Kinanti, seorang dokter anak yang cerdas dan lembut, percaya bahwa pernikahannya dengan David, dokter umum yang telah mendampinginya sejak masa koass itu akan berjalan langgeng. Namun, kepercayaan itu hancur perlahan ketika David dikirim ke daerah bencana longsor di kaki Gunung Semeru.
Di sana, David justru menjalin hubungan dengan Naura, adik ipar Kinanti, dokter umum baru yang awalnya hanya mencari bimbingan. Tanpa disadari, hubungan profesional berubah menjadi perselingkuhan yang membara, dan kebohongan mereka terus terjaga hingga Naura dinyatakan hamil.
Namun, Kinanti bukan wanita lemah. Ia akhirnya mencium aroma perselingkuhan itu. Ia menyimpan semua bukti dan luka dalam diam, hingga pada titik ia memilih bangkit, bukan menangis.
Di saat badai melanda rumah tangganya datanglah sosok dr. Rangga Mahardika, pemilik rumah sakit tempat Kinanti bekerja. Pribadi matang dan bijak itu telah lama memperhatikannya. Akankah Kinanti memilih bertahan dari pernikahan atau melepas pernikahan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isti arisandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernikahan dipercepat
Suara deru mesin mobil Yusuf berpadu dengan desir angin yang menyusup lewat celah jendela.
Jalan raya di depan terbentang lebar, dihiasi pepohonan yang berbaris rapi di tepiannya. Sejak tadi, wajahnya terus memantulkan senyum yang tak bisa hilang.
Ada rasa bahagia yang menekan dadanya dari dalam, bahagia sampai rasanya ingin berteriak ke seluruh dunia.
Ponselnya yang tersambung ke sistem audio mobil bergetar. Yusuf menekan tombol di setir untuk mengangkatnya.
“Halo, Bu?” suaranya terdengar riang.
“Yusuf, kamu sudah di jalan?” tanya suara ibunya.
“Sudah, Bu. Oh iya, ada kabar gembira banget. Naura… dia sudah siap menikah dengan Yusuf Bu.” Kata-kata itu meluncur begitu saja, penuh rasa syukur dan keharuan.
Sejenak di ujung telepon terdengar seruan kecil, disusul suara tertawa bahagia. “Masya Allah… beneran ini, Nak? Ya Allah, Ibu sampai merinding dengarnya. Akhirnya doa kamu terkabul.”
Yusuf tertawa kecil. “Iya, Bu. Jadi, aku minta tolong, kita segera tentukan hari dan tanggal baiknya. Kalau bisa jangan terlalu lama.”
Kakak perempuannya, Sari yang rupanya ikut berada di dekat ibu, langsung memotong, “Eh, kalau nggak salah minggu depan itu tanggalnya bagus, ada hari baik buat akad. Aku lihat di kalender Jawa kemarin. Kebetulan juga semua keluarga kita bisa kumpul.”
“Minggu depan?” Yusuf sempat terdiam, lalu matanya berbinar. “Pas banget. Aku juga pengennya segera. Naura juga nggak mau berlama-lama, yang penting akad dulu, resepsi bisa nyusul.”
"Kamu udah kebelet ya dek? Atau jangan jangan pacar kamu hamil ya?"
"Mbak Sari ngaco banget, aku tahu batasan orang pacaran Mbak, aku juga takut dosa."
Suara bapaknya kemudian ikut masuk ke percakapan. “Kalau begitu, Umi sama Bapak nanti hubungi keluarga pihak perempuan. Kita bicarakan tanggal itu, semoga cocok.”
“Siap, Pak. Terima kasih semuanya. Doain Yusuf lancar ya,” ucap Yusuf penuh rasa haru.
Percakapan itu berakhir, tapi gema bahagia masih memenuhi hatinya. Mobil terus melaju melewati deretan ruko dan taman kota, sementara pikirannya melayang-layang membayangkan hari pernikahan.
Gaun putih yang akan dikenakan Naura, senyum manisnya, genggaman tangan di hadapan penghulu—semua itu membuat jantung Yusuf berdegup kencang.
Parkiran rumah sakit mulai terlihat dari kejauhan. Yusuf mengurangi kecepatan, lalu memutar setir untuk memasuki area tersebut. Ia melirik jam digital di dashboard, David biasanya sudah datang pagi-pagi sekali, tapi kali ini Yusuf sengaja ingin lebih dulu.
Begitu mobilnya terparkir, ia mematikan mesin dan keluar sambil menegakkan badan. Udara pagi masih segar, sedikit dingin.
Matanya menelusuri setiap kendaraan yang masuk, sampai akhirnya sebuah sedan hitam melaju masuk dan berhenti dua deret di sebelahnya.
David turun dari mobil dengan langkah tergesa. Yusuf tersenyum lebar, lalu berjalan cepat menghampirinya. “David!” panggilnya lantang.
David menoleh, sedikit terkejut tapi kemudian tersenyum. “Eh, pagi, Suf, kamu ngebut ya. Kok udah sampai duluan?”
Tanpa menjawab, Yusuf langsung meraih bahu David, lalu memeluknya erat. Pelukan itu begitu hangat, disertai tepukan di punggung.
“Sebentar lagi kamu beneran jadi abang ipar aku, Vid. Terima kasih ya… sudah menyatukan aku dengan gadis yang sangat aku sayangi.
Gadis cinta pertamaku.” Suaranya serak, mata Yusuf memerah. “Aku nggak nyangka Naura akhirnya menerima aku.”
David terkekeh, meski matanya ikut berkaca-kaca. “Iya, iya… aku juga seneng banget akhirnya kita jadi keluarga. Kamu nggak tahu aja, aku dari dulu pengen banget lihat kalian bersatu. Kalian cocok, Suf.”
Yusuf melepaskan pelukan, mengusap sedikit matanya yang basah. “Kamu nggak keberatan kan punya ipar kayak aku?”
“Keberatan? Enggak lah. Malah aku beruntung. Kita nanti sering kumpul, bisa jadi tim yang solid buat jaga Naura,” jawab David sambil menepuk bahu Yusuf.
Yusuf tertawa kecil. “Iya, setuju. Naura itu istimewa, Vid. Aku janji bakal jagain dia seumur hidupku.”
Mereka berjalan beriringan menuju pintu utama rumah sakit. Suasana pagi itu ramai, dengan pasien yang hilir-mudik, suara roda kursi pasien berderit, dan bau antiseptik yang khas menyambut di lorong depan.
David melirik jam tangannya. “Aku masuk dulu, Suf. Jadwal pagi ini padat. Aku harus keliling bangsal sebelum jam kunjungan dimulai.”
“Silakan, Vid. Nanti siang kalau sempat, kita makan bareng,” kata Yusuf.
David mengangguk, lalu mempercepat langkahnya menuju ruang dokter. Yusuf menatap punggung sahabat sekaligus calon iparnya itu dengan senyum yang tak kunjung pudar.
Sambil berjalan menuju kantin rumah sakit, Yusuf membuka ponselnya. Grup keluarga sudah ramai dengan obrolan soal persiapan pernikahan. Sari mengirim foto daftar tanggal baik, sementara Ibu sudah menanyakan menu katering yang disukai Yusuf dan Naura.
Yusuf mengetik balasan cepat:
“Minggu depan insya Allah pas, Bu. Aku percaya pilihan Ibu & Sari. Aku bakal bicara sama Naura nanti malam.”
Tak lama, notifikasi lain masuk, pesan dari Naura.
Naura: “Kamu udah sampai rumah sakit?”
Yusuf: “Udah. Aku sudah bicarakan dengan David. Dia juga seneng banget soal kabar kita.”
Naura: “Seneng dengarnya, jadi minggu depan ya kita nikahnya?”
Yusuf: “Iya, sayang. Minggu depan aku resmi jadi imam kamu.”
Naura hanya membalas dengan emoji hati, tapi itu cukup membuat dada Yusuf terasa hangat lagi.
Waktu berjalan cepat. David sudah selesai keliling bangsal, sementara Yusuf menunggu di taman rumah sakit. Pohon flamboyan yang sedang berbunga mewarnai halaman dengan kelopak merah yang jatuh tertiup angin.
David datang sambil membawa dua gelas kopi hangat. “Ini, buat kamu. Biar semangat.”
“Wah, terima kasih, Vid.” Yusuf menerimanya, lalu mereka duduk di bangku taman.
David memandang Yusuf serius. “Suf, aku mau ngomong sesuatu. Pernikahan itu nggak cuma soal cinta. Ada tanggung jawab besar di belakangnya. Naura itu adik yang aku sayangi banget, jadi aku titip dia sama kamu, jaga dia sebaik mungkin, jangan buat dia menangis.”
Yusuf menatap balik, tegas. “Aku ngerti, Vid. Aku janji nggak cuma mencintai dia, tapi juga menjaga, menghormati, dan memuliakan dia. Aku siap.”
David tersenyum tipis, lalu mengangkat gelas kopinya. “Kalau gitu, untuk awal yang baru. Semoga semua lancar.”
Mereka bersulang dengan kopi, menandai sebuah awal perjalanan yang akan mengikat mereka bukan hanya sebagai sahabat, tapi juga keluarga.
***
"Kamu yakin dek Minggu depan mau nikah?"
"Iya Mbak, semakin cepat Mbak pasti makin seneng."
"kamu ngomong apa sih dek? Kok Mbak yang seneng, yang seneng ya kamu lah, tahu nggak dulu sebelum Mbak menikah, Mbak itu nggak bisa tidur, kepikiran terus. Mbak gak nyangka ternyata menikah itu begitu indah. Mbak beruntung Mas David sayang banget sama Mbak, nggak macem-macem, setia juga. Aku yakin Yusuf juga pasti akan jagain kamu sebaik Mas David menjaga Mbak."