NovelToon NovelToon
Istri Kedua Suamiku

Istri Kedua Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Spiritual / Kehidupan di Kantor / Romansa / Dijodohkan Orang Tua / Suami ideal
Popularitas:5.6k
Nilai: 5
Nama Author: ARSLAMET

Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.

Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.

“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”

Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.

Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?

Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.

Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pulang Yang patah

Kriing... kriing... kriing...

Suara telepon kantor memecah keheningan siang yang terasa sesak di ruang kerja Rendi. Tangannya refleks meraih gagang.

“Iya, dengan Rendi Putra Langit,” jawabnya tenang.

Dari ujung sana, suara berat dan tegas langsung menyambar.

“Datang siang ini ke ruangan Ayah. Sekarang.”

Tanpa salam, tanpa basa-basi. Suara itu—suara Pak Wiratma, ayahnya, CEO dan pemilik Griya Mandiri Konstruksi—memotong segala jeda. Telepon terputus. Hanya detak jam yang tersisa, mengiringi keheningan yang tiba-tiba mencekam.

Rendi menarik napas panjang. Pandangannya tertahan pada layar laptop yang memuat laporan-laporan tender dan revisi desain. Namun, tak satu pun yang lagi menarik perhatiannya. Dengan gerakan perlahan, ia menutup laptop, menyesuaikan jas, dan berdiri. Langkahnya terasa berat, seperti menyeret beban yang tak kasatmata.

...----------------...

Pintu ruangan CEO terbuka. Tak ada sekretaris, tak ada pengawal pribadi. Ruangan besar itu hanya diisi sosok pria paruh baya yang duduk tegap di kursi kulit hitam. Pak Wiratma menatap sejenak ke arah jendela, lalu mengalihkan pandangan tajamnya ke arah anak keduanya.

“Selamat siang,” ucap Rendi, sopan. Ia masuk dan duduk, membuka kancing jas dengan tenang, meski dadanya bergemuruh.

“Duduk,” hanya itu yang keluar dari mulut ayahnya, datar namun berkuasa.

Beberapa detik keheningan berlalu sebelum akhirnya suara itu kembali terdengar.

“Kamu belum bilang ke Alisya tentang pernikahanmu dengan Bunga, kan?”

Pertanyaan itu meluncur tajam, dingin, dan menghantam tepat di dada Rendi. Ia menatap ayahnya, mata mereka bertemu, namun tak ada kehangatan di sana.

“Ayah?” tanya Rendi, nadanya terangkat, bukan karena tidak hormat, tapi karena tak percaya pembicaraan ini benar-benar dimulai di ruangan ini.

Pak Wiratma menyilangkan kaki, lalu menunduk sebentar sebelum melanjutkan, “Kayaknya belum, ya. Tadi pagi Ayah ke rumahmu. Lihat Alisya. Wajahnya... terlalu tenang untuk seorang istri yang tahu suaminya punya istri lain.”

Rendi mengatup rahangnya.

“Jadi Ayah putuskan memberi dia bangunan. Hadiah. Biar dia punya kesibukan. Biar... sakit hatinya nanti ada pengalihnya.”

Setiap kata terdengar seperti tamparan. Bukan karena nada suara ayahnya tinggi, tapi karena isinya terlalu tajam. Terlalu dingin.

Rendi berdiri perlahan, pandangannya mengeras. “Ayah,” ucapnya menahan emosi, “biarkan ini menjadi urusan Rendi. Jangan Ayah yang menyampaikan... atau memberi pengalihan seolah-olah dia hanya sekadar tanggung jawab keluarga.”

Pak Wiratma menatap Rendi lama, seolah mengukur keberanian anaknya. Tapi Rendi sudah cukup dewasa untuk tahu: luka batin seorang perempuan tak pernah pantas dibungkam dengan hadiah, apalagi oleh orang yang tak memintanya.

Tanpa menunggu balasan, Rendi membalikkan badan. Suasana ruangan terasa seperti pecahan kaca—hening, namun siap melukai bila disentuh.

...----------------...

Sore menjelang. Langit Jakarta mulai berwarna abu-abu. Rendi kembali ke ruangannya. Baru saja ia duduk, telepon lain masuk—dari salah satu kontraktor lokal yang mengelola proyek di Yogyakarta.

“Pak Rendi, ini dari Pak Husni. Mengenai proyek di Yogya,” suara di ujung sana cepat dan tegang.

“Ya, ada apa, Pak?” tanya Rendi sambil melepaskan kancing atas kerah bajunya, mencoba bernapas lebih lega.

“Klien minta lantai diganti. Mau bahan yang lebih elegan. Granit marmer Italia katanya. Kami takut keluar dari estimasi.”

Rendi mengusap wajah, lalu menyisir rambutnya dengan tangan. “Selama masih dalam anggaran total, silakan revisi. Tapi pastikan jangan sentuh biaya struktur.”

“Siap, Pak. Terima kasih.”

Telepon ditutup.

Tapi pikiran Rendi tak ikut tertutup. Ia bersandar di kursinya, menatap langit senja di balik jendela kaca. Waktu terasa begitu lambat. Dadanya berdesir oleh harapan satu: segera pulang. Ia ingin menatap wajah Alisya. Ingin mendengar suaranya. Ingin tahu... seberapa jauh luka yang mungkin telah mulai tumbuh, tanpa sempat ia cegah.

Karena ia tahu, sekalipun ia sanggup menyusun peta proyek dan anggaran di kepalanya, tak ada cetak biru yang bisa menjamin bangunan bernama rumah tangga tetap kokoh... jika kejujuran tak lagi jadi pondasinya.

...****************...

Langit Jakarta telah menua. Awan menggantung murung, seolah ikut merasakan beratnya hati yang akan segera pulang. Rendi menyetir perlahan, lampu jalan memantul di kaca depan mobilnya, satu per satu seperti pertanyaan yang tak pernah bisa ia jawab.

Di kursi kemudi, ia duduk tak seutuhnya. Tubuhnya di sana, tapi pikirannya telah berlarian mendahului waktu, menuju rumah yang begitu ia rindukan… dan sekaligus ia takutkan.

“Apakah Alisya sudah tahu?” pertanyaan itu berputar seperti doa yang belum menemukan tujuannya.

Setiap detik yang berlalu menambah nyeri di dadanya. Mobil akhirnya berhenti di depan rumah yang hangat—rumah yang dibangun dengan janji-janji untuk saling setia dan terbuka. Namun hari ini, pintu itu terasa lebih berat dari biasanya.

Rendi masuk perlahan. Aroma makanan hangat menyambutnya. Suara tawa kecil Rasya dari arah dapur, suara Alisya yang menggoda lembut, membuatnya hampir lupa pada luka yang belum sempat ia ungkapkan.

"Mas udah pulang?" tanya Alisya, sambil keluar dari dapur, masih mengenakan apron dan kerudung warna pastel yang sederhana tapi selalu membuat hati Rendi menghangat.

Rendi mengangguk, senyum kecil di bibirnya. Ia ingin memeluknya, ingin merengkuhnya dan berkata, “Maafkan aku.” Tapi semua itu hanya tinggal niat yang tak sempat menjelma suara.

“Mas capek banget, ya?” tanya Alisya sambil menuangkan teh hangat ke dalam cangkir kesukaan suaminya. Rendi hanya mengangguk lagi. Ia duduk, menatap cangkir itu… lalu menatap istrinya.

“Pagi tadi… Ayah datang, ya?” tanyanya pelan.

Alisya tersenyum samar. “Iya, tumben banget. Aku kira ada yang penting, ternyata cuma mau tanya kenapa aku belum kerja. Terus... kasih aku bangunan katanya. Buat aku kelola.”

Rendi terdiam. Tersayat. Ayahnya telah lebih dulu meninggalkan jejak yang seharusnya ia yang sampaikan.

“Tapi Mas...” lanjut Alisya, kali ini nadanya sedikit berubah. “Waktu Ayah mau pamit... aku lihat tatapannya beda. Seperti menyembunyikan sesuatu yang besar.” Ia menatap mata Rendi sekarang. Dalam. Lurus. “Mas... sebenarnya ada apa?”

Rendi nyaris runtuh.

Tapi sebelum ia menjawab, Rasya datang memeluknya dari belakang, tertawa senang melihat ayahnya pulang.

“Ayah bawa cerita hari ini?” tanya Rasya polos.

Rendi tersenyum, pelan. “Ayah selalu bawa cerita… hanya saja belum tahu bagaimana cara mengucapkannya.”

Alisya diam. Tapi hatinya bekerja lebih keras dari biasanya. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang belum utuh, sesuatu yang disimpan.

Dan malam itu, meski rumah tampak damai dari luar, di dalamnya ada dua hati yang berusaha saling membaca. Satu ingin mengungkap, satu ingin mendengar… tapi keduanya masih terjebak dalam ruang waktu yang terlalu rapuh.

1
Iis Dawina
mendingan mundur alisya...ga blk bner klo ortu dah ikut campur mah
Yati Syahira
sdh panjang bab tdk terungkap perselingkuhan suaminya aneeh bikin males baca
ARSLAMET: biar makin penasaran kak , hehehe staytune trus ya
total 1 replies
D͜͡ ๓KURNI CACAH
wanita sebaik dan secantik sabar alisha kok bisa si di sakiti Sama laku laku kampret Kya si Rendi
D͜͡ ๓KURNI CACAH
ngk rela bgt alisha di Madu
D͜͡ ๓KURNI CACAH
kampret Rendi sama bunga kok bisa nikah ...dasar laki laki apa pun ala San nya tetap tak di benarkan
Rubyna
kok gak ada kejelasan tiba tiba menikah karna apa, dan bunga seharus nya menolak tau kan kalau Rendi susah beristri
ARSLAMET: dukungan nya kaka , selalu berharap yang terbaik untuk tulisan ku dan semua hal hehe
Rubyna: semangat ya, noveltoon gak kayak dulu, asal kontrak sudah dapat cuan sekarang susah
total 4 replies
❤ Nadia Sari ❤
ketikannya kok center semua?
ARSLAMET: @ terimakasih sebelumnya atas sarannya ..
❤ Nadia Sari ❤: bagus yg awal aku tadi bacanya kayak lagu
total 3 replies
pembaca
lanjut kan tuk menuju sukses
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!