Di balik gaun pengantin dan senyuman formal, tersembunyi dua jiwa yang sejak lama kehilangan arti cinta.
Andre Suthajningrat—anak dari istri kedua seorang bangsawan modern, selalu dipinggirkan, dibentuk oleh hinaan dan pembuktian yang sunyi. Di balik kesuksesannya sebagai pengusaha real estate, tersimpan luka dalam yang tak pernah sembuh.
Lily Halimansyah—cucu mantan presiden diktator yang namanya masih membayangi sejarah negeri. Dingin, cerdas, dan terlalu terbiasa hidup tanpa kasih sayang. Ia adalah perempuan yang terus dijadikan alat politik, bahkan oleh ayahnya sendiri.
Saat adik tiri Andre menolak perjodohan, Lily dijatuhkan ke pelukan Andre—pernikahan tanpa cinta, tanpa pilihan.
Namun di balik kehampaan itu, keduanya menemukan cermin dari luka masing-masing. Intrik keluarga, kehancuran bisnis, dan bayang-bayang masa lalu menjerat mereka dari segala sisi. Tapi cinta… tumbuh di ruang-ruang yang retak.
Bisakah dua orang yang tak pernah dicintai, akhirnya belajar mencintai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Langit Jakarta berwarna nila ketika mobil hitam menggelinding masuk ke pelataran gedung kaca di kawasan SCBD. Lampu-lampu sorot menari-nari di langit, mengaburkan batas antara malam dan dunia selebritas politik yang glamor. Di depan pintu utama, para tamu gala dinner sudah berbaris memasuki venue, berjalan di atas karpet hitam yang digelar penuh prestise.
Di dalam mobil, Lily duduk diam. Ia mengenakan gaun malam satin biru tua dengan belahan punggung rendah, rambutnya disanggul rapi dengan beberapa helaian rambut dibiarkan jatuh melengkung lembut di pelipis. Makeup-nya sempurna: lipstik burgundy matte, eyeliner halus, dan highlighter yang membuat tulang pipinya bersinar di bawah cahaya lampu.
Di sampingnya, Andre tampil dalam setelan tuxedo hitam dengan dasi kupu-kupu. Wajahnya bersih, bercukur rapi, dan rambut disisir ke belakang. Tapi meski penampilannya sempurna, ia tidak bisa menyembunyikan rasa malas yang menempel di ekspresinya.
“Terakhir kali aku datang ke gala dinner, aku ngumpet di toilet dua kali,” gumam Andre.
Lily menoleh singkat. “Kamu ngapain di toilet?”
“Berpikir. Apakah aku bisa kabur lewat jendela tanpa merusak reputasi.”
Lily menahan tawa, walau bibirnya hanya bergerak sedikit. “Kalau kamu kabur sekarang, aku gak akan selamat dari tatapan om-om politik di dalam.”
“Justru karena itu aku ikut. Kita pasangan paling disorot malam ini.”
“Kita?”
“Kamu dan nama belakangku.”
Mobil berhenti. Pintu dibuka. Sorotan kamera langsung menyambut mereka. Reporter dari media bisnis dan gaya hidup berdiri rapat di balik pagar, meneriakkan nama mereka.
“Bu Lily! Sini sebentar ya!”
“Pak Andre, bagaimana rasanya jadi pengantin dadakan?”
“Benarkah Anda hanya ‘pengganti’?”
Mereka melangkah pelan di atas karpet. Lily tetap tenang, membiarkan Andre menyentuh punggungnya ringan saat membimbingnya masuk.
Dalam hati, ia berpikir, kalau ini mimpi buruk… setidaknya aku terlihat luar biasa malam ini.
...****************...
Gedung gala itu luas, dengan langit-langit tinggi dihiasi lampu gantung kristal. Meja-meja bundar berlapis linen hitam ditata rapi, setiap tempat duduk dilengkapi kartu nama tamu, gelas kristal, dan napkin berukir inisial acara. Di ujung ruangan, panggung dengan layar LED menampilkan logo acara bertema “The Future of Legacy”.
Kata ‘legacy’ terasa seperti sindiran pribadi bagi Lily malam itu.
Mereka duduk di meja VIP nomor 3, tepat di depan panggung. Di meja yang sama duduk beberapa tokoh penting: seorang menteri investasi, CEO bank swasta besar, dan dua pemilik grup media.
Lily duduk diam. Andre mengambil gelas air, menyesapnya.
“Banyak yang melirik ke arah kita,” gumam Andre tanpa menoleh.
“Biasanya mereka melirikku sendirian. Sekarang mereka penasaran siapa orang yang cukup nekat buat nikahiku.”
Andre menyeringai. “Mereka salah. Aku bukan nekat. Aku… ditunjuk.”
Lily menahan senyum, tapi tidak menjawab.
...****************...
Lampu ruangan meredup. Musik piano mengalun. Seorang MC pria paruh baya naik ke panggung, mengenakan jas hijau botol dan mikrofon nirkabel.
“Selamat malam, hadirin yang penuh wibawa! Malam ini kita berkumpul bukan hanya untuk merayakan investasi masa depan, tapi juga untuk menyaksikan legacy yang sedang dibangun oleh generasi baru.”
MC itu melempar senyum lebar, lalu matanya menangkap Andre dan Lily.
“Dan tentu saja… highlight malam ini tak lain adalah pasangan baru kita, yang konon katanya menikah… bukan karena cinta, tapi karena kesepakatan.”
Tawa pecah. Beberapa tamu bertepuk tangan, sebagian menoleh ke meja mereka sambil menyeringai. Kamera di sisi ruangan menyorot wajah Andre dan Lily yang terpampang di layar LED raksasa di belakang MC.
Lily menegakkan punggungnya. Tapi Andre… langsung berdiri.
Langkahnya tenang saat naik ke panggung. MC terkejut, tapi menyodorkan mikrofon sambil terkekeh, “Wah, langsung klarifikasi dari sumber pertama. Silakan, Pak Andre.”
Andre memegang mikrofon. Wajahnya tetap santai, tapi matanya menyapu seluruh ruangan.
“Saya tahu, banyak dari Anda yang bertanya-tanya… kenapa saya menikahi Lily Halimansyah. Jawaban sederhananya: karena saya tidak cukup bodoh untuk melewatkan seseorang seperti dia.”
Ruangan mendadak hening.
Lily menatapnya, jantungnya melambat seketika.
Andre melanjutkan, “Dia cerdas, membangun bisnisnya sendiri dari nol. Dia bisa berdiri di ruangan ini sendirian tanpa saya, dan tetap akan dilihat. Tapi malam ini, saya beruntung berdiri di sampingnya.”
Kemudian—tanpa aba-aba, Andre menuruni panggung dan berjalan ke meja mereka. Semua mata mengikuti.
Ia berdiri di belakang Lily, menunduk, dan mencium pipi kirinya singkat namun hangat.
Bukan ciuman gairah. Tapi ciuman penuh penghargaan.
“Dan kalau ini terpaksa,” katanya sambil tersenyum ke arah mikrofon, “maka saya senang jadi orang yang terpaksa jatuh kagum pada istrinya sendiri.”
Tepuk tangan menggelegar. Kamera beralih ke wajah Lily.
Untuk pertama kalinya malam itu, wajahnya memerah.
Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah—hatinya bergetar.
...****************...
Mereka duduk berdampingan selama acara makan malam, tetap diam, tapi nuansa di antara mereka berbeda. Lily tidak tahu harus bicara apa. Tangannya masih hangat di bagian yang disentuh Andre tadi.
Saat dessert dihidangkan, Lily akhirnya bersuara.
“Aku gak tahu kamu bisa begitu… panggung-ready.”
Andre mengambil sendok kecil. “Aku juga gak tahu. Tapi kayaknya kamu bikin aku pengin nunjukin sesuatu.”
“Maksudnya?”
“Kalau aku cukup layak buat berdiri di sampingmu. Bahkan di ruangan yang penuh orang yang biasa meremehkan kita.”
Lily menoleh, matanya menyipit. “Kamu sadar kan, itu pertama kalinya kamu cium aku?”
Andre menatap lurus ke depan. “Aku sadar. Makanya aku berhati-hati.”
Lily tersenyum kecil. “Tadi kamu bilang ‘kagum’.”
“Iya.”
“Kagum karena efek lampu gala dinner, atau karena gaunku?”
Andre menoleh dan berkata datar, “Karena kamu bisa duduk tenang dikelilingi orang-orang yang siap menjatuhkanmu, tapi kamu tetap tegak. Itu… gak bisa diajari.”
Lily diam.
Dan di bawah meja, di antara denting garpu dan gelas, jarinya menyentuh punggung tangan Andre. Ringan. Sebentar. Tapi cukup membuat Andre menahan napas.
Lalu ia tarik tangannya kembali. Seolah tak terjadi apa-apa.
...****************...
Mobil melaju di antara jalanan Jakarta yang mulai sepi. Lampu-lampu kota berkedip pelan di kaca jendela.
Di kursi belakang, mereka duduk tanpa bicara.
Lalu Lily bersandar pelan. “Tadi kamu keren banget.”
Andre tersenyum. “Kamu juga.”
“Sekarang kita udah punya… satu momen,” kata Lily pelan. “Yang gak dipaksa. Gak dibuat-buat.”
Andre menoleh ke arahnya. “Kita butuh lebih dari satu.”
Lily tidak menjawab. Tapi sorot matanya malam itu tak seperti biasanya—tidak dingin, tidak defensif.
Lebih lembut.
Lebih… terbuka.
...----------------...