Tari Sukma Dara (24 Tahun) tidak tahu kalau sebuah kunjungan dari seseorang akan merubah nasibnya. Kehidupannya di Bandung sangat tenang dan damai, Ia tinggal di rumah tua dan membuka “Toko Bunga Dara”. Namun hari itu semua berubah, seorang perempuan bernama Tirtamarta Kertanegara mengatakan bahwa Ia adalah cucu kandungnya. Ia harus ikut ke Jakarta dan belajar dengan pamannya untuk menjadi penerusnya.
Gilang Adiyaksa (30 Tahun) tentu saja marah saat Tirtamarta yang Ia anggap seperti Ibunya sendiri mengatakan telah menemukan darah dagingnya. Tapi Ia tak bisa melakukan apapun, Ia hanya seorang anak angkat dan sekarang Gilang membimbing Tari agar menjadi cukup pantas dan apabila Tari tak cukup pantas maka Gilang akan menjadi penerus Kertanegara Beauty. Gilang membuat rencana membuat Tari percaya padanya lalu membuatnya hancur.
Hanya satu yang Gilang tidak rencanakan, bahwa Ia jatuh cinta pada keponakannya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - Kedatangan Cinta Pertama
Hari itu, hujan turun tipis membasahi kaca depan lobi kantor pusat Kartanegara Beauty. Tari baru saja selesai rapat dengan tim desain dan tengah menyelesaikan beberapa catatan di ponselnya ketika seorang satpam menghampiri.
"Bu Tari, ada tamu atas nama Rayhan. Menunggu di kafe lobi."
Jantung Tari melonjak.
Rayhan?
Dalam beberapa langkah tergesa, ia turun ke lantai dasar. Di antara meja-meja bundar dan suara musik instrumental lembut, ia melihat sosok laki-laki berkemeja linen biru, duduk dengan gelas teh panas di hadapannya. Senyumnya masih sama—hangat, bersahabat, dan... sangat Rayhan.
"Kamu kelihatan beda," ucapnya saat Tari mendekat.
"Jakarta memaksa orang berubah, Han," jawab Tari sambil tersenyum kaku. Ia duduk, menyeka lembap di tangannya ke rok. "Kapan kamu datang?"
"Pagi tadi. Lagi ada urusan kerjaan sebentar. Tapi ya... aku pengen ketemu kamu juga."
Tari tak langsung menjawab. Ada jeda yang lama. Sejak kepergiannya ke Jakarta, banyak hal yang belum sempat ia ceritakan. Dan wajah Rayhan sore itu tak lagi seperti sahabat lama, tapi seperti seseorang yang menyesal telah membiarkannya pergi.
Rayhan diajak naik ke ruang kerja Tari. Di lorong kantor yang bergengsi itu, pandangan para staf tertuju pada mereka. Dan yang paling menyorot, adalah satu pasang mata dari seberang koridor—mata Gilang.
Tari memperkenalkan mereka singkat. "Gilang, ini Rayhan, sahabatku dari SMA. Rayhan, ini Gilang."
Keduanya bersalaman. Singkat. Datar.
"Sudah lama di Jakarta, Mas Rayhan?" tanya Gilang sopan.
"Baru tadi pagi. Niatnya cuma mampir sebentar," jawab Rayhan sambil tersenyum, tapi matanya menelisik. "Tapi mungkin bisa diperpanjang, kalau suasananya mendukung."
Gilang mengangguk kecil, tersenyum tipis. "Semoga betah."
Begitu Gilang pergi, Rayhan berbisik, "Dia... dingin sekali."
Tari hanya tertawa gugup. "Dia memang begitu."
Tapi dalam hati, ia tahu—Gilang tak biasa bersikap sekaku itu. Bukan tanpa alasan.
Sore itu, Rayhan mengajak Tari makan malam di restoran kecil di kawasan Senopati. Bukan tempat mewah, hanya restoran dengan interior kayu dan lampu kuning redup. Persis seperti tempat makan kesukaan mereka di Bandung.
"Aku masih ingat kamu nggak suka sambal terlalu pedas," ucap Rayhan sambil menuangkan teh.
Tari tersenyum kecil. "Dan kamu selalu makan pakai tangan."
Mereka tertawa pelan, dan untuk sesaat, waktu seperti kembali ke tahun-tahun yang lalu—ketika segalanya belum serumit ini.
Namun momen itu tak bertahan lama.
Ketika Tari kembali ke kantor keesokan harinya, ia masuk lift bersama Gilang. Mereka berdua diam untuk waktu yang cukup lama sampai Gilang membuka suara.
"Teman lama kamu menyenangkan."
Tari menoleh. "Iya, dia selalu begitu."
"Kayaknya... dia lebih dari sekadar teman."
Tari mendesah pelan. "Kita pernah dekat. Tapi nggak pernah benar-benar menyatu."
Gilang menatapnya, diam. Ada sesuatu di matanya yang tak bisa Tari baca. Iri? Cemas? Atau hanya bingung?
"Kamu nggak tanya aku pergi makan sama siapa, semalam," ucap Tari tiba-tiba.
"Aku tahu jawabannya."
"Dan kamu nggak marah?"
"Harusnya?"
Tari menatap lantai lift, berusaha menahan senyum getir.
Sebelum kembali ke Bandung, Rayhan meminta bertemu sekali lagi. Mereka duduk di taman kecil belakang rumah Bu Tirta—tempat yang biasa dipakai untuk acara keluarga atau rapat kecil. Sore itu sepi, hanya suara dedaunan dan cuitan burung yang menemani.
"Kamu kelihatan... jauh sekali, Tar."
"Kamu juga kelihatan... tidak berubah. Tapi mungkin itu yang membuat aku nyaman.
Rayhan tertawa kecil, lalu perlahan menjadi serius.
"Tari, aku cuma ingin bilang sesuatu sebelum aku pergi."
Tari mengangkat wajah.
"Sejak dulu... aku mencintaimu. Mungkin kamu tahu. Mungkin juga tidak. Tapi aku nggak pernah bisa benar-benar lepas dari perasaan itu. Dan sekarang... aku nyesel. Karena aku datang terlambat."
Tari terdiam. Angin sore meniup rambutnya pelan.
"Aku lihat kamu sekarang, dan aku tahu... kamu udah nggak bisa aku kejar."
Tari menggenggam tangannya sendiri, erat.
"Rayhan, kamu akan selalu jadi bagian dari hidupku. Tapi... aku nggak bisa kembali ke masa lalu."
Rayhan mengangguk pelan. Wajahnya tenang, tapi ada gurat kecewa yang tak bisa disembunyikan.
"Aku tahu. Aku cuma ingin kamu tahu. Itu saja."
Ketika ia pamit dan berlalu meninggalkan rumah, Tari menatap punggungnya lama. Ada rasa hangat yang tersisa. Tapi juga kelegaan. Karena kali ini, ia tahu siapa yang hatinya sedang ia jaga.
Dan itu bukan lagi Rayhan.