Seorang wanita muda bernama Misha, meninggal karena tertembak. Namun, jiwanya tidak ingin meninggalkan dunia ini dan meminta kesempatan kedua.
Misha kemudian terbangun dalam tubuh seorang wanita lain, bernama Vienna, yang sudah menikah dengan seorang pria bernama Rian. Vienna meninggal karena Rian dan Misha harus mengambil alih kehidupannya.
Bagaimana kisahnya? Simak yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AgviRa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah tingkah
Dewi melihat Tika keluar dari kamar menenteng satu tas besar menjadi penasaran.
"Mau kemana kamu? Baru juga datang sudah mau pergi lagi."
Tika melirik Dewi sengit.
"Anakmu sudah mengusirku. Lalu untuk apa aku masih disini?"
"Kenapa kamu sampai diusir sama Rian? Pasti kamu berbuat salah ya kan? Makanya jadi wanita itu jangan durkaha. Jangan seenaknya sendiri. Kamu itu hamil. Bukannya diam saja di rumah eh malah keluyuran terus. Jangan-jangan kamu diluaran sana-,"
"Apa? Mama mau bilang apa? Gak usah sok deh. Gak tahu apa-apa gak usah sok nuduh. Udah, aku mau pergi dari rumah neraka ini. Kere aja banyak bac*t." Tanpa menghiraukan Dewi, Tika melangkah pergi meninggalkan Dewi.
"Astaga, dia itu kenapa sih?" Dewi mengusap dadanya.
Dewi beranjak dari tempat duduk dan memanggil anaknya.
"Rian, Rian."
Dewi masuk ke dalam kamar Rian karena pintu kamar tidak tertutup.
"Heh Rian. Ya ampun kenapa kerjaanmu hanya tidur aja sih? Rian, bangun. Mama mau tanya sesuatu."
Eugghhh,,,Rian pun membuka matanya.
"Apa sih, Ma?"
"Itu, emang bener kamu mengusir Tika dari sini? Dia itu hamil anak kamu loh?"
"Jangan bilang itu anakku, Ma. Itu bukan anakku."
Dewi mendelik. "Hah, terus anak siapa dong? Anak Refan? Tapi, mereka berdua kan tidak pernah tidur bersama."
"Bukan, dia anak suami temannya Tika. Mereka berselingkuh dibelakang. Aku juga baru kemarin tahu hal itu. Aku gak sengaja melihatnya jalan sama itu laki. Pas itu aku lagi sama klien."
Memang sehari sebelumnya, Rian sedang menemani gebetannya ke Mall. Gebetannya itu juga salah satu teman Tika dan Fani. Tanpa sengaja mereka berdua melihat Tika dan Ferdi jalan bersama dengan saling bergandengan tangan. Makanya tadi Fani bisa tahu kalau Tika ada main dengan Ferdi karena temannyalah yang memberitahu.
Karena ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri, Fani hari ini mengikuti kemana Ferdi pergi dan beruntunglah Fani bisa memergoki suami dan sahabatnya itu, akhirnya sampailah Fani melabrak keduanya.
"Wah, teman sendiri aja dia tikung. Tapi, kalau kamu usir Tika sekarang, kita tidak akan dapat jatah penjualan tanahnya yang ada di kampung, Rian."
"Hallah, Mama itu jangan percaya sama dia. Itu hanya akal-akalan dia saja. Kita itu hanya ditipu sama dia. Sudah, Mama keluar sana, Rian masih ngantuk. Jangan ganggu aku tidur. Nanti malam aku masih ada kerjaan."
Hmmmm
Dewi mau tak mau beranjak keluar dari kamar Rian.
*****
Refan yang masih berada di Kantor langsung pulang dengan terburu-buru. Bagaimana tidak? Kedua orang tuanya pulang dari luar negeri tapi, dia sama sekali tidak dikabari.
Sesampainya di rumah, Refan langsung berlari menghampiri kedua orang tuanya yang sedang duduk manis di sofa ruang tengah bersama Misha.
"Papa, Mama. Kenapa kalian tidak mengabari aku?"
Refan kini tengah memeluk erat Mamanya.
"Kita berdua sengaja ingin memberi kejutan untukmu tapi, tak disangka kita tadi malah kena rampok di simpang jalan sana." Jawab Harja.
Refan merenggangkan pelukannya dan mendongak menatap Papanya.
"Kalian dirampok? Lalu?"
"Iya. Kita berdua tidak diapa-apain, hanya saja Pak Cecep bonyok karena dikeroyok para perampok. Tapi, sekarang dia sudah di bawa ke Rumah Sakit. Untung ada Nak Misha ini yang menolong kita berdua. Dia jago berkelahi loh. Yang bikin kaget ternyata dia bekerja disini toh? Oh ya Refan, mobil Nak Misha masih berada di pinggir jalan sana."
Refan menatap Misha.
"Kamu melawan mereka sendirian, Sha?" Tanya Refan menatap kagum Misha.
Misha sendiri hanya mengangguk.
"Hebat. Terima kasih ya, Sha. Kamu sudah menolong Papa dan Mama, aku. Aku berhutang budi sama kamu. Nanti mobilmu biar diambil sama orangku."
"Ah, Mas Refan ngomong apa sih? Gak ada hutang budi disini. Mungkin ini suatu takdir untuk mempertemukan Misha dengan kedua orang tua, Mas Refan. Tapi, aku tadi beneran kaget kalau mereka ini kedua orang tua Mas Refan."
Refan manggut-manggut dan menyinggungkan senyum.
"Em, takdir ya, Sha?" Goda Refan.
"Ya itu maksudnya, itu loh, Mas. Pokoknya gitu deh."
Refan tersenyum dengan sikap salah tingkahnya Misha.
"Sudah, jangan godain Nak Misha. Kasihan tuh malu."
Misha hanya bisa senyum-senyum canggung, sementara Refan gemas melihat Misha. Tak mau membuat Misha mati kutu, akhirnya Refan mengubah topik.
"Refan seneng banget Papa dan Mama akhirnya mau pulang ke Indonesia. Lihatlah, sudah berapa lama kalian pergi. Anakmu ini begitu kesepian. Mana tubuhku kurus begini."
Refan terlihat seperti anak kecil yang sedang merengek haus akan kasih sayang. Bertahun-tahun tidak bertemu dengan kedua orang tuanya, karena mereka ingin menenangkan diri atas kepergian anak bungsunya.
Misha berdecih dalam hati.
'Cih, kurus darimana? Hiperbola banget. Ternyata Mas Refan manja juga ya? Kelihatan banget sih.' Batin Masha.
"Maafkan kita ya, Le. Dulu Mama terlalu larut dalam kesedihan. Sekarang Mama sudah bisa mengikhlaskan. Mulai sekarang, Mama dan Papa akan tinggal disini."
"Iya, Fan. Kita akan fokus disini. Bagaimana perusahaan?"
"Perusahaan maju dengan pesat, Pa. Papa tidak perlu khawatir."
"Bagus-bagus. Kamu memang patut diacungi jempol."
"Iya dong, anak siapa dulu." Ucap Refan sambil menaikkan turunkan kedua alisnya. "Oh, ya Pa, Ma. Misha ini meski bekerja disini tapi, dia bukan pelayan loh. Dia asisten pribadiku dan itu hanya satu bulan ini saja." Sambung Refan menjelaskan perihal Misha.
"Kenapa gak kamu jadikan dia istri saja sekalian, lagian kerja kok cuma satu bulan! Tanggung amat, lagian Nak Misha ini terlihat baik dan tulus."
"Iya, Le. Mama juga setuju dengan apa yang dikatakan Papamu. Apalagi kalau Nak Misha mau menjadi mantu, Mama berasa punya anak perempuan lagi." Sambung Ayu.
Seketika ucapan Harja dan Ayu membuat Refan dan Misha saling diam. Mereka sama-sama terlihat salah tingkah. Wajah Misha tidak bisa dibohongi, terlihat wajahnya kini berubah memerah kerena menahan malu.
"Hayo gimana? Papa setuju loh."
"Papa, lihat sepertinya Nak Misha malu, lihat tuh wajahnya sudah seperti kepiting rebus."
Harja menoleh ke arah Misha, lalu menoleh ke arah Refan. Bibir Harja mengukir senyum.
"Apalagi anak kita, telinganya juga memerah. Kompak sekali mereka."
"Sudah, kalian ini kenapa malah meledek aku sama Misha sih. Tapi, Refan maunya sih seperti itu, Pa, Ma. Cuma sepertinya yang mau dijadikan ratu belum bisa balas rasaku."
Refan melirik Misha.
Sedang Misha memilih memalingkah wajahnya menatap kearah lain. Dia merasa canggung dan memilih ijin untuk pergi ke dapur.
Harja dan Ayu hanya bisa menahan senyum melihat tingkah keduanya.
Nantinya Refan akan menjelaskan kepada kedua orang tuanya perihal Misha. Tapi, tidak untuk saat ini. Dia masih perlu waktu. Takutnya Misha malah tertekan kalau kedua orang tuanya mendesaknya untuk menikahi Misha.
*****
Tika saat ini sedang berada di depan gerbang rumahnya Fani. Dia berteriak-teriak minta dibukakan pintu gerbangnya, namun satpam yang menjaga tidak juga membukakan.
"Heh, satpam bod0h, cepat kamu buka pintu gerbangnya! Bukankah kamu sudah mengenalku? Aku ada urusan penting dengan majikanmu." Teriak Tika dari luar gerbang.
"Maaf, Mbak. Saya sudah diperingati sama Bu Fani untuk tidak menerima tamu, apalagi itu Anda. Lebih baik Anda pergi dari sini. Jangan berteriak-teriak disini, nanti dikira kami ngapa-ngapain Embak." Ucap satpam dengan nada sopan namun menegaskan.
"Aku gak akan pergi dari sini kalau belum bertemu dengan majikanmu."
"Ya sudah kalau Embaknya ngeyel. Yang jelas saya sudah memperingati Embak." Jawab satpam lalu membalikkan badan mengabaikan Tika.
"Heh, bod0h, mau kemana kamu? Bukakan dulu pintu gerbangnya. Kalau tidak aku akan membuat kerusuhan disini biar semua orang tahu kalau majikanmu itu b4j1ng4n." Tangannya mengepal dengan kuat.
Tika benar-benar emosi karena tidak dibukakan pintu gerbang oleh satpam. Dia sudah seperti orang stress. Karena Tika terus berteriak, semakin lama teriakannya semakin memelan dan hilang. Akhirnya Tika hari ini menyerah dan besok dia akan kembali lagi ke rumah tersebut.
Sementara didalam rumah Fani dan Ferdi sedang debat hebat. Ferdi meminta untuk diberikan satu kesempatan.
"Tolong, Ma. Maafkan Papa. Berilah Papa kesempatan sekali lagi. Papa mohon, Ma."
Fani sama sekali tidak menatap Ferdi, tatapannya kosong namun matanya terasa panas. Kelopaknya memerah dan matanya sudah berembun.
Ferdi menyentuh kaki Fani.
"Ma, tolong Ma. Beri sekali saja kesempatan padaku. Kalau nanti Papa terbukti masih ada main, Mama boleh melakukan apapun yang Mama mau. Bahkan jika Papa harus mati ditangan Mama, Papa siap."
Fani bergeming.
"Oke. Mama akan beri Papa kesempatan. Tapi, Papa harus turun dari jabatan Papa. Dan, Papa tidak boleh kemana-mana kecuali Mama yang minta."
Ferdi mendongakkan wajahnya menatap istrinya. Lalu dia bangkit dan berdiri, Ferdi menggenggam tangan Fani.
"Benar, Ma? Terima kasih ya, Ma. Terima kasih Mama masih mau memberikan Papa kesempatan. Semua akan Papa lakukan asal Papa masih bisa hidup bersama Mama. Apapun, Ma." Ucap Ferdi kegirangan dan mengecup tangan istrinya.
Fani menarik sudut bibirnya.