Aini adalah seorang istri setia yang harus menerima kenyataan pahit: suaminya, Varo, berselingkuh dengan adik kandungnya sendiri, Cilla. Puncaknya, Aini memergoki Varo dan Cilla sedang menjalin hubungan terlarang di dalam rumahnya.
Rasa sakit Aini semakin dalam ketika ia menyadari bahwa perselingkuhan ini ternyata diketahui dan direstui oleh ibunya, Ibu Dewi.
Dikhianati oleh tiga orang terdekatnya sekaligus, Aini menolak hancur. Ia bertekad bangkit dan menyusun rencana balas dendam untuk menghancurkan mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Saksikan bagaimana Aini membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bollyn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 : Alasan Konyol dan Pengkhianatan di Pagi Hari
Aini menutup wajahnya dengan kedua tangan, tangisnya pecah menjadi isakan yang menyakitkan. Kerongkongannya tercekat oleh rasa sakit.
Varo dan Cilla sama-sama berdiri kaku, wajah mereka pucat pasi.
“Aini, k-kamu jangan salah paham dulu!” Varo tergagap, langkahnya mundur menjauhi Cilla.
“Iya, Mbak! Jangan salah paham, please!” Cilla ikut-ikutan menyangkal, ekspresinya dipaksakan terlihat memelas.
Aini menurunkan tangannya. Air mata sudah membasahi pipinya, pandangannya kabur karena amarah.
“Tidak salah paham gimana, Mas? Terus ini apa? Apa yang baru saja kalian lakukan di sini?” suaranya terdengar serak dan penuh emosi.
Varo mencoba mendekat, tetapi Aini menghindar.
“Mas hanya menolong Cilla, Sayang. Sumpah, hanya menolong!”
“Nolongin apa, Mas? Nolongin buat cium Cilla?! Sejak kapan menolong itu harus sedekat itu?!” Aini berteriak, tidak peduli suaranya memantul di dapur yang sepi.
“Mbak, dengar dulu penjelasan kita! Mas Varo hanya mau membantu aku, Mbak, karena mata aku kelilipan,” Cilla menyela, mencoba menyajikan alasan yang sudah mereka sepakati dalam sepersekian detik.
Varo dengan cepat mengangguk, mendukung alibi Cilla.
“Iya, Aini. Tadi pas Mas mau wudhu, terus Cilla terjatuh karena tersandung kursi ini. Dan Mas pun langsung membantu dia bangun. Ternyata pas bangkit, matanya kelilipan.”
“Betul, Mbak! Tadi aku jatuh karena kakiku tersandung kursi sialan ini, terus mataku kelilipan. Soalnya lensa kontak yang aku pakai itu sedikit kegeser ke atas, jadinya perih banget,” Cilla menjelaskan dengan detail, berusaha meyakinkan Aini.
Jatuh, bangkit, kelilipan, dan harus dibantu dengan ciuman? Aini mengamati mereka. Alasan itu terdengar sangat konyol dan terlalu dibuat-buat. Tapi, kepanikan di wajah mereka juga terlihat nyata, seolah mereka benar-benar takut ketahuan melakukan hal yang lebih buruk.
“Kalian nggak bohong, kan?” tanya Aini lagi, tatapannya penuh selidik, mencoba mencari celah kebohongan di mata Varo.
“Sumpah, Mbak! Kami nggak bohong! Ini benar-benar kecelakaan kecil aja, kok, bukan yang aneh-aneh,” Cilla bersumpah dengan nada meyakinkan, menekan tangannya ke dada.
Varo pun langsung meraih tangan Aini.
“Iya, Sayang. Mas mana mungkin kayak gitu. Mas nggak mungkin merusak rumah tangga kita. Lagian Cilla ini adik ipar Mas dan sudah Mas anggap seperti adik kandung Mas juga. Jadi mana mungkin kami seperti itu.”
Varo mengelak lagi, tetapi tatapan matanya menghindari Aini. Padahal, Aini tahu dan bisa merasakan, bahwa hubungan mereka berdua lebih dari sekadar ipar.
Aini menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya perlahan. Kepalanya berdenyut sakit. Ia lelah berdebat, dan untuk saat ini, ia butuh ketenangan. Mungkin benar aku terlalu berlebihan. Mungkin memang hanya kecelakaan. Aku terlalu banyak menaruh curiga, pikir Aini, mencoba meyakinkan dirinya sendiri meskipun hatinya berteriak menolak.
“Baiklah, kalau begitu, Mas. Aku percaya. Mungkin aku saja yang sudah berlebihan memikirkan hal yang tidak mungkin bisa terjadi,” ucap Aini dengan suara lemah, ia memilih mundur dari konflik.
“Ya sudah kalau begitu, Mas mau ke kamar dulu untuk shalat,” ujar Varo lega, segera berlalu pergi menuju kamar, meninggalkan dua wanita itu di dapur.
“Mbak, jangan marah ya? Aku dan Mas Varo nggak mungkin seperti itu. Cilla minta maaf ya, Mbak,” ucap Cilla dengan wajah memelas yang terlihat sangat dibuat-buat, hanya untuk menepis sisa-sisa kecurigaan Aini.
“Iya, Mbak percaya, kok. Mbak juga minta maaf ya, Dek. Mbak terlalu sensitif belakangan ini,” kata Aini, berusaha mengendalikan diri.
“Iya, Mbak. Aku mau masuk ke kamar dulu ya, Mbak. Mau istirahat,” Cilla segera memanfaatkan kesempatan itu.
Cilla pun langsung masuk ke kamarnya.
“Huh! Hampir saja ketahuan. Mbak Aini memang sangat bodoh, gampang banget dibohongi,” ucap Cilla sinis di dalam kamar, mengunci pintu, dan tertawa pelan penuh kemenangan.
Aini pun kearah rak pirik mengambil piring guna menyiapkan makanan untuk makan malam mereka. Namun, sebenarnya pikirannya sangatlah tidak tenang. Apalagi dengan apa yang dilihatnya tadi, dan alasan Varo yang terkesan sangat dipaksakan.
“Apa perkataan mereka bohong? Kenapa aku merasa mereka menyembunyikan sesuatu dariku?” gumam Aini dalam hatinya, sambil mengaduk sup iga yang sudah mendingin.
“Sayang, apa sudah siap makanannya? Mas sudah lapar nih.” Tiba-tiba Varo muncul dari belakang Aini, memeluk pinggangnya, dan mengejutkannya.
“Astaghfirullah!” Aini terlonjak kaget karena melamun.
“Kamu kenapa, Sayang? Kok kaget gitu?” tanya Varo, berpura-pura sangat perhatian, memberikan ciuman singkat di pipi Aini.
“Eh, Mas. Nggak apa-apa, kok. Ini makanannya sudah siap. Mas duduk aja, aku mau panggilin Cilla dulu.” Aini melepaskan pelukan Varo dan segera meninggalkannya. Ia merasa tidak nyaman dengan sentuhan Varo setelah insiden di dapur tadi.
“Apa dia masih curiga?” gumam Varo dalam hatinya, sambil mengamati punggung Aini yang menjauh.
Tak lama kemudian, Aini dan Cilla tiba di meja makan. Mereka pun langsung duduk untuk menikmati makan malam.
“Ini, Mas.” Aini memberikan piring yang sudah terisi nasi dan lauk lainnya kepada Varo.
“Terima kasih, Sayang,” ucap Varo dengan senyum manisnya yang terasa palsu di mata Aini.
Aini hanya diam saja mendengar ucapan Varo yang memanggilnya dengan sebutan Sayang. Padahal, belakangan ini Varo sangat jarang menggunakan panggilan itu, kecuali jika ada maunya atau sedang menutupi sesuatu.
Sepasang mata tajam Cilla terus mengawasi mereka berdua. Cilla terlihat jelas tidak suka dengan panggilan Varo yang terdengar sok romantis itu kepada Aini.
Mereka pun menyantap makanan masing-masing. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka, hanya terdengar dentingan piring yang memecah keheningan yang tegang.
Setelah makan malam selesai, seperti biasa, Aini langsung membereskan bekas makanan mereka, dan tak lupa langsung mencuci piring.
Namun, tanpa Aini ketahui, Varo mendekat ke arah Cilla yang masih duduk santai di meja makan dan membisikkan sesuatu di telinganya. Cilla langsung tersenyum genit, matanya membalas tatapan Varo dengan penuh arti. Entah apa yang dibisikkan Varo kepadanya, hanya mereka berdua saja yang tahu. Aini yang sedang mencuci piring di sudut dapur hanya bisa melihat bayangan mereka, dan itu cukup membuat hatinya perih. Walaupun dia belum tahu pasti apa hubungan suami dan adiknya.
Setelah selesai mencuci piring, Aini pun langsung mencari Cilla untuk membahas kedatangannya dan rencananya kuliah.
“Tok tok tok.” Suara ketukan pintu kamar Cilla.
“Siapa?” teriak Cilla dari dalam kamar, nadanya malas.
“Ini Mbak, Dek,” jawab Aini. Tak lama, pintu kamar Cilla dibuka.
“Ada apa, Mbak? Aku capek banget nih, mau tidur,” ucap Cilla dengan sedikit malas.
“Mbak boleh masuk? Kita bicara di dalam sebentar saja,” pinta Aini.
“Hmm, iya, boleh.” Mereka berdua pun masuk ke kamar.
“Ada apa, Mbak? Jangan lama-lama ya, aku ngantuk banget,” potong Cilla, langsung merebahkan diri di kasur.
“Mbak hanya mau tanya soal kuliah kamu. Ibu bilang kan kamu mau kuliah di kota ini,” Aini memulai pembicaraan dengan suara lembut, berusaha bersikap selayaknya kakak.
“Oh, itu. Iya, Mbak. Rencana aku mau kuliah di sini. Kan lumayan, nggak keluar uang buat ngekos lagi,” jawab Cilla santai, sambil memainkan ponsel.
“Kamu sudah tahu mau kuliah di kampus mana? Sudah pasti dapat tempat?” tanya Aini lagi.
“Iya, sudah, Mbak. Ini rencana besok mau ngumpulin berkas pendaftaran ke kampus,” jawab Cilla.
“Ya sudah, kalau gitu Mbak setuju dan dukung kamu tinggal, dan kuliah di sini. Tapi ada syaratnya.”
Cilla langsung duduk, wajahnya berubah bingung.
“Syarat? Maksud Mbak apa?”
“Mbak mau kamu bersungguh-sungguh dengan kuliah kamu, Dek. Jangan kamu sia-siakan kesempatan ini. Jaga sikap dan fokus belajar,” ucap Aini, mencoba menasihati.
“Oh, masalah itu. Ya pasti aku serius, dong, Mbak! Kuliahnya!” jawab Cilla dengan nada sedikit kesal karena merasa diremehkan.
“Kamu janji dengan Mbak ya. Jangan sampai kamu bertingkah seperti saat kamu sekolah dulu. Di sini ada Mas Varo, kamu harus bersikap sopan,” Aini menekankan.
“Iya, Mbak, aku janji! Sudah ya, Mbak, aku ngantuk banget nih, mau tidur.” Cilla memberikan isyarat jelas agar Aini segera keluar.
“Ya sudah, Mbak keluar dulu.” Aini pun beranjak menuju pintu.
“Eh, Mbak, tunggu dulu!”
Aini menoleh. “Apa lagi, Dek?”
“Besok aku minta tolong sama Mas Varo, ya, untuk anterin aku ke kampus. Aku kan belum begitu tahu di mana kampusnya, takut tersesat,” pinta Cilla dengan wajah penuh harap.
Aini menghela napas.
“Iya, besok Mas Varo yang akan antar kamu.”
Aini pun langsung masuk ke kamarnya untuk tidur. Ternyata Varo sudah duluan tidur dengan pulas, membelakangi Aini. Aini ikut berbaring, mencoba memejamkan mata, dan tak lama dia pun ikut terlelap dalam kegelisahan.
****************
Keesokan harinya, Aini terbangun lebih awal. Pukul lima pagi. Dia pun langsung bersiap-siap untuk belanja di pasar, karena bahan masakan sudah hampir habis. Ia meninggalkan catatan kecil di meja samping ranjang untuk Varo.
Hampir satu jam Aini berbelanja di pasar, dan akhirnya dia pun bergegas pulang. Dia harus segera masak dan menyiapkan sarapan sebelum Varo dan Cilla berangkat.
“Assalamu’alaikum,” salam Aini saat membuka pintu. Namun, tidak ada jawaban dari dalam rumah.
“Loh, kok sepi?” gumam Aini. Ia melihat ke garasi. Mobil Varo masih terparkir.
“Apa Mas Varo dan Cilla sudah berangkat? Tapi ini kan masih jam enam pagi, dan mobil Mas Varo juga masih ada. Mungkin mereka masih tidur.”
Aini pun meletakkan belanjaannya di dapur dan masuk ke kamar untuk membangunkan suaminya. Namun, Varo tak ditemukan lagi di kasur.
“Loh, ke mana Mas Varo?” gumam Aini sambil mencari ke kamar mandi, namun Varo juga tidak ada.
Aini pun keluar dan berjalan menuju kamar Cilla. Ia berencana membangunkan adiknya itu agar tidak terlambat ke kampus.
Namun, sebelum pintu diketuk, Aini mendengar suara aneh dari dalam kamar Cilla.
Krieet… Krieet… Krieet…
Suara itu terdengar samar, berirama lambat, seperti suara kasur yang bergesekan dengan dinding. Suara itu terasa tidak asing lagi di telinga Aini. Itu adalah suara saat dia dan Varo sedang...
Tiba-tiba, suara erangan tertahan terdengar.
“Nghhh, Massss…”
“Astaghfirullah! Itu suara… se-seperti…” Gumam Aini, lututnya lemas. Jantungnya berdebar kencang, darahnya terasa berhenti mengalir.
Aini menempelkan telinga di pintu kamar Cilla guna menajamkan pendengarannya. Ia berdoa semoga ia salah dengar.
“Sssshhhhh… ahhh, Massss, a-aku hampir sampai…”
“Tahan sebentar, Sayang… kita keluar bersama…”
Tangan Aini refleks langsung menutup mulut. Suara itu, walaupun tertahan dan tidak terlalu keras, adalah suara yang sangat ia kenali. Itu adalah suara desahan kenikmatan Cilla. Dan suara berat yang menjawab itu, adalah suara Varo, suaminya.
Kepala Aini terasa disambar petir. Ia mundur perlahan, seolah pintu itu adalah api yang membakar. Matanya membulat, menatap pintu kamar adiknya dengan pandangan kosong, penuh rasa dikhianati yang teramat dalam. Pengkhianatan itu bukan lagi kecurigaan, bukan lagi salah paham, melainkan kenyataan yang menghantamnya hingga ke dasar jiwa.
Bersambung
****************