Kehidupan yang di alami orang sekitarnya, terutama kakak nya sendiri membuat Harfa tak mau menjalani yang namanya pernikahan.
Apalagi, setelah Biru, membatalkan pernikahan mereka. Membuat hati Harfa begitu dingin akan yang namanya cinta. Mengunci hati hingga sulit di tembus.
Perubahan Harfa membuat kedua orang tuanya merasa sedih. Apalagi usia Harfa tak lagi mudah.
"Nak, menikahlah. Usia kamu sudah matang?"
"Tidak. Aku gak mau menikah, Ummah."
Jawab tegas Harfa membuat hati umma Sinta teriris.
yuk ikuti kisah nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahma qolayuby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Tolong bantu saya
"Bukankah sebuah kematian sudah di garis takdirkan Allah? Tapi kenapa mereka tak menerima akan takdir itu."
Dokter Harfa terus terngiang-ngiang dengan kalimat yang di ucapkan oleh pemuda misterius itu. Bagi dokter Harfa pemuda itu sungguh misterius. Kenapa bisa tahu jika cincin berlian itu miliknya.
Kata-kata itu sangat dalam hingga membuat dokter Harfa tak tahu harus membalasnya seperti apa.
Kematian memang sudah di garis takdirkan oleh Allah.
Mereka tak menerima takdir itu!
Kalimat terakhir yang paling menampar dokter Harfa. Seolah kata itu benar-benar di tunjukan untuk dokter Harfa. Entah kebetulan atau apa.
Namun, yang menjadi fokus dokter Harfa bukan hanya tentang hal dirinya sendiri melainkan siapa mereka yang di maksud pemuda itu. Apa pemuda itu mempunyai konflik. Tapi dengan siapa? Setiap bertemu pasti keadaan pemuda itu tak baik-baik saja.
Pertemuan malam itu membuat dokter Harfa ingin dekat dengan pemuda itu seolah ada sesuatu yang menarik dokter Harfa untuk mengenal pemuda itu.
dokter Harfa sendiri tak tahu apa yang membuatnya penasaran akan apa yang terjadi pada pemuda itu.
Dengan semangat dokter Harfa menghampiri ruang rawat pemuda itu.
Kosong!
Dokter Harfa mengerutkan kening melihat ruangan itu sudah kosong dan rapih.
"Maaf sus, pasien di sini di kemana?"
"Sudah pulang dok,"
"Pulang! Bukan kah dia masih dalam perawatan?"
"Kurang tahu dok, soalnya pasien di bawa oleh beberapa orang berpakaian hitam."
Mendengar itu membuat dokter Harfa semakin penasaran. Siapa sebenarnya pemuda itu kenapa membuat dokter Harfa benar-benar penasaran.
Dokter Harfa keluar dari ruang kosong itu dengan perasaan hampa.
"Pagi-pagi melamun saja, ada apa?"
Tanya dokter Zahra, merangkul lengan dokter Harfa manja.
"Gak ada."
"Hm, tapi kamu seperti sedang memikirkan sesuatu."
"Hay,"
Seru dokter Sam melambaikan tangan membuat dokter Zahra dengan girang membalas lambaian dokter Sam.
Dokter Zahra menarik lengan dokter Harfa menghampiri dokter Sam yang sedang bersama dokter Langit.
"Sarapan belum sayang?"
"Belum cinta."
"Kita sarapan bareng-bareng yuk?"
"Asik dapat gratisan, Awwsst..,"
Dokter Zahra mengerucutkan bibirnya gemas sambil mengusap keningnya yang di jitak dokter Harfa.
"Sakit tahu."
"Makannya jangan banyak tingkah."
"Sudah-sudah ayo kita sarapan."
Lerai dokter Langit yang sejak tadi diam ikut angkat bicara juga. Karena jika sudah berdebat kedua dokter cantik itu tak akan berhenti.
Mereka berempat sarapan dengan tenang. Hingga pergi untuk mengerjakan pekerjaan masing-masing.
Setiap hari rumah sakit tidak bisa di prediksi. Kadang pasien membeludak kadang tidak. Ketika membeludak pasien maka seorang dokter harus siapa.
Hal nya seperti saat ini. Dokter Harfa dan dokter lain begitu sibuk. Hal itu membuat dokter Harfa sedikit lupa akan suasana hatinya.
Apakah hatinya sudah baik-baik saja atau tidak. Hanya Dokter Harfa yang tahu.
Darah segar mengotori kedua tangan dokter Harfa. Tak membuat dokter Harfa jijik sama sekali. Matanya terus fokus pada jarum dan benang yang ia tanjab kan untuk menjahit luka pasien.
Lukanya cukup dalam membuat pasien harus mendapat jahitan sebanyak dua puluh jahitan.
"Alhamdulillah."
Gumam dokter Harfa setelah selesai menjahit luka pasien nya. Sang suster dengan cekatan mengelap keringat yang ada di dahi dokter Harfa agar tidak menggangu aktivitas dokter Harfa.
"Kerja bagus, sus."
Ucap dokter Harfa langsung keluar dari ruangan tersebut.
Tubuh dokter Harfa rasanya lelah dan butuh yang segar-segar agar memulihkan tenaganya.
Dokter Harfa berpikir apa yang harus ia beli. Setidaknya dokter Harfa harus memanjakan perutnya juga di sela kesibukannya. Jangan sampai dokter Harfa telat makan seperti kemarin-kemarin.
"Sudah selesai, dok?"
"Alhamdulillah sudah. Bagaimana dengan operasi nenek Dilah?"
"Alhamdulillah lancar. Walau awalnya sulit sekali untuk membujuk nenek Dilah untuk melakukan operasi."
"Hm, Nenek Dilah terlalu takut suntikan saja."
"Ya, tapi semua bisa di atasi."
"Mau kemana?"
Dokter Langit menghentikan langkahnya karena dokter Harfa melangkah keluar rumah sakit.
"Beli rujak. Seperti nya enak untuk penghilang penat."
"Gak kopi?"
"Gak."
"Saya ikut."
Dokter Langit tersenyum karena dokter Harfa tak menolaknya.
Mereka berdua beriringan keluar rumah sakit. Karena penjual rujak ada di area luar rumah sakit. Padahal dokter Harfa bisa saja menyuruh perawat atau siapa untuk membelikannya. Tapi itulah dokter Harfa, selagi ia mampu maka ia akan melakukannya sendiri buat apa merepotkan orang lain.
"Bagaimana kabar kakak Ifa?"
"Alhamdulillah baik."
"Duduk lah, biar saya yang pesan kan."
Dokter Harfa duduk di salah satu kursi yang di sediakan. Membiarkan dokter Langit memesankan pesanan nya.
Mereka teman baik dari dulu, suka kemana-mana berempat. Tentu satu sama lain tahu kesukaan masing-masing.
"Nih."
"Makasih, dok."
"Jangan terlalu formal. Ini di luar rumah sakit."
Dokter Harfa tak menanggapi. Lebih memilih memakan rujak saja. Rasanya begitu nikmat membuat penat dokter Harfa sedikit teratasi.
Bukan hanya membeli rujak dokter Harfa juga membeli sosis bakar.
Sudah perut dokter Harfa kenyang, dokter Harfa dan dokter Langit memutuskan kembali karena takut ada yang mencari mereka walau ini masih jam istirahat. Namun, hal darurat selalu saja ada.
Dokter Harfa menghentikan langkahnya membuat dokter Langit juga menghentikan langkahnya.
"Ada apa, Fa?"
Dokter Harfa memicingkan kedua matanya melihat sosok yang berdiri di ujung sebrang jalan sana. Hingga sebuah mobil melintas membuat dokter kehilangan langkah orang itu.
"Gak mungkin, kan."
Gumam dokter Harfa merasa jantungnya berdetak kencang. Dokter Harfa tak mungkin salah lihat.
"Gak mungkin."
Tekan dokter Harfa meyakin kan diri jika apa yang dia lihat bukan Bumi. Buat apa Bumi ada di sana juga.
"Harfa kamu kenapa? lihat siapa?"
Tegur dokter Langit membuat dokter Harfa menggelengkan kepala dengan raut wajah berubah.
"Gak ada, ayok masuk."
Dokter Langit memerhatikan arah yang di lihat dokter Harfa tadi. Tak ada siapa-siapa di sana. Membuat dokter Langit merinding.
"Dokter Harfa."
Lagi, langkah dokter Harfa terhenti melihat pemuda yang kemarin dia obati malah kabur tidak pamit sedikit pun terhadapnya.
Dokter Langit memicingkan kedua matanya melihat pemuda di depannya. Terlihat tampan walau wajahnya punya bekas luka.
"Ada apa?"
Ketus Dokter Harfa masih kesal karena pemuda itu pergi tanpa izin darinya.
"Maaf, ada sesuatu yang mendesak. Hingga pergi tak pamit pada dokter."
Tumben sekali minta maaf pada dokter Harfa. Biasanya juga sikap pemuda itu acuh tak acuh. Tapi, kini terlihat berbeda, sorot matanya juga terlihat hangat.
"Tolong bantu saya?"
Mata dokter Langit melotot melihat pemuda itu memegang lengan dokter Harfa. Ada rasa tak terima, pasalnya dirinya saja tak pernah memegang lengan dokter Harfa.
Ingin protes tapi apa hak dia. Dokter Harfa saja diam.
Bersambung .....
Jangan lupa Like, Hadiah,, komen, dan Vote Terimakasih ....