Camelia Sasongko punya segalanya, rumah megah, dan hidup yang tampak sempurna di mata siapa pun. Tapi di balik gemerlap itu, ia menyimpan kesepian yang tak bisa dibeli dengan apa pun.
Hingga sebuah pertemuan lewat aplikasi dating menghadirkan sosok asing yang perlahan memberi warna dalam hidupnya. Lelaki itu hadir tanpa nama besar, tanpa latar belakang yang jelas, tapi bisa membuat Camelia merasa, di anggap.
Tanpa ia tahu, ada seseorang yang telah lebih dulu menaruh perhatian, Girisena Pramudito, dosen muda yang dikenal perfeksionis dan karismatik. Dalam diam, ia menyimpan rasa, menyaksikan Camelia dari jauh, dan tak pernah punya keberanian untuk mendekat.
Saat dua dunia mulai bersinggungan, yang nyata dan yang hanya lewat layar, Camelia harus memilih, pada siapa hatinya benar-benar ingin bersandar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luckygurl_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Laurent Sévigné.
Suasana kampus Universitas Avanya pagi itu cukup ramai. Mahasiswa lalu-lalang di koridor, sebagian sibuk membuka catatan sambil berjalan, lainnya memilih duduk di tangga untuk menyelesaikan tugas yang belum rampung.
Camelia melangkah dengan langkah tenang, sesekali menyibakkan helaian rambut yang tertiup angin. Pagi ini, ia mengenakan dress selutut berwarna pink soft dengan cardigan yang senada, dipadukan dengan tote bag kanvas yang ia selempangkan di bahu.
“Mel!” seru suara akrab dari arah kanan.
Camelia menoleh. Giovani, dengan rambut acak-acakan dan jaket jeans favoritnya, berlari kecil menghampiri sambil menenteng sketchbook dan pulpen.
“Baru datang juga?” tanyanya, tersenyum lebar.
Camelia mengangguk. “Iya. Kamu udah ngerjain tugas Studio Fashion kemarin?”
Giovani mendesah, wajahnya langsung berubah murung. “Baru separuh. Aku bingung bagian proporsinya, kayaknya proporsi tubuh manekin buat desainku malah kelihatan kayak alien,”
Camelia terkekeh. “Kamu sih, suka mepet-mepet waktunya,”
“Makanya, aku berharap bisa duduk di sebelah kamu hari ini. Biar bisa nyontek,” bisiknya.
“Ck! Gio!” Camelia menoleh cepat, lalu mengerutkan alis.
“Bercanda… bercanda,” jawabnya cepat sambil tertawa kecil. “Aku cuma pengen kita duduk bareng aja, udah lama nggak satu barisan.”
Mereka pun masuk kelas bersama, duduk di pojok belakang seperti biasa. Camelia membuka laptop dan mengeluarkan sketch-nya, sementara Giovani duduk di sampingnya, terlihat lega bisa menghindari dosen galak yang sering mondar-mandir mengecek progress mahasiswanya satu per satu.
Namun, dari kejauhan, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka sejak mereka memasuki ruangan.
Girisena Pramudito, dengan setelan semi-formalnya, baru saja tiba di kampus. Ia berdiri di balik dinding kaca ruang dosen lantai dua, menatap ke bawah ke aula studio kelas desain.
Pandangan matanya menajam saat melihat Camelia melangkah masuk ke kelas bersama Giovani, dan lebih dari itu, tertawa bersama.
Sena lalu mengalihkan pandangannya ke arah berkas-berkas di tangannya. Jadi, Giovani lagi. pikirnya. Ia menelan ludah pelan, bukan karena cemburu—ia enggan mengakuinya—tapi karena untuk pertama kalinya sejak pagi tadi, rasa percaya dirinya sedikit bergeser.
Di sisi lain, Camelia sedang menunjukkan hasil sketsa pakaiannya pada Giovani.
“Menurutmu yang mana yang lebih pas buat tema Avant-Garde? Yang ini, atau yang lebih banyak layer?”
Giovani menatap dua desain di layar, mengerutkan kening lalu menunjuk. “Yang kiri, lebih berani.”
Camelia mengangguk. “Kupikir juga begitu. Tapi, bagian bahunya agak terlalu tinggi, ya?”
“Sedikit, tapi itu bisa kamu adjust. Gaya kamu tetap kerasa, kok.”
Di saat dua kepala itu hampir bersandar terlalu dekat satu sama lain, seseorang dari balik kaca ruang dosen menggenggam pulpennya sedikit lebih kencang.
......................
Suara riuh para mahasiswa menggema nyaring di seluruh lorong lantai tiga Gedung B. Mahasiswa mulai memasuki ruang kelas bertuliskan 'DKV 314 – Etika & Estetika Visual / Dosen: Girisena Pramudito.'
Camelia duduk di baris ketiga dari belakang, posisi favoritnya jika ingin tetap fokus tanpa terlalu menonjol. Hari ini, Giovani tak bisa ikut kelas teori—ia izin ke studio seni patung untuk menyelesaikan tugas. Tapi bagi Camelia, duduk sendiri bukan hal baru.
Tak lama, pintu kelas terbuka. Suasana mendadak hening. Sena masuk dengan langkah teratur, namun gerakannya tampak lebih berat dari biasanya. Tak ada sapaan seperti biasa, tak juga senyum tipis khasnya. Hanya anggukan kecil kepada mahasiswa yang menoleh ke arahnya.
Camelia menoleh sejenak, ada yang berbeda. Tatapan pria itu lebih tajam, gesturnya lebih kaku, dan aura di sekelilingnya terasa seperti sedang menahan sesuatu.
“Selamat sore,” ucap Sena singkat, lalu meletakkan laptop dan map sketsa di meja dosen. “Langsung saja. Hari ini kita masuk ke topik, Representasi Simbol dalam Visual Avant-Garde dan bagaimana konsep etika bermain di dalamnya.”
Suara pena mulai menari di atas kertas. Camelia sudah membuka file tugasnya lebih awal, ia menyimak.
Namun baru beberapa menit menjelaskan, mendadak Sena meletakkan spidol ke meja. Tatapannya berpindah ke arah bangku belakang.
“Camelia.”
Camelia mengangkat kepala. “Ya, Pak?”
Sena menyilangkan tangan di depan dada. “Dalam konteks kritis, bagaimana hubungan antara simbol tubuh dalam karya avant-garde dan persepsi moral masyarakat umum?”
Beberapa mahasiswa menoleh. Tak biasanya Sena langsung menunjuk—apalagi dengan pertanyaan yang cukup berat.
Camelia menarik napas kecil, lalu menjawab tenang, “Simbol tubuh dalam visual avant-garde sering digunakan untuk menabrak batas norma sosial dan menantang interpretasi publik. Dalam masyarakat konservatif, ini kerap dianggap vulgar atau provokatif. Tapi dari perspektif kreator, itu justru kritik terhadap sempitnya standar moral. Jadi persepsinya sangat bergantung pada latar belakang audiens.”
Beberapa mahasiswa mengangguk, bahkan mulai mencatat ulang jawabannya. Sena masih menatapnya lekat.
“Bagus,” katanya. Tapi ekspresinya tidak mencerminkan kekaguman—lebih seperti seseorang yang sedang menahan perasaan yang meletup.
“Kalau begitu, menurutmu, di mana posisi etika seorang visual artist ketika ia sadar bahwa karyanya akan menimbulkan kontroversi?” lanjutnya.
Camelia kembali berpikir cepat. Kali ini, ia merasa nada suara Sena menyimpan makna yang lebih personal. Bukan sekadar soal teori seni.
“Etika ada pada kesadaran—bahwa setiap karya punya dampak. Tapi bukan berarti si kreator harus berhenti berkarya karena takut salah tafsir. Etika bukan hanya tentang mencegah kontroversi, tapi tentang memahami dan bertanggung jawab atas konsekuensinya.”
Sena terdiam. Matanya masih menusuk, seperti ingin membaca lebih dari jawaban itu. Sedangkan Camelia tetap tenang, meski hatinya sedikit bergetar. Tentang pagi tadi dan tentang batasan yang sempat mereka langgar.
Tak lama, Sena menutup map sketsanya. “Baik, kelas cukup sampai sini. Minggu depan presentasi kelompok, materinya sudah saya unggah di e-Learning. Silahkan dibaca. Terima kasih.”
Camelia segera merapikan laptop dan buku catatannya. Ada sedikit rasa menyesal, bukan karena argumennya, tapi karena tatapan Sena yang berbeda dari biasanya. Bukan lagi dosen tegas yang mencintai prinsip, melainkan pria yang terlihat kecewa.
Saat ia melangkah keluar kelas, Camelia sempat menoleh kembali ke meja dosen. Sena masih duduk di sana, menatap meja kosong di hadapannya. Seperti seseorang yang baru saja kalah dalam perang batin yang ia mulai sendiri.
......................
Ruang kelas perlahan kosong. Suara langkah kaki mahasiswa yang baru keluar masih terdengar samar dari koridor. Tapi Sena tetap duduk di kursinya, menatap map yang kini tak lagi ia sentuh, sedangkan tangannya terkepal di atas meja. Ia lalu memejamkan mata sebentar.
Sial! Kenapa aku malah begini?
Tadi bukan sekadar pertanyaan akademik. Kalimat-kalimatnya menyerempet personal dan saat Camelia menjawab—tenang, jelas, cerdas—itu justru membuatnya semakin merasa jauh.
Camelia terlalu jernih, kuat dan terlalu cepat memasang batas setelah pagi tadi.
“Aku salah langkah, ya.” gumamnya pelan.
Sena menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, mengusap wajahnya yang mulai memanas. Ia bukan pria yang baru pertama kali jatuh cinta. Tapi kenapa rasanya seperti ditolak dunia?
Padahal, ia hanya ingin memberi perhatian kecil. Tapi perhatiannya malah dianggap sebagai pelanggaran. Mungkin, memang seperti itu adanya.
Mereka hidup di dua dunia yang berbeda. Camelia adalah mahasiswa, sementara ia dosennya. Tak peduli seberapa besar rasa yang tumbuh, tetap ada tembok yang tak boleh ia lewati. Bodohnya, ia tetap menoleh ke tembok itu dan berharap bisa memanjatnya.
Di sisi lain, langkah Camelia terdengar pelan menuruni tangga kampus. Ia menggenggam map tugas di tangannya erat-erat, padahal isinya hanya print out rubrik penilaian. Bukan karena gugup, tapi karena ia mencoba menahan sesuatu di dalam dirinya.
Sena hari ini, berbeda. Kalimat-kalimatnya menusuk, bukan karena sulit, tapi karena terasa seperti teguran. Seperti ada pesan tersembunyi yang hanya mereka berdua yang mengerti.
Camelia menangkap semuanya. Apa dia marah karena aku tadi ngusir dia? pikirnya.
Tapi bukankah ia sudah menjelaskan sejak awal? Ia tidak bisa membuka ruang untuk siapapun sekarang. Apalagi untuk seseorang yang seharusnya berdiri di depannya sebagai pengajar, bukan sebagai laki-laki yang tengah jatuh cinta.
Camelia berjalan menuju taman belakang kampus, tempatnya biasa menenangkan diri setelah kelas yang berat.
Saat duduk di bangku yang menghadap kolam kecil, pikirannya melayang pada pagi tadi, pada jaket yang salah, pada tatapan Sena yang sayu dan terutama pada caranya menyebut namanya di kelas tadi.
'Camelia.'
Suara itu terlalu personal.
Camelia tahu perasaannya sendiri mulai bergejolak. Ia memang belum siap. Tapi, bukan berarti ia tidak merasakan apa-apa. Ia hanya belum tahu bagaimana cara menanganinya. Belum tahu, apakah perasaan itu akan menjadi rumah, atau justru jebakan.
......................
Langit mulai meremang. Sinar matahari sore menyelinap di antara dedaunan pohon trembesi yang berjajar di sepanjang taman belakang kampus. Camelia masih duduk di bangku yang sama, menatap permukaan kolam kecil yang memantulkan warna langit jingga. Hening dan tenang, namun dadanya masih penuh riuh yang sulit diredam.
“Mel!”
Suara familier itu membuat Camelia menoleh cepat. Giovani melangkah santai ke arahnya, masih mengenakan tote bag hitam bertuliskan nama studio tempatnya biasa praktik. Senyumnya lebar seperti biasa, hangat dan tak pernah gagal membuat suasana jadi lebih ringan.
“Kelas selesai lebih cepat?” tanya Camelia, mencoba terdengar normal.
“Lagi sepi, aku kabur duluan,” jawab Giovani sambil terkekeh kecil. “Eh, kamu nggak pulang? Mau aku anterin sekalian?”
Camelia baru saja akan membuka suara ketika—
“Maaf,” sebuah suara lain muncul dari arah belakang mereka.
Giovani dan Camelia sama-sama menoleh. Berdiri tak jauh dari mereka, Girisena Pramudito—dengan kemeja yang lengannya sudah tergulung hingga siku—melangkah mendekat perlahan. Wajahnya tenang, nyaris tanpa ekspresi, hanya nada bicaranya yang terdengar formal.
“Camelia masih ada keperluan dengan saya,” ucap Sena, matanya menatap Giovani. “Beberapa hal terkait portofolio dan evaluasi tugas mingguan. Saya sudah janjian untuk membahasnya sebentar.”
“Oh, begitu?” Giovani mengerutkan dahi tipis, namun tidak terlihat curiga. “Kupikir hari ini sudah selesai.”
“Seharusnya begitu,” timpal Sena cepat, “tapi ada beberapa catatan tambahan yang baru saya evaluasi siang tadi. Lebih baik disampaikan langsung agar tidak menumpuk.”
Camelia menelan ludah. Ia tahu alasan itu hanya sepersekian dari kenyataan yang sebenarnya. Tapi ia juga tidak bisa menolak. Kalau ia menolak sekarang, jelas-jelas akan menimbulkan tanda tanya. Maka, ia tersenyum kecil, sopan, lalu menoleh ke Giovani.
“Nggak apa-apa, Gio. Mungkin cuma sebentar. Kamu pulang duluan aja, ya?”
Giovani mengangguk dengan sedikit ragu. “Oke, ya udah. Tapi jangan lupa istirahat. Jangan terlalu serius juga.”
Camelia tersenyum, pura-pura tenang. “Iya, makasih.”
Begitu Giovani berbalik dan perlahan menghilang di antara jalan setapak taman, Camelia langsung menghembuskan napas panjang. Ia memutar tubuhnya, menghadapkan diri pada Sena dengan ekspresi datar.
“Pak, saya mohon, jangan terus-terusan bersikap seperti ini!”
Sena tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Camelia beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan, “Saya juga bingung kenapa saya seperti ini, Mel.”
Camelia memejamkan mata sebentar. Lalu berjalan pelan, menyusuri jalan setapak, membiarkan langkah Sena mengikuti di belakangnya.
"Sebentar aja. Ke ruangan saya," ucap Sena tiba-tiba, langkahnya menyusul pelan di belakang Camelia.
Camelia menghentikan langkah, menoleh setengah malas. "Mau apa, Pak?"
Sena tak menjawab langsung. Ia sekadar mengangkat alis. “Makanya ikut, biar kita bisa ngobrol lebih leluasa. Kamu mau ada gosip lagi setelah ini?”
Nada suara pria itu terdengar santai, tapi ada tekanan halus yang membuat Camelia tak bisa serta-merta menolak. Jelas, berjalan bersamanya saja sudah cukup untuk jadi bahan bisik-bisik. Tapi, menolak sekarang, hanya akan memperpanjang kecurigaan.
Camelia akhirnya melanjutkan langkah. “Iya udah ayo, tapi cepat,”
Sena mengangguk singkat, membiarkan gadis itu berjalan sedikit lebih dulu. “Iya.”
Sesampainya di ruangan, Sena berjalan lebih dulu, membuka pintu dan menahan daun pintunya agar Camelia bisa masuk lebih dulu. Tak ada sapaan basa-basi, hanya keheningan yang menguar bersama ketegangan tipis di udara.
"Silahkan duduk," ujar Sena, menunjuk sofa tamu di dekat jendela besar yang menghadap taman kecil kampus.
Tanpa banyak kata, Camelia duduk. Sikapnya sopan, tangannya terlipat di pangkuan. Bahkan cara ia menyandarkan punggung pun tampak ragu, antara ingin bersandar atau tetap tegak menjaga jarak.
Sena, berdiri sejenak di dekat mejanya sebelum akhirnya berkata, "Mel, maaf."
Dan entah kenapa, ucapan itu justru membuat Camelia ingin menghela napas lebih panjang lagi. Maaf, lagi? batinnya lelah. Ia menoleh. “Iya, iya. Jadi ada apa, Pak?”
Sena menaikkan alisnya.“Mas, Mel. Kita cuma berdua, loh,” ujarnya, mencoba melembutkan suasana dengan nada akrab.
Camelia menatapnya malas. Tapi daripada membuang waktu memperdebatkan satu kata, akhirnya ia mengalah. “Iya, Mas. Jadi ada apa?”
Sena tersenyum kecil, dan tak bisa disembunyikan rona merah muda yang perlahan merayap di wajahnya, karena senang Camelia menuruti keinginannya, dan suara gadis itu terasa lebih dekat.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Sena melangkah pelan ke sofa seberang dan duduk. Ia mengambil sesuatu dari atas meja—dua lembar tiket berwarna krem yang tampak elegan. Dengan gerakan tenang, ia menyodorkan satu lembar ke arah Camelia.
Camelia menatap tiket itu tanpa menyentuhnya. “Apa ini?”
Sena menatapnya. “Pameran fashion dan seni. Kuratornya dosen luar negeri yang kamu suka itu, Laurent Sévigné. Kamu pernah cerita di kelas, ingat?”
Camelia mengerjap. Ia ingat, tapi ia juga tak menyangka Sena akan memperhatikannya sampai sedetail itu. “Ini... buat ku?” tanyanya, masih ragu.
Sena mengangguk. “Kamu bisa belajar banyak di sana. Itu acara terbatas, mostly undangan. Aku dapat jatah dua tiket, dan aku pikir... kamu yang paling cocok buat nemenin aku ke sana.”
Camelia masih diam. Ia belum tahu harus merasa tersentuh atau justru cemas.
Sena tersenyum, lalu menambahkan, “Bukan kencan. Kalau kamu takut ada gosip lagi, anggap saja ini urusan akademik.”
Camelia akhirnya mengambil tiket itu, jari-jarinya menyentuh tangan Sena sejenak—cukup singkat untuk disebut tak sengaja, tapi cukup lama untuk menyisakan degup yang tak bisa dijelaskan.
“Baik. Terima kasih... Mas,” ucapnya pelan.
Sena menunduk ringan. “Sama-sama.”
Camelia memandangi tiket di tangannya dengan tatapan yang sulit dijabarkan. Kertas elegan berwarna krem itu terasa lebih berat dari seharusnya. Bukan karena bobotnya, tapi karena makna yang diam-diam dibungkus rapi di baliknya.
Ia tahu betul acara ini. Pameran eksklusif yang hanya dihadiri kurator, seniman, dan akademisi papan atas. Undangan untuk mahasiswa biasa seperti dirinya? Hampir mustahil. Bahkan para dosen pun harus melalui jalur koneksi atau kurasi ketat untuk bisa masuk ke dalam daftar tamu. Tiket ini bukan sembarang tiket.
Sena… bagaimana bisa dia sampai dapatkan ini? Dan... kenapa diberikan padaku?
Pertanyaan itu berputar-putar di kepala Camelia saat ia diam terpaku, masih duduk di sofa ruang dosen yang dingin dan sunyi. Di seberangnya, Sena sibuk merapikan beberapa dokumen, pura-pura tak peduli, padahal diam-diam ia mencuri pandang ke arah gadis itu. Menanti reaksi, atau setidaknya, satu tanda bahwa ia tidak ditolak mentah-mentah.
Camelia tahu Sena bukan tipe yang asal memberi. Apalagi untuk hal seperti ini. Tidak ada keuntungan akademik langsung yang bisa diambil. Tidak juga prestise yang harus dikejar.
Semua ini hanya karena dia dan disitulah letak masalahnya.
Sebab, semakin Camelia menyadari usaha yang dilakukan Sena, semakin hatinya goyah. Sena bukan lagi hanya seorang dosen di matanya—bukan hanya pria dengan jas hitam dan suara tenang yang membedah estetika di balik warna dan bentuk. Sena sedang menunjukkan sisi lain. Sisi yang lebih pribadi, lebih tulus.
Namun justru karena itulah Camelia merasa tak nyaman. Bukan karena ia tidak tersentuh. Tapi karena ia tidak siap. Hatinya seperti rumah yang belum selesai direnovasi—masih penuh reruntuhan masa lalu dan perabot rapuh yang sewaktu-waktu bisa runtuh hanya karena satu kalimat lembut.
Dan kini, Sena datang membawa tiket yang secara simbolik, seperti mengetuk pintu hatinya dan berkata, “Boleh aku masuk?”
Camelia menggenggam tiket itu erat. Ia belum tahu akan menjawab apa. Tapi satu hal yang pasti, malam di pameran itu nanti, tidak akan menjadi malam yang biasa. Karena untuk pertama kalinya, ia benar-benar ingin tahu, sejauh mana seorang Girisena Pramudito akan melangkah untuk menyentuh hatinya.