Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Kembali
Waktu terus bergulir, dan keheningan di kamar VVIP-203 perlahan berubah menjadi kegelisahan. Jam dinding di atas pintu menunjukkan bahwa hampir satu jam telah berlalu sejak Arsen keluar bersama perawat menuju ruang dokter Andra. Namun, hingga detik ini, ia belum juga kembali. Anita, yang awalnya mencoba beristirahat sebagaimana diminta suaminya, kini justru gelisah. Tatapannya tak lepas dari pintu kamar, seolah berharap setiap bunyi langkah yang terdengar dari lorong adalah suara kaki Arsen yang pulang membawa kabar.
Miranda duduk di sisi ranjang, tangannya masih menggenggam jemari Anita dengan hangat. Ia dapat merasakan keresahan menantunya, yang kian nyata dari gerakan gelisah tubuhnya dan pandangan mata yang penuh kecemasan.
“Ma…” suara Anita terdengar pelan, hampir seperti bisikan. “Sudah lama sekali, ya? Kenapa mas Arsen belum juga kembali? Katanya hanya sebentar…”
Miranda tersenyum menenangkan, meski ia sendiri menyadari bahwa waktu sudah lewat dari batas wajar yang dikatakan. Ia berusaha tetap tenang di hadapan Anita, berusaha menutupi sedikit kekhawatiran yang mulai menjalari benaknya.
“Mungkin dokter menjelaskan cukup panjang, Nak. Mungkin ada hal-hal teknis yang perlu ia pahami terlebih dahulu,” jawab Miranda lembut. “Kamu tenang saja, sebentar lagi pasti kembali. Mungkin… lima belas menit lagi?”
Anita mengangguk kecil, meski jelas bahwa hatinya tidak tenang. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, matanya masih terpaku ke arah pintu. Lima belas menit pun berlalu dalam keheningan yang tak nyaman. Miranda melirik jam, lalu menatap Anita dengan pandangan prihatin. Tidak bisa terus seperti ini. Kegelisahan akan membawa dampak buruk bagi kondisi Anita, terlebih tubuhnya sedang lemah.
“Aneh sekali, bagaimana kalau mama mencarinya?” ucap Miranda, bangkit dari duduknya.
Anita refleks menatap Miranda, matanya mengandung harap. “Iya, Ma… Tolong cari mas Arsen. Aku mulai khawatir”
Miranda mengangguk. Ia kemudian menekan tombol panggilan perawat yang terletak di sisi tempat tidur. Tak lama kemudian, seorang perawat muda masuk ke kamar dengan senyum sopan.
“Permisi, ada yang bisa saya bantu?” tanya perawat.
“Suster, tolong temani menantu saya sebentar, ya. Saya harus mencari suaminya yang belum kembali,” ujar Miranda dengan nada tegas namun tetap lembut.
“Tentu, Bu. Saya akan di sini,” jawab perawat sigap.
Setelah memastikan Anita dalam pengawasan, Miranda keluar dari kamar dengan langkah cepat namun tetap menjaga wibawanya. Ia menuju lantai administrasi medis, tepatnya ke ruang kerja dokter Andra. Ia tiba di depan pintu bertuliskan “Ruang Dokter – dr. Andra, SpOG” dan mengetuk perlahan.
“Silakan masuk,” terdengar suara dari dalam.
Miranda membuka pintu dan masuk. Dokter Andra tengah duduk sambil melihat berkas-berkas. Ia mengangkat wajahnya, menyambut kedatangan Miranda dengan ekspresi tenang.
“Dokter Andra, maaf mengganggu,” ucap Miranda sopan. “Apakah putra saya, Arsen, masih berada di sini? Ia tadi ke sini, bukan?”
Dokter Andra tampak sedikit heran, lalu menggeleng pelan. “Pak Arsen sudah keluar sekitar tiga puluh menit yang lalu, Bu. Setelah kami selesai berbicara, beliau langsung pamit.”
Ekspresi Miranda seketika berubah. “T-tiga puluh menit yang lalu? Tapi… ia belum kembali ke kamar…”
Dokter Andra ikut berpikir, “Saya kira beliau langsung kembali ke kamar. Apakah belum sampai juga, Bu?” nadanya penuh perhatian.
Miranda menggeleng dengan cemas. “Belum. Itu sebabnya saya ke sini…”
“Apakah mungkin beliau ingin menenangkan diri sebentar? Mungkin kabar yang saya sampaikan cukup berat bagi beliau,” ujar dokter hati-hati.
Miranda tidak menanggapi secara langsung. Ia hanya mengucapkan terima kasih, lalu segera bergegas keluar dari ruangan. Perasaannya mulai tidak tenang. Ke mana Arsen pergi? Dan lagi, kabar yang cukup berat katanya??
Miranda mencoba menghubungi ponsel Arsen. Satu kali… dua kali… tiga kali. Tak ada jawaban. Ponsel aktif, tetapi tidak diangkat. Ia mulai mempercepat langkah, menyusuri koridor demi koridor rumah sakit. Beberapa kali ia berhenti untuk bertanya pada petugas, namun tak ada yang melihat Arsen lewat.
Setelah hampir setengah jam berkeliling, Miranda memutuskan mencari ke arah taman belakang rumah sakit—sebuah area terbuka kecil yang sering dijadikan tempat istirahat keluarga pasien. Ia menuruni tangga darurat, melewati lorong menuju pintu kaca besar yang mengarah ke taman.
Di sana, di bangku kayu dekat kolam kecil, tampak sosok yang sangat ia kenal. Arsen. Duduk membungkuk, wajahnya tertunduk, kedua tangan menutupi muka. Pundaknya tampak naik turun, entah karena napas berat atau… mungkin sedang menangis.
Miranda mendekat dengan langkah pelan. Saat jarak sudah cukup dekat, ia menghentikan langkahnya sejenak dan menatap anak lelakinya dengan tatapan campur aduk antara iba dan kesal.
“Arsen,” tegurnya pelan namun tegas. “Apa yang kamu lakukan di sini? Sudah satu jam lebih kau tinggalkan istrimu menunggu tanpa kabar. Apa kamu tidak sadar dia semakin cemas menunggumu?”
Arsen tidak langsung menjawab. Ia hanya mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu menengadah sebentar ke langit yang mendung, seolah mencari kekuatan di balik awan. Ia tampak sangat berbeda dari biasanya—lelaki dewasa yang selalu tenang, kini tampak begitu rapuh.
Miranda menghela napas, lalu duduk di sampingnya. Sejenak keduanya terdiam. Hanya suara gemericik air dari kolam kecil yang terdengar di antara mereka.
“Aku tidak tahu harus bilang apa, Ma…” suara Arsen akhirnya keluar, serak, nyaris tak terdengar. “Aku tidak tahu bagaimana harus menyampaikan ini kepada kalian…”
Miranda menoleh pelan. “Apa yang dikatakan dokter padamu tadi?”
Butuh beberapa detik sebelum Arsen menjawab. Ia menarik napas dalam, mencoba menyusun kekuatan dari serpihan emosinya.
“Anita… dia tidak hamil, Ma,” jawab Arsen, matanya menatap kosong ke depan. “Yang tumbuh dalam rahimnya… bukan janin. Tapi jaringan abnormal. Kata dokter, Anita mengalami kasus hamil anggur.”
Miranda membeku. Matanya melebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Ia menatap Arsen dalam diam, mencoba mencerna kenyataan yang tiba-tiba terasa begitu kejam.
“Ya Tuhan…” bisiknya.
“Selama ini… kami begitu yakin. Kami bahagia. Kami pikir… kami akan menjadi orang tua. Aku sudah membayangkan banyak hal, Ma…” Arsen menunduk lagi. “Dan sekarang semua itu… tidak nyata.”
Miranda menyentuh bahu Arsen dengan lembut, mencoba menyampaikan kehangatan dan kekuatan yang tersisa dalam dirinya. “Arsen… mama tahu ini berat. Tapi kamu tidak bisa diam di sini terlalu lama. Anita butuh kamu. Dia butuh tahu kebenaran ini… dan lebih dari itu, dia butuh kamu ada di sisinya saat ia mengetahuinya.”
Arsen menatap ibunya, matanya berkaca-kaca. “Bagaimana aku bisa memberitahu dia? Aku sendiri saja tidak kuat...”
Miranda menarik napas panjang, mencoba menahan segala kecemasan dan rasa kecewa yang bercampur dalam dadanya. “Mama tahu… ini berat. Tapi kamu tidak bisa terus diam di sini dan membiarkan istrimu menunggu dalam ketidakpastian.”
Masih tak ada jawaban. Arsen berusaha menahan emosi yang seolah meledak dari dalam dada. Miranda, dengan kelembutan yang hanya dimiliki seorang ibu, menyentuh lengan Arsen.
“Dengar, Nak. Kamu boleh merasa sedih. Boleh kecewa. Tapi bukan waktunya sekarang untuk tenggelam dalam duka kehilangan sesuatu yang bahkan belum sepenuhnya ada. Yang lebih penting saat ini adalah Anita. Istrimu.”
Arsen menggeleng pelan. “Ma… aku… aku belum siap. Aku pikir… aku pikir kami akan jadi orang tua. Aku pikir kami akan punya anak…” suaranya pecah, menggantung di antara rasa kehilangan dan luka yang baru terbentuk.
Miranda menatapnya lekat-lekat. “Mama tahu. Mama juga ikut merasa sakit mendengarnya. Tapi kamu tidak boleh membiarkan bayang-bayang tentang ‘apa yang seharusnya terjadi’ menutupi kenyataan yang ada sekarang.”
Ia mengusap punggung Arsen dengan lembut. “Anita bukan hanya kehilangan harapannya menjadi ibu. Dia juga sedang menghadapi ancaman kesehatan yang serius. Dia sedang membawa sesuatu yang tidak seharusnya tumbuh di dalam tubuhnya. Itu bukan sekadar gagal menjadi orang tua, Arsen. Ini soal hidup dan mati. Dan kamu harus kuat untuk itu.”
Miranda menghela napas berat. “Anita tidak butuh kamu untuk menjelaskan semuanya secara sempurna, Nak. Dia hanya butuh kamu di sisinya. Untuk menggenggam tangannya. Untuk memberinya kekuatan. Jangan pikirkan soal bayi itu dulu. Kalau memang belum waktunya menjadi ayah, mungkin memang Tuhan sedang meminta kamu bersabar sedikit lebih lama. Tapi kamu sudah menjadi suami—dan itu tanggung jawab yang tak boleh kamu lupakan.”
Hening kembali menyelimuti. Arsen menarik napas panjang, lalu meneguk ludah, mencoba menelan kepahitan yang masih mengganjal.
Miranda berdiri perlahan. “Ayo, Nak. Wajahmu mungkin belum bisa tersenyum, tapi setidaknya tunjukkan bahwa kamu ada untuknya. Anita tidak perlu ayah dari anak yang tidak pernah ada. Dia hanya butuh suaminya kembali.”
Arsen masih terdiam. Ia tidak langsung bergerak, namun sorot matanya kini lebih hidup, meski masih diliputi keraguan dan kesedihan.
“Mama akan kembali ke kamar lebih dulu. Kamu boleh menyusul jika sudah siap. Tapi jangan terlalu lama” ucap Miranda, sebelum berbalik dan melangkah perlahan meninggalkan taman.
Arsen menatap punggung ibunya yang perlahan menjauh, lalu kembali memejamkan mata. Masih berat. Masih sakit. Tapi ada suara lembut di dalam dirinya yang mulai mendorongnya untuk berdiri, untuk berjalan dan untuk kembali.
apakah akan terus memaklumi sikap suaminya yg semau dia sendiri!! 🤨
dia hanya bisa sakitin Anita dan bakal respek ke Anita kalo bisa kasih keturunan.
padahal Anita wanita yang baik, meski berkarir pun ga pernah tuhhh lupa dengan kewajiban sebagai istri.
percayalah Arsen, belum tentu ada istri yang se Ter baik kayak Anita di luaran sana.
apalagi di bandingan Natasya dan adek loee, jauhhhh bangettt donk sen... tetep anitalah yg Ter Ter baik ...
kena mental gak yah sama ucapan baim "jangan tinggalkan anita lagi"...
biar terseret arus aja kau sekalian! 😤
biar Anita nanti dengan laki2 yg benar2 bisa mencintainya dan membahagiakan dia dengan sempurna dan tulus ikhlas...
gak Mudi an kaya kamu!! 🤨
Mudah tergoda juga!!
dan intinya kau Egois !!!!
Hanya memikirkan diri mu saja, tanpa memikirkan bagaimana perasaan pasangan mu!! 🤨😡
Biar Tau rasa kalau kau Jadi sama cewek manja macam itu!!! 😡🤨
atau.. skalian matre!!! biar habis harta mu yg kau kerja capek-capek!!!
dan yg paling penting, Cewek macam itu Gak akan bisa di andalkan!!! hanya bagus di Awal nya aja!!! karena itu cuma sekedar Pancingan aja bagi laki2 Plin plan kaya kamu 😝😏😏
dan di jebak pun pas banget lelaki pecundang. selamat kalian pasangan serasi, tapi ingatlah karma itu nyata.
Anita berhak bahagia tanpa di sisi Arsen.