NovelToon NovelToon
Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Denting Terakhir Di Villa Edelweiss

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Rumahhantu / Romantis / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:262
Nilai: 5
Nama Author: YourFriend7

Liburan Natal di Villa Edelweiss seharusnya menjadi momen hangat bagi Elara, Rian, dan si jenaka Bobi. Namun, badai salju justru mengurung mereka bersama sebuah piano tua yang berbunyi sendiri setiap tengah malam—memainkan melodi sumbang penagih janji dari masa lalu.
​Di tengah teror yang membekukan logika, cinta antara Elara dan Rian tumbuh sebagai satu-satunya harapan. Kini mereka harus memilih: mengungkap misteri kelam villa tersebut, atau menjadi bagian dari denting piano itu selamanya.
​"Karena janji yang dikhianati tak akan pernah mati, ia hanya menunggu waktu untuk menagih kembali."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YourFriend7, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ruang Bawah Tanah dan Tiket Satu Arah

"Bobi! Bobi, lo denger gue?!"

Rian berteriak ke arah layar laptop, urat-urat lehernya menonjol. Tangannya mencengkeram sisi meja kerja sampai kuku-kuku jarinya memutih. Tapi sia-sia. Layar itu hanya menampilkan gambar satu arah.

Di dalam video berbintik itu, Bobi tampak menggigil hebat. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri dengan panik, seolah mendengar suara Rian tapi nggak bisa melihat sumbernya.

"Tolong..." suara Bobi terdengar lagi dari speaker laptop, pecah-pecah kayak sinyal radio rusak. "Ada yang napas di leher gue... baunya busuk..."

Kamera CCTV itu berguncang sedikit. Sosok mata merah di kegelapan belakang Bobi mulai bergerak maju. Sebuah tangan cakar yang panjang perlahan terulur dari bayang-bayang, hendak menyentuh rambut Bobi.

"JANGAN SENTUH DIA, BANGSAT!" maki Rian, memukul meja keras sekali sampai laptop itu melompat sedikit.

Tiba-tiba, gambar di layar membeku.

Wajah ketakutan Bobi dan tangan monster itu berhenti bergerak. Lalu, perlahan-lahan, gambar itu memudar menjadi hitam.

Di tengah layar hitam itu, muncul tulisan baru. Bukan diketik huruf per huruf seperti sebelumnya, tapi muncul langsung sebaris kalimat dengan font merah darah yang seolah menetes ke bawah layar.

[BABAK TAMBAHAN: PENYELAMATAN.]

[LOKASI: GUDANG ANGGUR, LANTAI DASAR VILLA EDELWEISS.]

[WAKTU: SEBELUM MATAHARI TERBIT.]

Lalu di bawahnya ada hitung mundur digital yang mulai berjalan.

05:59:59

05:59:58

"Enam jam..." bisik Elara, matanya terpaku pada angka yang terus berkurang itu. "Kita dikasih waktu enam jam buat balik ke sana."

Sarah, yang sejak tadi berdiri di belakang kursi Elara sambil memegangi lehernya yang sakit, memukul bahu Rian keras-keras. Dia menunjuk layar, lalu menunjuk pintu keluar dengan gestur kasar dan marah. Matanya yang bengkak menyiratkan satu pesan jelas: Kita berangkat sekarang.

Rian mengusap wajahnya kasar. Napasnya memburu, tapi otaknya dipaksa berpikir taktis. "Oke. Oke. Kita balik ke sana. Kita jemput Bobi."

"Tapi Yan," suara Elara bergetar, "Itu jebakan. Jelas banget itu jebakan. Adrian sengaja mancing kita balik ke kandangnya."

"Gue tahu, El," Rian berbalik, menatap Elara tajam. "Tapi emang kita punya pilihan? Lo mau ngebiarin Bobi mati di sana sendirian? Dia ngorbanin dirinya buat kita, El!"

Kata-kata itu menampar Elara telak. Rasa bersalah kembali mencekik dadanya. Bayangan Bobi yang diseret keluar pintu sambil tersenyum kaku masih menghantui matanya.

"Nggak," jawab Elara pelan tapi tegas. Dia menghapus air matanya dengan punggung tangan. "Kita jemput dia. Mau itu jebakan atau bukan, kita terobos."

"Bagus," kata Rian. Aura pemimpinnya kembali, meski kali ini bercampur dengan nekat. "Ambil semua yang bisa dipake. Senter, jaket tebal, kotak P3K. Sarah, di gudang belakang ada linggis sama kapak buat motong kayu. Ambil."

Sarah mengangguk mantap dan langsung lari ke belakang.

"Elara, lo bawa laptop ini," perintah Rian. "Gue rasa koneksi kita ke Bobi ada di laptop ini. Siapa tau nanti ada petunjuk lagi."

Sepuluh menit kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil Rian.

Kali ini, suasananya beda banget sama pas mereka kabur dari villa tadi pagi. Kalau tadi pagi isinya ketakutan dan kelegaan, sekarang isinya amarah dan adrenalin murni. Rian menyetir kayak orang kesetanan, membelah jalanan kota yang mulai sepi karena udah lewat tengah malam.

"Gudang anggur..." gumam Rian sambil memindahkan persneling dengan kasar. "Kita nggak pernah ngecek gudang anggur. Pantesan kita nggak nemu apa-apa di lantai satu selain dapur."

"Gue inget ada pintu kecil di deket dapur yang digembok," kata Elara, memangku laptop yang layarnya masih menampilkan timer hitung mundur. 05:15:20. "Gue kira itu gudang logistik biasa."

"Itu pasti jalan masuknya," sahut Rian. "Adrian... atau apapun makhluk itu, pasti nyembunyiin jasad aslinya di sana. Elena di loteng, Adrian di bawah tanah. Mereka misah."

Mobil melaju kencang masuk ke jalan tol. Anehnya, jalan tol itu kosong melompong. Nggak ada truk, nggak ada bus malam. Cuma ada mobil Rian yang melaju sendirian di aspal hitam yang panjang.

Lampu-lampu jalan berwarna oranye di pinggir tol melesat lewat kayak garis cahaya yang nggak putus.

"Sepi banget ya?" Sarah mengetik di HP-nya lalu menunjukkannya ke Elara.

Elara mengangguk, bulu kuduknya meremang. "Iya. Terlalu sepi."

Tiba-tiba, radio mobil Rian nyala sendiri.

Kresek... kresek...

Rian kaget, tangannya reflek mau matiin. Tapi tombol power-nya nggak fungsi. Volume radio itu naik sendiri sampai maksimal.

Suara piano.

Lagu "Sonata untuk Elena" versi minor yang sangat sedih dan lambat mengalun dari speaker mobil.

"Matikan, Yan!" teriak Elara menutup telinganya.

"Nggak bisa! Tombolnya macet!" Rian memukul dashboard mobil frustrasi.

Di tengah alunan piano itu, terdengar suara tawa anak kecil. Cekikikan yang renyah tapi bikin merinding. Lalu suara itu berubah jadi suara Bobi.

"Guys... dingin... jangan lama-lama..."

"Bobi!" seru Sarah, suaranya parau.

"Dia laper, Guys... Dia bilang dia mau makan cerita... Bab terakhir harus ditulis darah..."

"Bobi, bertahan, Bob! Kita lagi OTW!" teriak Rian ke arah speaker radio seolah Bobi bisa denger.

Sinyal radio itu tiba-tiba berubah jadi suara geraman rendah yang bikin kaca mobil bergetar.

"KALIAN LAMBAT."

DHAR!

Lampu jalan di sepanjang tol tiba-tiba mati serentak.

Gelap total.

Hanya lampu depan mobil Rian yang menyala, menyorot aspal di depan. Rian menginjak rem kaget, tapi mobil malah makin ngebut.

"Remnya blong!" teriak Rian panik. Dia menginjak pedal rem berkali-kali sampai mentok ke lantai, tapi speedometernya malah naik. 100 km/jam... 120... 140...

"Rian! Awas!" jerit Elara.

Di depan, kabut tebal tiba-tiba muncul entah dari mana. Kabut putih yang pekat banget, langsung menelan mobil mereka. Jarak pandang jadi nol.

Rian membanting setir ke kiri dan kanan mencoba mencari kendali, tapi setirnya terasa ringan banget, kayak nggak nyambung ke ban. Mobil itu meluncur lurus menembus kabut kayak peluru.

"Pegangan!"

Elara memeluk laptopnya, Sarah memeluk kursi depan, Rian mencengkeram setir. Mereka memejamkan mata, menunggu benturan.

Tapi benturan itu nggak pernah datang.

Sensasinya justru seperti jatuh. Perut mereka mual seolah mobil itu terjun bebas dari ketinggian.

Wuuushhh...

Lalu, hening.

Mobil berhenti mendadak dengan sentakan halus, seolah baru saja mendarat di atas bantal raksasa. Mesin mobil mati. Radio mati.

Rian membuka matanya perlahan, napasnya memburu. "Kalian oke?"

"Kayaknya..." jawab Elara gemetar.

Sarah mengintip keluar jendela.

Kabut di luar perlahan menipis. Dan pemandangan yang menyambut mereka bikin darah mereka membeku.

Mereka nggak ada di jalan tol lagi. Mereka juga nggak ada di pinggir jalan pegunungan.

Mobil Rian terparkir rapi tepat di halaman depan Villa Edelweiss.

Salju turun dengan lembut. Villa tua itu berdiri menjulang di depan mereka, gelap dan angkuh. Tapi ada satu perbedaan mencolok dari terakhir kali mereka di sini tadi pagi.

Pintu depan villa itu terbuka lebar.

Dan dari dalam villa, memancar cahaya merah remang-remang, seolah-olah seluruh isi rumah itu sedang terbakar api neraka yang dingin.

"Kita... kita teleportasi?" bisik Rian tak percaya. Dia ngecek jam tangannya. Baru 15 menit sejak mereka keluar rumah. Padahal perjalanan normal butuh 4 jam.

"Dia bener-bener nggak sabar nunggu tamunya," kata Elara, menatap pintu merah yang menganga itu.

Di layar laptop Elara, timer hitung mundur tiba-tiba berubah. Angka 5 jam yang tersisa berputar cepat dan berhenti di angka baru.

01:00:00

"Satu jam," kata Elara ngeri. "Waktunya dipotong. Kita cuma punya satu jam sebelum Bobi..."

Elara nggak sanggup ngelanjutin kalimatnya.

Sarah membuka pintu mobil dan melompat keluar. Dia menyambar kapak pemotong kayu dari bagasi belakang. Wajahnya keras. Dia berjalan menuju pintu villa tanpa nunggu Rian dan Elara.

"Sarah, tunggu!" Rian mengambil linggis dan senter, lalu lari menyusul Sarah. Elara mengekor di belakang sambil mendekap laptop.

Begitu mereka melangkah masuk ke dalam villa, hawa hangat yang aneh menyambut mereka. Bukan hangat perapian, tapi hangat yang lembap dan bau, seperti bau daging yang mulai membusuk.

Lantai kayu di bawah kaki mereka terasa lunak. Dinding-dinding batunya tampak... berdenyut?

"Villanya..." bisik Elara, menyentuh dinding lorong. "Villanya hidup."

Mereka berjalan cepat melewati ruang tengah. Puing-puing piano yang hancur tadi pagi sudah tidak ada. Bersih. Seolah piano itu tidak pernah ada di sana.

"Ke dapur," perintah Rian.

Mereka lari ke dapur. Pintu kecil di samping kulkas besar itu, yang kata Elara tadi digembok, kini terbuka sedikit.

Dari celah pintu itu, terdengar suara.

Bukan suara piano.

Tapi suara orang mengetik.

Tak... tak... tak... tak...

Bunyi mesin tik tua. Iramanya cepat dan kasar.

Rian menendang pintu itu hingga terbuka lebar.

Tangga batu curam mengarah ke bawah, ke kegelapan yang diterangi cahaya merah dari dasar. Bau amis darah menyeruak kuat dari sana.

"Bobi?" panggil Rian.

Tidak ada jawaban, hanya suara ketikan itu yang makin keras.

Mereka menuruni tangga itu satu per satu. Elara di tengah, Rian depan, Sarah belakang jaga-jaga.

Sampai di dasar tangga, mereka menemukan sebuah ruangan bawah tanah yang luas. Dindingnya terbuat dari tanah yang dipadatkan. Ada rak-rak anggur yang sudah hancur berantakan.

Di tengah ruangan, ada sebuah meja kayu tunggal. Di atasnya ada mesin tik kuno.

Dan yang duduk di kursi depan mesin tik itu... adalah Bobi.

Tapi kondisi Bobi salah.

Dia duduk tegak, kaku. Matanya melotot tanpa berkedip. Mulutnya dijahit dengan benang hitam tebal.

Dan tangannya...

Tangan Bobi bergerak sendiri, mengetik di mesin tik itu dengan kecepatan yang nggak manusiawi. Jari-jarinya sudah berdarah-darah, kukunya lepas, tapi dia nggak berhenti.

Di belakang Bobi, berdiri sosok tinggi besar yang terbuat dari bayangan pekat. Adrian.

Adrian meletakkan kedua tangannya di bahu Bobi, seolah sedang memijat, tapi kuku-kuku bayangannya menancap dalam ke daging bahu Bobi.

Adrian mendongak, menatap Rian, Elara, dan Sarah dengan mata merahnya yang menyala geli.

Mulut Adrian tidak bergerak, tapi suaranya menggema di seluruh ruangan bawah tanah itu:

"Selamat datang di sesi editing terakhir. Sayangnya, teman kalian baru saja mengetik kalimat kematiannya sendiri."

Bobi berhenti mengetik. Dia perlahan memutar kepalanya ke arah teman-temannya. Air mata darah mengalir dari matanya.

Dia menarik kertas dari mesin tik itu dengan gerakan patah-patah, lalu menunjukkannya pada Rian.

Di kertas itu, tertulis satu kalimat pendek dengan tinta merah:

"Rian harus menggantikan posisiku, atau................"

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!