Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di tengah penyesalan yang terlambat..
Taman itu masih sama seperti dulu. Bangku kayu tempat Nayla biasa duduk sambil menikmati sore kini tampak sepi. Hanya dedaunan gugur dan suara angin yang setia menemani. Raka duduk di sana, diam membisu. Tangannya mengepal, matanya menatap nanar pada langit yang mulai berubah warna.
“Bodoh...” desisnya lirih, nyaris tak terdengar.
Hatinya terasa hancur saat mengingat semua yang telah terjadi. Wajah Nayla berkelebat dalam pikirannya—senyumnya, tawanya, tatapan hangatnya yang dulu selalu meneduhkan hari-harinya. Kini semua itu hanya tinggal kenangan. Kenangan yang menghantui setiap malam Raka, menjadi mimpi buruk yang tak kunjung usai.
Air matanya jatuh, tanpa bisa ia tahan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa kalah. Ia merasa gagal menjadi suami, gagal menjadi manusia.
"Kenapa aku biarkan semua ini terjadi? Kenapa aku gak cegah semuanya sejak awal?" gumamnya dengan suara pecah.
Ia teringat betapa Nayla selalu sabar, bahkan ketika rumah tangga mereka mulai retak karena kehadiran Tania. Ia teringat bagaimana Nayla tetap menyiapkan sarapan walau matanya bengkak karena menangis semalaman. Ia teringat betapa Nayla mencintainya—dengan seluruh luka yang ia timbulkan.
Dan kini... Nayla sedang mengandung anak mereka.
Sementara itu, jauh di sisi lain kota, Tania menangis di dalam kamarnya. Perutnya kini makin besar. Ia duduk di lantai, memeluk lututnya sendiri. Rambutnya acak-acakan, matanya sembab. Semua yang ia harapkan terasa runtuh satu per satu.
Ia berpikir, setelah hamil, Raka akan menikahinya dengan resmi. Tapi sudah berbulan-bulan berlalu sejak akad nikah siri itu, dan tak ada tanda-tanda bahwa Raka akan memperkenalkannya pada dunia sebagai istrinya. Apalagi sekarang, setelah mereka tahu Nayla hamil, semuanya jadi jauh lebih rumit.
“Apa aku hanya alat pemuasnya saja?” isaknya. “Kemana semua janji manis itu? Kemana ‘aku akan bahagiain kamu, Tan’? Kenapa semuanya berubah setelah aku hamil?”
Ia meraih ponsel, ingin menelepon Raka, tapi tak jadi. Sudah terlalu sering ia mendengar nada sibuk atau hanya dibalas dingin. Raka makin menjauh. Dan itu menghancurkannya.
Di saat yang sama, Nayla termenung di ruang tengah kontrakannya. Ia menatap surat cerai yang belum ditandatangani. Surat itu terasa berat di tangannya. Ia tak ingin terus-menerus berada dalam lingkaran ini. Tapi ia juga sadar, melawan Raka di pengadilan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Raka punya kuasa, uang, dan—kini—niat untuk mempersulit.
“Aku gak punya pengacara... kalau dia pakai yang terbaik, aku harus bagaimana?” bisiknya pada diri sendiri.
Tangannya mengelus pelan perutnya yang mulai membuncit. “Tapi kamu harus dilindungi, Nak... Mama gak bisa biarkan kamu lahir di tengah luka begini.”
Ia tahu, Raka masih mentransfer uang bulanan, mengirim pesan untuk memastikan Nayla dan bayinya baik-baik saja. Tapi itu tak cukup. Uang itu tidak bisa menyembuhkan luka. Tidak bisa mengganti rasa kehilangan. Nayla tahu, bagi Raka mungkin itu bentuk tanggung jawab. Tapi bagi Nayla, itu hanya menambah rasa sesak—karena masih ada perhatian dari seseorang yang sudah terlalu sering mengecewakan.
Dan di taman yang mulai gelap itu, Raka menunduk lebih dalam.
“Aku pengen memperbaiki semuanya... Tapi apa Nayla masih bisa nerima aku?” katanya lirih. “Apa aku pantas? Setelah semua luka yang kuberi...”
Ia mengusap wajahnya yang basah. Bayangan saat pertama kali mereka pindah ke rumah kecil di ujung gang, saat Nayla memeluknya di pagi hari dengan ucapan selamat ulang tahun, atau saat Nayla menatapnya dengan khawatir saat ia pulang larut—semua itu terasa seperti potongan film yang menghantam dada.
"Aku bodoh... Aku biarkan Tania masuk... Aku biarkan dia menghancurkan semuanya."
Sesak. Sesal. Hancur.
Dan kini semuanya mungkin sudah terlambat.