NovelToon NovelToon
Benang Merah Yang Berdarah

Benang Merah Yang Berdarah

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / CEO / Selingkuh / Penyesalan Suami / Psikopat itu cintaku / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Phida Lee

Blurb:

Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.

Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.

Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.

Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.

Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?


Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21

Mia melirik jam tangannya lalu menghela napas pelan. Waktu sudah beranjak jauh malam tanpa dia sadari. Suasana di studio musik itu terlalu nyaman, atau mungkin terlalu hangat karena kehadiran seseorang.

“Sudah larut,” katanya pelan. “Aku harus pulang sekarang.”

Daniel segera berdiri dari sofa. “Aku akan mengantarmu.”

Mia menggeleng. “Tidak usah. Aku memarkir Mobilku tidak jauh dari sini, Daniel.”

Daniel menyipitkan matanya, menatap Mia dengan curiga yang lucu. “Tidak jauh?” tanyanya dengan nada menggoda. “Kau pikir aku tidak tahu kalau kau memarkir mobilmu di blok dua dari sini? Kau pasti lupa bahwa aku yang menunjukkan spot parkir itu padamu, kan?”

Mia mendesah pasrah, mencoba menutupi senyum kecil di bibirnya.

“Aku akan ikut jalan denganmu, sekalian aku juga mau membeli sesuatu di toko ujung sana,” lanjut Daniel cepat, menyembunyikan niatnya untuk tetap menemani Mia. Senyum canggung tergambar jelas di wajahnya, membuatnya tampak seperti anak kecil yang takut ketahuan berbohong.

Mereka jalan berdampingan di trotoar yang sepi, dan diterangi oleh lampu jalan yang temaram. Daniel berjalan santai di sisi kanan Mia, namun matanya terus mencuri pandang ke arah wanita itu. Dan juga senyum bodohnya itu terus menghiasi wajahnya, seperti pria yang tengah jatuh cinta tanpa bisa menyembunyikannya lagi.

Lalu kemudian…

BRAKK!!

“Ugh!” Daniel tersentak dan langsung membungkuk. “AH! Hidungku!!”

Dia menabrak tiang lampu jalan dengan cukup keras hingga terdengar dentuman logam. Detik itu juga tubuhnya langsung berjongkok, dan kedua tangannya langsung memegangi wajahnya yang kesakitan.

Mia terkejut. “Daniel! Kau tidak apa-apa?”

Mia menghampirinya dengan cepat, kemudian matanya mencermati wajah Daniel yang tertutup tangan.

“Ayo… lepaskan tanganmu. Aku ingin melihatnya,” ucapnya cemas.

Dengan perlahan, Daniel menurunkan tangannya. Bekas merah tampak jelas di batang hidungnya, bahkan ada sedikit darah yang mengalir dari sisi hidung pria itu. Dan wajahnya meringis, menahan perih.

Mia menutup mulutnya, berusaha keras untuk menahan tawa. Akan tetapi ekspresi Daniel yang campur aduk membuatnya tak kuasa lagi untuk menahan tawanya.

“Pfftt…” Tawa kecil itu akhirnya pecah.

Daniel mengangkat wajahnya, menatap Mia dengan ekspresi dramatis seperti aktor dalam sandiwara. “Kau sepertinya sangat bahagia melihatku terluka, ya?” ucapnya berpura-pura sedih. “Seharusnya kau membantuku menyeka darahnya. Kau jahat sekali…”

Mia menggeleng, mencoba menahan senyum, lalu menghela napas dalam-dalam. Kemudian ia merogoh tasnya dan mengeluarkan saputangan.

“Dasar drama king…” gumamnya lembut. “Sini, biar aku bantu.”

Dengan gerakan perlahan, Mia menyeka darah di wajah Daniel. Sentuhannya sangat hati-hati dan lembut, seolah ia takut akan menyakitinya lebih jauh. Mereka tidak berbicara, namun dalam keheningan itu, ada sesuatu yang tidak terucapkan, sebuah kenyamanan yang mulai tumbuh di antara keduanya.

Tanpa mereka sadari, tidak jauh dari tempat mereka berdiri, sebuah mobil hitam terparkir di sisi jalan. Di balik kaca gelapnya, seseorang duduk diam sambil memegang ponselnya.

Klik!

Suara shutter nyaris tak terdengar, namun cukup tajam untuk mengabadikan momen yang tidak seharusnya menjadi milik publik.

Potret itu tertangkap dengan jelas, Mia sedang menyeka darah dari wajah Daniel dengan kelembutan seorang kekasih.

Dan dalam bayang-bayang malam itu, seseorang kini memiliki bukti.

--- Flashback On ---

Ponsel milik Lusy berdering di atas meja kaca. Suara dentingan dari nada dering itu bergema di ruangan rumah mewah yang sepi. Ia sedang berbaring malas di sofa kulit putihnya ketika melirik layar ponsel.

“Halo?” sapanya dengan nada datar.

Suara sang manajer terdengar dari seberang, dan terdengar sedikit tergesa.

“Ahn Lusy, kau mendapatkan tawaran untuk merilis lagu baru. Tim produksi menunggu jawaban darimu hari ini.”

Lusy terdiam sejenak. Matanya menatap langit-langit ruangan, ia tengah mempertimbangkan sesuatu. Kemudian helaan napas perlahan lolos dari bibirnya.

“Lagu baru...” gumamnya. “Baiklah. Aku akan bersiap dan segera ke sana.”

Setelah menutup telpon itu, ia bangkit dari sofa, lalu meluruskan tubuhnya sejenak dan kemudian ia berjalan menuju ke kamarnya untuk bersiap-siap. Setelahnya ia berkaca sejenak untuk memperhatikan penampilannya, dan dirasa telah sempurna, dia melangkah untuk mengambil tasnya. Namun sebelum dia sempat mengambil tasnya, ponselnya kembali berdering. Kali ini nama yang tertera di layar membuat matanya menyipit.

Christopher.

Tanpa menunggu waktu lama, Lusy mengangkat panggilan itu, nada suaranya berubah lembut dan hangat secara instan.

“Halo?”

“Lusy, malam ini aku akan menginap di tempatmu. Ada yang ingin kubicarakan,” ucap pria itu dari seberang telepon.

Senyuman tipis mengembang di bibir Lusy. Senyum yang sama sekali tidak menyentuh matanya.

“Oh? Tentu saja,” jawabnya cepat. “Aku akan menunggumu.”

Kemudian dia mengakhiri panggilan itu, lalu membuang napas pelan. Wajahnya berubah dingin dan penuh perhitungan.

"Kalau aku bisa menjadi pasangan Direktur Lee dari Lee Crop Company... Mengapa aku harus repot-repot mempertahankan reputasiku di dunia musik?"

Tanpa ragu, ia mengirim pesan singkat ke manajernya, dan mengatakan bahwa ia membatalkan pertemuan dihari itu. Setelah itu, ia melangkah keluar dari rumahnya, dan masuk ke dalam mobil mewah yang sudah menantinya di lobi.

Namun entah apa yang mendorongnya, langkahnya tidak membawanya ke tempat seperti yang direncanakan.

Mobilnya justru berhenti di jalanan kecil yang familiar. Disebuah studio musik berdiri tidak jauh dari situ. Tempat itu adalah milik Daniel.

Lusy memandangi bangunan itu dari balik kaca jendela mobil yang gelap, kemudian matanya menyipit.

"Tapi masih ada satu lagi penghalang…" pikirnya. "Lee Mia."

Tiba-tiba, pandangannya menangkap sosok yang tak asing di trotoar seberang. Ia mengarahkan matanya lebih tajam.

"Eh?" gumamnya.

Dan disana, Mia sedang berdiri bersama Daniel. Keduanya tertawa pelan, dan Mia tampak menyeka sesuatu dari wajah pria itu dengan sebuah saputangan.

Seketika, senyum muncul di bibir Lusy. Senyuman dingin dan penuh kemenangan.

“Oh… betapa beruntungnya menjadi aku,” bisiknya pelan, nada suaranya dipenuhi oleh rasa puas.

“Lee Mia… Kau sendiri yang memintanya.”

Dengan gerakan tenang, ia mengangkat ponselnya, dan mengarahkan kamera ke arah pasangan itu, kemudian mengambil beberapa foto dari balik jendela mobilnya. Suara shutter terdengar lembut namun mengandung niat yang gelap.

Setelah itu, matanya berkilat penuh dengan sebuah rencana.

--- Flashback Off ---

Suara deritan ringan terdengar saat Mia mendorong pintu rumah dan melangkah masuk. Senyuman lebar menghiasi wajahnya. Ada rona bahagia yang sulit disembunyikan. hari ini, dan untuk pertama kalinya dalam sekian lama, ia merasa benar-benar hidup.

“Akhirnya… Hari ini menyenangkan sekali,” gumamnya pelan, masih dengan senyuman yang tidak juga surut.

Ia menggantung tasnya di balik pintu, kemudian ia berjalan santai menuju ke meja belajarnya. Begitu dia duduk di depan meja, jemarinya langsung menyalakan laptop. Layarnya menyala lembut, menyambut malam yang baru saja dimulai.

Tanpa menunggu lama, Mia mulai mengetik dengan cepat. Raut wajahnya dipenuhi oleh semangat dan tekad.

“Sudah waktunya aku mengumumkan ini,” bisiknya pada diri sendiri.

Ia membuka platform musik digital yang biasa digunakannya. Jari-jarinya bergerak lincah, kemudian dia menuliskan sebuah pengumuman sederhana namun sangat dinantikannya.

"Aku akan merilis lagu baru."

Hanya butuh beberapa detik setelah ia menekan tombol post, tak lama kemudian notifikasi langsung membanjiri layar. Bunyinya terus berdenting dan komentar masuk satu demi satu seperti hujan deras yang tidak bisa dihentikan.

"Kapan dirilisnya, Lee?"

"Aku sudah menunggunya selama dua tahun!"

"Tolong berikan tanggal rilisnya!"

"OMG!!! Akhirnya!!"

Mia membaca satu per satu komentar itu dengan senyum kecil yang lembut. Matanya kemudian bergerak ke arah kalender meja di samping laptopnya. Saat melihat tanggal hari ini, senyumnya perlahan memudar dan berganti dengan ekspresi terkejut.

“Hmm?” gumamnya lirih.

25 September.

Hatinya langsung tersentak.

"Itu berarti... Ulang tahun Christopher sudah dekat,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan untuk dirinya sendiri.

Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, lalu menatap langit-langit sejenak. Memikirkan tentang Christopher, sosok yang dingin namun penuh wibawa, pria yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya, muncul di dalam benaknya.

'Sebagai Presiden Lee Crop Company, dia pasti akan mengadakan pesta besar-besaran seperti biasanya…' pikirnya.

Tapi bukan pesta yang menarik perhatian Mia saat ini.

"Dia pantas mendapatkan kejutan," gumamnya sambil tersenyum kecil, penuh arti.

Ia kembali menatap layar laptopnya, lalu mulai mengetik balasan untuk para penggemarnya.

"Lagu ini akan dirilis pada tanggal 3 Oktober."

Sebuah tanggal yang tidak hanya bermakna bagi para penggemarnya, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Tanggal yang akan menjadi hadiah untuk kariernya, untuk para penikmat musiknya, dan diam-diam, untuk satu orang yang diam-diam telah mengisi hatinya.

***

Terdengar suara mobil yang berhenti di depan rumah memecah keheningan malam itu. Lampu depan masih menyala, dan tak lama kemudian, pintu mobil terbuka. Christopher keluar sambil membawa kantong belanja yang berisi beberapa bungkus makanan hangat dan masih mengepulkan uapnya.

Senyum kecil muncul di wajahnya.

"Aku yakin dia akan senang," gumamnya lirih, sambil menutup pintu mobil dengan pelan.

Namun, langkahnya terhenti sejenak saat matanya menangkap sosok yang sangat dikenalnya, Lusy berdiri di depan pintu rumah itu. Rambutnya sedikit terurai tertiup oleh angin malam, dan senyum cerah itu terpancar dari wajahnya.

Christopher segera mempercepat langkahnya, dan mendekatinya dengan cepat. Begitu sudah berada cukup dekat, ia langsung merengkuh gadis itu dalam pelukannya.

"Aku sudah bilang, jangan menunggu di luar seperti ini," ujarnya lembut, tapi dengan nada menegur.

"Kalau kau sakit, bagaimana?"

Lusy hanya terkekeh pelan, tidak membalasnya. Namun sebelum sempat ia mengatakan apa pun, Lusy tiba-tiba bersin cukup keras.

"A—Achoo!"

Christopher tersentak panik.

"Tuh kan!" katanya buru-buru. "Ayo masuk! Cepat!"

Ia menggandeng tangan Lusy dan membawanya masuk ke dalam rumah. Setelah memastikan gadis itu duduk di sofa, Christopher segera menuju dapur dan menuangkan air hangat ke dalam cangkir. Kemudian dia kembali dan menyodorkan cangkir itu dengan perhatian penuh.

"Minumlah ini. Hangatkan tubuhmu dulu," katanya sambil duduk di sampingnya.

Lusy menerima cangkir itu, lalu meniup permukaannya perlahan, kemudian menyesapnya sedikit. Hembusan napasnya terdengar tenang, dan perlahan ia menyandarkan kepalanya di bahu Christopher.

"Kau pernah bilang ingin mendengarku bermain piano, kan?" tanyanya tiba-tiba, dengan suara lembut.

"Tentu saja," jawab Christopher, mengangguk sambil tersenyum. "Aku masih menunggu hari itu."

"Aku pergi mencari piano hari ini," ujar Lusy pelan. "Tapi… tidak ada satupun yang kusukai."

Christopher menatapnya heran. "Kenapa kamu harus repot-repot mencarinya? Kau bisa memakai piano yang ada di rumahku. Kalau kau mau, aku bisa menyuruh orang untuk mengirimkannya besok."

Lusy menggeleng pelan. Wajahnya menunduk, dan senyum lembut tersungging di sudut bibirnya.

"Tidak… Piano itu sudah aku berikan padamu," bisiknya.

"Aku tidak bisa mengambil kembali hadiah yang sudah kuberikan."

Christopher terdiam. Matanya menatap Lusy dengan dalam. Lalu, dengan gerakan lembut, ia membelai kepala gadis itu dengan hangat.

"Baiklah," ucapnya akhirnya, suaranya hampir seperti sebuah janji.

"Lakukan apa pun yang kau inginkan. Asalkan kau bahagia."

Lusy tersenyum manis, lalu memeluk lengan Christopher dengan lembut. Hangatnya kehadiran pria itu membuat malam ini terasa lebih tenang.

Namun, tiba-tiba dia membuka suara, dia mengingat sesuatu yang cukup penting.

"Ngomong-ngomong, saat aku pergi mencari piano tadi siang..." ucapnya pelan, nadanya terdengar seperti sedang berpikir keras.

"Aku melihat Mia."

Christopher langsung menoleh, tatapannya tajam menelusuri wajah Lusy.

"Mia?" tanyanya dengan nada heran, namun perlahan berubah menjadi waspada.

Lusy mengangguk pelan.

"Ya. Dia berada di depan toko alat musik. Aku cukup yakin itu dia."

Raut wajah Christopher seketika berubah. Senyum di bibirnya memudar, digantikan oleh guratan keraguan dan kecemasan.

"...Kau yakin itu Mia?" tanyanya lagi, kali ini lebih serius.

"Aku yakin," jawab Lusy lembut.

"Dia terlihat sendirian dan berdiri cukup lama..."

Christopher menarik napas panjang.

"...Aku sudah memperingatkannya untuk tidak bermain piano lagi."

"Sejak awal pernikahan kami, dia tidak pernah lagi menyentuhnya. Bahkan tidak menoleh ke arah piano itu."

Lusy tampak berpura-pura bingung. Ia memiringkan kepalanya sedikit, seolah berusaha merasionalisasi kejadian itu.

"Mungkin saja dia hanya kebetulan lewat," ujarnya, sambil menahan senyum yang hampir tak terlihat.

"...Mungkin," jawab Christopher pelan, tapi jelas ada sesuatu di matanya yang tidak bisa ia sembunyikan.

Lusy perlahan berdiri dari sofa. Ia menepuk ringan lengan Christopher, lalu berkata lembut, "Baiklah, tunggu sebentar. Aku akan menyiapkan makanan untukmu."

Dia berjalan menuju dapur dengan langkah tenang. Namun, tepat sebelum masuk, ia berhenti di ambang pintu. Menolehkan kepala ke belakang, ia menatap pria itu sejenak dengan senyum tipis yang tak menjangkau matanya.

Dalam diam, pikirannya berbisik dengan nada licik.

"Semakin dekat ulang tahunmu, Chris... Semakin cepat aku akan menyingkirkannya."

Kemudian senyumannya melebar, menyembunyikan niat yang tidak pernah ingin diketahui oleh siapa pun.

.

.

.

.

.

.

.

- 𝐓𝐁𝐂 -

1
partini
semoga hati kamu benar benar mati rasa untuk suami mu Mia,
partini
semoga kau cepat mati Mia
partini: mati rasa Thor sama cris bukan mati raga atau nyawa hilang ,,dia tuh terlalu cinta bahkan cinta buta
dan bikin cinta itu hilang tanpa bekas
Phida Lee: jangan dong, kasihan Mia :(
total 2 replies
partini
drama masih lanjut lah mungkin Sampai bab 80an so cris nikmati aja
Sammai
Mia bodooh
partini
oh may ,ini satu satunya karakter wanita yg menyeknya lunar binasa yg aku baca ,,dah crIs kasih racun aja Mia biar mati kan selesai
Phida Lee: nah bener tuh kak 😒
total 1 replies
partini
crIs suatu saat kamu tau yg sebenarnya pasti menyesal laki laki tergoblok buta ga bisa lihat
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah
Sammai
Mia terlalu bodoh kalau kau terus bertahan untuk tinggal di rumah itu lebih baik pergi sejauh jauhnya coba bangkit cari kebahagiaanmu sendiri
partini
dari sinopsis bikin nyesek ini cerita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!