NovelToon NovelToon
DEBU (DEMI IBU)

DEBU (DEMI IBU)

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Poligami / Keluarga / Healing
Popularitas:18.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nana 17 Oktober

“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”

Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.

Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.

Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.

Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.

Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.

Tapi… akankah harapan itu terkabul?

Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20. Ingin Jadi Artis

Kevia berbalik, tubuhnya menegang. Rima berdiri di belakangnya, entah sejak kapan, menatap tajam bagaikan elang yang siap mencabik.

“Uang siapa itu?” suara Rima datar, tapi mengandung ancaman.

Kevia menggenggam uang itu erat-erat, berusaha menahan getaran tangannya. “Ini… uang teman sekelas saya, Bu. Tertinggal di buku yang saya pinjam. Besok… akan saya kembalikan,” jawabnya berusaha tenang, meski jantungnya berdegup kencang hampir pecah.

“Benarkah?” Rima memicingkan mata, menelisik setiap gerak Kevia.

Kevia buru-buru mengangguk. “Ibu bisa tanyakan sendiri padanya kalau tidak percaya. Saya… punya nomor teleponnya.” Ia pun membuka tasnya, pura-pura hendak menunjukkan. Dalam hati, ia berdoa keras, "Semoga Yuni bisa diajak kompromi kalau nanti ditanya…"

“Tak perlu.” Rima melambaikan tangan seolah tak tertarik. Tatapannya bergeser, menusuk lebih dalam. “Lalu siapa pria bermotor yang mengantarmu tadi?”

Darah Kevia serasa membeku. Ia memutar otak cepat. “Itu… tetangga kami dulu, waktu masih di kontrakan lama. Kebetulan bertemu di jalan, jadi… dia sekalian mengantar.”

“Benarkah?” nada suara Rima merendah, tapi makin menekan.

Kevia menunduk, pura-pura yakin. “Benar, Bu.”

Rima mendengus pelan. “Jangan panggil aku ibu. Aku bukan ibumu. Panggil aku Nyonya. Karena kau makan, tidur, dan hidup menumpang di rumahku.”

Tenggorokan Kevia tercekat. Ia segera mengangguk. “Baik… Nyonya.”

“Kemarikan uang itu,” perintah Rima, telapak tangannya terulur ke arah Kevia.

Kevia tersentak. “N-nyonya, saya… saya sudah bilang ini bukan uang sa—”

“Aku tak mau tahu!” potong Rima cepat, suaranya meninggi. “Kemarikan!”

Dengan panik, Kevia menggenggam erat lembaran uang itu, lalu menyembunyikannya di balik punggung. “Jangan, Nyonya. Ini bukan milik saya.”

Tatapan Rima menyala dingin. “Kau berani melawan, hah?!”

“Tidak… bukan begitu…” suara Kevia bergetar.

“Kalau begitu berikan!” desis Rima tajam. “Atau ibumu—”

“Jangan!” seru Kevia, matanya langsung berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak. Ia tak rela uang pemberian pria yang telah menyelamatkan nyawanya jatuh ke tangan Rima. Tapi ia juga tak mau ibunya disakiti. Perlahan, dengan tangan gemetar, ia mulai mengulurkannya.

Namun, sebelum Rima sempat meraih, suara berat menghentikan tangannya.

“Kenapa kau meminta uang yang bukan milikmu, Rima? Meminta dari anak kecil yang bahkan ayahnya saja tak kau gaji. Kami sudah patuh padamu… kenapa masih harus kau tindas?”

Rima terperanjat. "Sial! Kenapa dia ada di sini?" batinnya kesal.

Namun sebelum Rima membuka mulut, suara itu terdengar.

“Bu Rima, Pak Ardi, kok ngobrol di jalan? Ada masalah?” suara ramah itu kini jelas, milik Pak RT yang berdiri tak jauh dari mereka.

Rima tersenyum kaku, buru-buru menepis. “Ah, nggak apa-apa, Pak. Hanya… urusan kecil.”

“Oh, saya kira ada apa.” Pak RT mengangguk ringan, lalu melenggang pergi.

Begitu punggungnya menghilang di tikungan, wajah Rima kembali berubah. Tatapannya menyalak tajam menusuk Kevia. “Cepat masuk! Kerjakan tugasmu. Kalau aku lihat kau malas-malasan sedikit saja… ibumu—”

“Saya akan segera mengerjakannya!” potong Kevia cepat, menunduk dalam. Suaranya terdengar patuh, meski hatinya menolak keras. Ia tak berani menambah bara, tak ingin satu kata pun berbalik menyakiti ayah dan ibunya.

Dengan langkah berat, Kevia bergegas masuk, tangannya mengepal di saku seragam, menggenggam erat uang itu.

Ardi menyusul dari belakang, wajahnya menahan amarah, meninggalkan Rima berdiri sendirian.

Rima mengepalkan tangan, wajahnya merah padam. Rahangnya mengeras. “Sialan!” desisnya rendah, penuh dendam.

***

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan.

Rima tetap tak mengizinkan Ardi bertemu Kemala, bahkan sekejap pun. Kemala terkurung di kamar, bagai burung yang dipatahkan sayapnya. Ardi hanya bisa mencuri pandang dari kejauhan, sekadar memastikan istrinya masih ada.

Sementara itu, Kevia dipaksa mengurus pekerjaan rumah. Dari jauh, ia kerap melihat ayahnya duduk di meja makan bersama Rima dan Riri, keluarga tirinya yang palsu.

"Dulu… kami makan bersama. Meski di lantai, hanya beralas tikar tipis yang usang, dengan lauk sederhana. Tapi aku bahagia."

Kenangan itu menyesak di dadanya, membuat air mata tanpa sadar jatuh menuruni pipinya. Kevia buru-buru menghapusnya.

"Tidak. Aku gak boleh sedih. Aku harus kuat. Tak apa… asalkan aku masih bisa makan bersama ibu," gumamnya dalam hati.

Dari meja makan, Ardi menangkap sekilas bayangan putrinya lewat. Napasnya tercekat. Makanan lezat di piringnya seketika terasa seperti tumpukan jarum yang menusuk tenggorokannya. Ia menelan paksa, tapi rasa perih lebih kuat dari rasa daging di lidahnya.

"Apakah Kemala dan Kevia makan makanan yang layak? Atau hanya menahan lapar di kamar yang terkunci?"

Hatinya diremas.

"Sampai kapan kami harus terus menjadi boneka di tangan Rima?" batinnya menjerit, tapi bibirnya tetap terkatup rapat.

Kevia membuka buku hariannya dengan hati-hati, seakan benda itu satu-satunya sahabat yang tersisa. Dari lipatan halaman usang, ia mengeluarkan selembar uang yang sudah mulai kusut. Uang pemberian pria asing yang pernah menyelamatkan nyawanya.

Ia menatapnya lama.

“Entah kenapa… aku ingin bertemu Om itu lagi,” bisiknya lirih, seolah buku harian bisa mendengar.

Uang itu tak pernah ia belanjakan, baginya benda itu lebih berharga dari sekadar nominal. Itu pengingat bahwa masih ada orang di luar sana yang peduli padanya.

Apalagi sejak tinggal di rumah ini, Kevia merasa kehilangan sosok seorang ayah. Meski berada di bawah satu atap, Rima selalu melarangnya untuk dekat dengan Ardi. Ia hanya bisa menatap sosok ayahnya dari kejauhan, seolah ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka.

Karena itu, kehadiran pria asing yang singgah sebentar saja terasa begitu berarti. Perhatian dan kehangatannya seakan mengobati kerinduan Kevia pada ayah yang hanya bisa ia pandang dari jauh.

***

Tiga tahun kemudian…

Malam itu meja makan terasa dingin, meski lampu gantung memancarkan cahaya keemasan. Riri meletakkan sendoknya sedikit keras, lalu menatap ibunya penuh semangat.

“Bu, aku ingin jadi artis. Aku ingin masuk sanggar,” ucapnya tanpa ragu.

Rima mengernyit, terkejut dengan keinginan tiba-tiba putrinya. “Kenapa mendadak ingin jadi artis?” tanyanya, suaranya penuh selidik.

Ardi hanya terdiam. Kepalanya tetap tertunduk, menyuap makanan yang terasa hambar, seolah pasir yang menggumpal di mulutnya. Setiap kali menelan, ada perih yang tak terjelaskan, seperti duri yang tersangkut di tenggorokan. Sebab, tiap suapan selalu membawanya pada bayangan anak dan istrinya, membuatnya bertanya, apa yang mereka makan dengan baik.

Riri mendesah kasar, lalu menyandarkan punggung ke kursi. “Aku malas berurusan dengan soal-soal akademik yang membosankan. Dunia hiburan pasti lebih menyenangkan.”

Rima mengamati putrinya, tak langsung menjawab. Di seberang ruangan, Kevia berdiri diam di balik pintu, tak berani masuk, hanya bisa mendengar percakapan itu dari jauh.

Selama ini, Riri memang sudah berusaha memanfaatkan otak Kevia yang cerdas untuk menyelamatkan nilai akademiknya. Tugas-tugas sekolah, pekerjaan rumah, bahkan PR mendadak, semua selalu Kevia yang mengerjakan. Nilai ulangannya terbantu karenanya. Tapi setiap kali ulangan di kelas, saat duduk jauh dari Kevia, Riri tak berkutik. Apalagi ketika dipanggil maju ke papan tulis, kebodohannya terbuka lebar.

Meski begitu, Rima tetap membiarkan Kevia bersekolah. Bukan karena peduli pada masa depan anak itu, melainkan karena Kevia adalah penyelamat nilai Riri. Tanpa Kevia, reputasi Riri akan hancur.

Rima tersenyum lebar, matanya berbinar menatap putrinya.

“Kalau itu memang yang kau mau, Ibu akan dukung. Kau cantik, Riri… siapa tahu nasibmu jadi artis terkenal. Kalau sudah begitu, keluarga kita pun ikut terangkat namanya.”

Ucapan itu membuat dada Riri mengembang. Senyum puas merekah di bibirnya, seolah seluruh dunia sudah memberi jalan. Dukungan sang ibu bagai tiket emas menuju panggung yang selama ini ia bayangkan.

Namun, dari sudut ruangan, Ardi hanya menatap dengan mata dingin. Hatinya berdesis getir.

"Cantik, ya. Tapi apa cukup hanya dengan tampang? Jadi artis bukan sekadar dipotret atau dipuja di layar. Mereka harus punya otak yang luwes, lidah yang cekatan, ingatan yang kuat untuk melahap skrip berlembar-lembar. Apa dia sanggup? Atau hanya mimpi kosong yang kelak menjatuhkannya sendiri?"

Bayangan Riri di depan kamera, tersendat-sendat membaca naskah, membuatnya ingin terbahak. Namun, tawa itu ia telan bulat-bulat. Bibirnya tetap rapat, hanya sedikit melengkung sinis.

"Kalau memang cuma mau jadi foto model, mungkin masih bisa. Tapi artis? Hah… kalian berdua ini tak tahu apa-apa. Dua iblis yang haus sorot lampu, tak sadar panggung itu tak semudah yang dibayangkan."

Ardi menunduk, meneguk sisa minumnya. Ia tahu, satu kata saja keluar dari mulutnya, amarah Rima dan Riri bisa meledak seketika. Maka ia memilih diam, meski di dalam kepalanya, ia sudah menertawakan mereka berulang kali.

...🌸❤️🌸...

Next chapter...

“Ak—!” seru Kevia terhuyung. Buku catatan yang ia pegang terlepas, terjatuh tepat di hadapan sepasang sepatu putih yang berhenti di depannya.

Kevia mendongak. Seorang pemuda tampan berdiri, membungkuk mengambil bukunya. Senyumnya tipis, menawan.

“Ini punyamu?” suaranya rendah tapi jernih, membuat Kevia refleks terpaku.

To be continued

1
Marsiyah Minardi
Ya ampun kapan kamu sadar diri Riri, masih bocil otaknya kriminil banget
septiana
dasar Riri mau lari dari tanggungjawab,tak semudah itu. sekarang ga ada lagi yg percaya sama kamu setelah kejadian ini.
naifa Al Adlin
yap begitu lah kejahatan tetep akan kembali pada yg melakukan kejahatan. bagaimanapun caranya,,, keren kevin,,,
asih
oh berarti Kevin Diam Diam merekam ya
Puji Hastuti
Riri lagu lama itu
Hanima
siram air comberan sj 🤭🤭
Anitha Ramto
bagus hasih CCTVnya sangat jelas dua anak ular berbisa pelakunya,dan sangat puas dengan lihat mereka berdua di hukum,Kevia merasa lega kalo dirinya jelas tidak bersalah...,Kevin tersenyum bangga karena telah menyelamatkan Kevia dan membuktikan kepada semua siswa/wi dan para guru jika Kevia bukanlah pelakunya hanya kirban fitnah dan bully...

tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
Siti Jumiati
kalau pingsan dimasukkan aja ke kelas yang bau tadi biar cepat sadar...

rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu

makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.

semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Dek Sri
lanjut
abimasta
kevin jadi pwnyelamat kevia
abimasta
semangat berkarya thor
mery harwati
Cakep 👍 menolong tanpa harus tampil paling depan ya Kevin 👏
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Marsiyah Minardi
Saat CCTV benar benar berfungsi semoga kebenaran bisa ditegakkan ya Kevia
anonim
Kevin diam-diam menemui wali kelas - melaporkan dan minta tolong untuk menyelidiki tentang Kevia yang di tuduh mencuri uang kas bendahara. Kevin yakin Kevia tidak melakukannya dan meminta untuk memperhatikan Riri dan Ani yang selalu mencari masalah dengan Kevia.
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
anonim
Bisa kebayang bagaimana hati dan perasaan Kevia saat dituduh mencuri uang kas dengan bukti yang sangat jelas - uang kas tersebut ada di dalam tasnya. Semua teman-teman percaya - tapi sepertinya Kevin tidak.
Siti Jumiati
ah kak Nana makasih... kak Nana kereeeeeeeen.... semoga setelah ini gk ada lagi yang jahatin kevia kalaupun ada semoga selalu ada yang menolong.
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
asih
aku padamu Kevin mau gak jadi mantuku 🤣🤣😂
Puji Hastuti
Goodjoob Kevin
Anitha Ramto
bacanya sampai tegang ya Alloh Kevia😭kamu benar² di putnah dan di permalukan kamu anak yang kuat dan tinggi kesabaran,,insyaAlloh dari hasil CCTV kamu adalah pemenangnya dan terbukti tidak bersalah,berharap si dua iblis itu mendapatkan hukuman yang setimpal,balik permalukan lagi,,

Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...

sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
tse
ah keren sekali gebrakanmu Kevin...
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....
Suanti: ani dan riri harus hukum setimpalnya jgn di beda kan hukaman nya karna ank org kaya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!