekarang giliran aku yang membuatnya mengerti siapa yang seharusnya takut.”
Ia menutup map di hadapannya, lalu bersandar santai di kursinya. Senyum tipisnya masih mengendap, tapi sorot matanya penuh dendam yang menyala.
“Siapkan semuanya. Aku ingin kejutan ini sempurna.”
Ruang rapat kembali hening, namun kali ini dipenuhi ketegangan. Semua orang tahu, Miss Aru bukan hanya sedang menjalankan bisnis. Ia sedang merancang sebuah perang perang yang bukan sekadar soal uang, tapi soal luka masa lalu yang belum pernah terbalas.
bs melawan ,bahkan bisa membuat gajah
mati ...
Di tunggu last part nya thor
Kok begini akhir ceritanya thorr,, gk ada penyiksaan,, atau penyerangan gt,, mudah banget musuhnya mati,,! Ok.. Lahhh semangat othor💪
masak sdah tamat aja thor...
kasih bonchap donk...
🤣🤣🤣