Uang miliaran di rekening. Tanah luas. Tiga ratus pintu kontrakan.
Anjani punya segalanya—kecuali harga diri di mata suaminya dan keluarganya.
Hari ulang tahunnya dilupakan. Status WhatsApp menyakitkan menyambutnya: suaminya disuapi wanita lain. Dan adik iparnya dengan bangga menyebut perempuan itu "calon kakak ipar".
Cukup.
"Aku akan tunjukkan siapa aku sebenarnya. Bukan demi mereka. Tapi demi harga diriku sendiri."
Dan saat semua rahasia terbongkar, siapa yang akan menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 21
Langit Pesawaran sore itu cerah, meski awan tipis menggantung di atas pegunungan Bukit Barisan. Rumah joglo milik Reno berdiri kokoh di tengah kebun kakao dan durian yang rindang. Angin membawa aroma tanah basah dan daun kering—hangat, menyambut seperti pelukan ibu.
Begitu mobil Rizki berhenti di pelataran tanah merah, Anjani membuka pintu dan menghirup napas dalam.
“Ahh... ini baru udara,” gumamnya pelan.
“Wah, akhirnya kamu pulang juga, gemoy,” celetuk Reno dari beranda sambil terkekeh, meski sorot matanya berkaca-kaca.
Rini, kakak ipar Anjani, muncul dari dapur dengan senyum lebar.
“Adikku sayang... sampai juga akhirnya,” ucapnya sambil memeluk Anjani erat.
Anjani tersenyum haru. “Rumah ini belum berubah ya, Kak.”
“Mimi Ani pulang juga!” seru Rayan, bocah lima tahun berlari mendekat.
“Mimi... aku mau coklat!” sambung Kayla, adik Rayan yang manja.
“Sudah-sudah, biarkan tante kalian istirahat dulu,” ujar Rini lembut.
Tiba-tiba, suara nyaring memecah kehangatan.
“Momy, gendong!”
Anjani menoleh. Seorang balita berambut ikal berlari kecil ke arahnya.
“Anja?” bisiknya.
“Hei, panggil dia Septi saja,” ujar Reno tergelak. “Si Rizki itu ada-ada aja, masa anaknya dikasih nama kayak kamu. Aku sering salah panggil!”
Anjani tertawa, lalu mengangkat balita itu ke pelukannya. “Anja... apa kabar?”
“Baik... Momyyy!” sahut Septi manja.
Anjani membuka tasnya. “Nah, Mimi bawa oleh-oleh dari Jakarta nih. Siapa yang mau kaos superhero?”
“Akukkkk!” jawab tiga suara kecil bersamaan.
......
Di ruang kerja ber-AC yang sunyi, Riki menatap layar laptop dengan napas berat. Di hadapannya, terbuka file mutasi rekening cabang perusahaan: Rp 300.000.000 mengendap, siap digunakan untuk proyek pemasaran bulan depan.
Riki menghela napas dalam. Tangannya gemetar saat menyentuh mouse. Pikirannya riuh.
“Kalau aku pakai... nanti gantinya gimana? Tapi kalau enggak dipakai... duit dari mana buat nikah?”
Suara ibunya kembali terngiang di kepala, pagi tadi di dapur:
“Riki, kamu jangan buat malu keluarga. Kamu kepala cabang, masa nikah cuma di aula kelurahan? Gunakan aja dulu uang itu, nanti nyicil bayarnya. Gak akan ketahuan.”
Riki menunduk. Nurani dalam dirinya memberontak.
“Itu bukan uang kamu, Rik. Itu uang perusahaan. Sekali kamu berkhianat, kepercayaan hancur. Tak akan ada perusahaan yang mau menyentuhmu lagi.”
“Kamu dikenal jujur, kerja keras. Itulah kenapa kamu naik cepat. Jangan rusak semua itu hanya demi pesta sehari.”
“Gimana, bro?”
Riki terlonjak. Dody tiba-tiba muncul di balik pintu dengan ekspresi santai dan senyum menyebalkan.
“Astaga, ngagetin aja lo,” gerutu Riki sambil mengelus dada.
Dody masuk dengan gaya sok akrab, lalu menutup pintu pelan. “Gimana bro... duitnya lu ambil gak? Mumpung ada kesempatan.”
Riki tak langsung menjawab. Matanya menatap layar, kosong.
“Gaji lu segitu-gitu aja. Bos kita di Jakarta dapet untung miliaran tiap bulan, gak ngapa-ngapain. Kita kerja sampai malem, dapetnya cuma remah. Hidup itu harus adil, Bro.”
“Gue takut,” lirih Riki.
“Tenang... gue yang atur semuanya. Lu tinggal ambil, setor ke gue dua puluh juta. Nanti supplier gua yang mainin invoice. Bersih. Aman. Gak ada jejak.”
Riki memicingkan mata. “Lu yakin?”
“Yakin banget. Kepala cabang lain juga pada main. Lu pikir cuma lu yang polos? Semua juga mikir praktis sekarang. Yang penting, lu jangan pelit. Gue udah dipercaya sama bos pusat.”
“Gue... bingung, Bro.”
Dody mendekat, duduk di kursi depan meja. Nada suaranya merendah, tapi menusuk.
“Gue saranin... jangan kayak si Tedi. Sok suci. Hidup susah. Lu tahu Tedi? Sampai sekarang masih ngekos. Lu mau gitu terus?”
Riki terdiam. Keringat dingin mulai keluar di pelipisnya.
“Prestise itu penting, Rik. Penampilan menentukan dihormati nggaknya lu sama suplier. Kalau lu keliatan sukses, mereka segan, mereka nurut. Cuan ngalir. Tapi kalau lu nikah irit, pakai batik murahan, siapa yang respek?”
“Gue ngerti, tapi...”
“Lu kan sayang sama Lusi?” potong Dody cepat. “Lu tahu Lusi maunya nikah di ballroom hotel, bukan di aula RW. Kalau lu gak bisa wujudkan, ya siap-siap diteriakin dia. Malu bro.”
Riki menunduk makin dalam. Seolah tubuhnya makin berat oleh tekanan.
Dody berdiri sambil merapikan jas. “Lu pikir aja baik-baik. Tapi inget, minggu depan anggaran masuk. Sekali lu bilang ‘ya’, semua gue beresin. Lu tinggal bersinar di pelaminan.”
Dody keluar pelan, membiarkan pintu tak sepenuhnya tertutup.
Riki kembali menatap angka tiga ratus juta di layar. Hatinya seperti perang saudara. Di satu sisi: gengsi, cinta, pesta. Di sisi lain: integritas yang selama ini ia banggakan.
Dan waktu terus berjalan, tanpa peduli siapa yang akhirnya akan menang.
Rizki menyetir mobil menuju Balai Tani Pesawaran. Anjani duduk di kursi sebelahnya, serius membaca beberapa artikel dari ponselnya. Wajahnya terlihat kesal. Rizki melirik, tapi tak berani bertanya.
“Pintu mobilmu katanya rusak kemarin. Tapi sekarang bisa dibuka dari luar,” ujar Anjani tiba-tiba.
Rizki tertawa kecil, canggung. “Oh itu... kemarin emang ngadat, sekarang udah bener lagi.”
Anjani mendengus pelan, lalu kembali fokus pada ponselnya. Sepanjang perjalanan, suasana cenderung hening. Rizki ingin ngobrol, tapi memilih diam melihat ekspresi Anjani yang serius.
Sesampainya di Balai Tani, beberapa orang sudah menunggu. Di antaranya, Pak Guntur, Kepala Dinas Pertanian, dan Bupati Pesawaran.
Anjani turun dan langsung disambut dengan ramah. Beberapa pegawai membungkuk hormat, menyapa dengan tangan terulur.
“Selamat pagi, Bu Anjani,” sapa Pak Guntur. “Terima kasih sudah datang.”
“Selamat pagi, Pak. Terima kasih juga sudah memberi saya kesempatan,” jawab Anjani sopan.
Bupati tersenyum. “Kami dengar Ibu punya inovasi luar biasa. Kami ingin mendengarnya langsung.”
Setelah sambutan, Anjani diarahkan ke ruang presentasi. Ia memaparkan tentang Formula AJ 25, pupuk organik berbahan limbah rumah tangga yang ramah lingkungan dan cocok untuk tanah Lampung.
Semua peserta tampak serius menyimak. Beberapa mencatat, yang lain mengangguk-angguk.
Di sudut ruangan, Rizki memperhatikan dalam diam. Wajahnya menunjukkan kekaguman.
Setelah pemaparan selesai, Pak Guntur menghampiri Anjani.
“Kamu luar biasa, Anjani,” ucapnya.
“Ah, biasa saja, Pak. Saya hanya menyampaikan apa yang saya kerjakan.”
“Kamu aset negara ini. Negara ini butuh lebih banyak orang seperti kamu.”
“Terima kasih, Pak. Saya hanya ingin membantu petani kecil.”
Pak Guntur menatap Anjani sebentar, lalu berkata, “Maaf sebelumnya. Apa benar kamu sedang dalam proses cerai?”
Anjani terkejut. Ia belum pernah membicarakan soal ini kepada siapa pun di luar keluarga.
“Jangan heran,” lanjut Pak Guntur. “Wulan itu keponakan saya. Dia banyak cerita tentang kamu.”
“Wulan cerita ke Bapak?” gumam Anjani agak kesal.
Pak Guntur tertawa. “Tenang saja. Saya cuma ingin tanya sesuatu. Kalau kamu masih membuka peluang untuk berumah tangga, saya punya tawaran.”
Anjani langsung gelisah. “Maaf, Pak. Saya belum punya niat untuk menikah lagi.”
Pak Guntur mengangkat tangan. “Tenang, bukan saya calonnya. Saya ini tipe lelaki takut istri.”
Anjani menahan tawa kecil.
“Yang saya maksud keponakan saya. Dia distributor pupuk organik juga. Masih lajang. Kalian nanti pasti banyak komunikasi karena proyek ini juga akan melibatkan dia.”
Anjani mengangguk pelan. “Saya paham, Pak. Tapi saya masih belum siap.”
“Kenalan saja dulu. Nggak harus langsung serius.”
Pak Guntur lalu menunjuk ke arah pintu. “Nah, itu orangnya.”
Anjani menoleh ke luar. Sebuah mobil Rubicon hitam berhenti di pelataran. Seorang pria muda turun, rapi dengan setelan jas kasual.
“Raka?” gumam Anjani pelan.
Raka menatap Anjani dan tersenyum. “Anjani? Wah, lama banget nggak ketemu.”
Pak Guntur tampak kaget. “Kalian udah kenal?”
Raka menjawab cepat. “Anjani ini dulu mahasiswa paling pintar di kampus. Kalau saya, paling tampan.”
Anjani tersenyum kaku. “Dulu kamu sombong juga ya, ternyata masih.”
Pak Guntur tertawa puas. “Wah, syukurlah kalau kalian sudah saling kenal.”
Mereka mulai berbincang akrab, membahas kabar teman-teman kuliah dulu. Suasana jadi cair dan hangat.
Namun dari kejauhan, Rizki berdiri diam di pojok ruangan. Wajahnya datar, tapi matanya tak lepas dari mereka berdua. Senyumnya hilang. Hatinya seperti tertarik pelan-pelan ke jurang.
Ia tak menyangka, pria itu—Raka—adalah seseorang yang dulu Anjani sukai diam-diam. Kini mereka bertemu lagi... dan tampaknya masih sama-sama punya rasa.
Rizki menggenggam tangan kirinya. Ada rasa asing yang mengganggu: cemburu.
pilih siapa yaa.. ikutan bingung 😆😆
Si Riki sama Ibunya biar nyaho.. wanita yg di elu-elu kan taunya adalah simpenen bapak/suami mereka 😜😜😜😆
Lanjuuttt kakakkkk....
Ditunggu kehancuran mantan suami Anjani...