“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Tak Mundur
Shailendra melempar tablet ke sofa, layar menampilkan video klarifikasi Bayu yang viral. Wajahnya merah padam saat menemui putranya. “Kau mempermalukan keluargamu sendiri di depan jutaan pasang mata!” hardiknya. “Mulai hari ini, kau tak bisa lagi menggunakan fasilitas apa pun tanpa seizinku!”
Bayu berdiri, tenang namun mantap. “Aku tak butuh semua itu, Pa. Karena kenyataannya, aku tak pernah benar-benar bahagia dengan harta yang Papa banggakan itu.”
Matanya tajam menatap sang ayah. “Mulai hari ini, aku hanya Bayu. Bukan Abimanyu Shailendra.”
Ia berbalik dan melangkah pergi.
“Bayu!” Shailendra menggertakkan gigi. “Kau mau ke mana?!”
Tapi Bayu tak menoleh. Tak menjawab. Hanya langkahnya yang menjauh—tegas, tak tergoyahkan.
Shailendra menatap punggung Bayu yang menjauh dengan tatapan penuh amarah dan kepanikan. Suaranya membelah ruangan, menggema dengan ancaman yang tak bisa diabaikan.
“Kalau kau berani meninggalkan rumah ini, Bayu... dan tak menuruti semua perintahku, maka aku akan lakukan apa pun untuk menghancurkan Laras!”
Langkah Bayu sontak terhenti. Bahunya menegang. Perlahan ia membalikkan tubuhnya, menatap ayahnya dengan sorot penuh bara.
“Jangan sentuh dia,” desisnya, pelan namun mematikan.
Namun Shailendra tetap tak mundur. “Kau yang memaksaku melakukan ini. Karena keras kepalamu. Karena kebodohanmu.”
Bayu mengepalkan tangan. “Aku membencimu…”
Shailendra menahan napas, lalu berkata dengan nada lebih rendah namun tetap menusuk, “Bencilah aku sepuasmu, Bayu. Tapi suatu hari nanti... kau akan mengerti. Segala yang kulakukan ini, semua... adalah demi kebaikanmu.”
Namun bagi Bayu saat itu, tak ada yang bisa menenangkan amarah di dadanya. Kepercayaan yang sudah retak, kini hancur sepenuhnya.
RUANG KERJA EDWARD – SIANG HARI
Ponsel Edward tak berhenti bergetar. Notifikasi media sosial meledak. Grup investor, rekan bisnis, bahkan manajemen internal—semuanya panik. Nama perusahaannya terseret dalam skandal, dan kini sorotan media mengarah ke dirinya.
Pintu diketuk cepat, sekretarisnya muncul dengan wajah pucat.
“Tuan, Sherin... dia baru saja merilis pernyataan di media. Mengaku bahwa ia adalah korban dari Anda dan Laras.”
Rahang Edward mengeras. Wajahnya memerah. “Wanita sialan!”
“Dan ini…” Sekretaris itu menyodorkan tablet. “Bayu… dia baru saja menggelar konferensi pers dari London. Isinya tentang Laras.”
Edward menatap layar. Di sana, Bayu tampil tenang namun penuh keyakinan. Ia membela Laras habis-habisan. Menyebut Laras adalah satu-satunya wanita yang menemaninya saat koma. Menunjukkan bukti—foto, rekaman, transaksi, bahkan cerita yang tak pernah Edward dengar sebelumnya.
“Saat aku kembali ke Indonesia, aku malah mendengar Laras akan menikah dengan Edward. Aku mencoba mendekatinya kembali, menatap ia begitu cantik dengan gaun pengantin, tapi dia... menolakku. Dengan elegan. Ia bilang, ‘Bayu, kau pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dariku.’”
Suara Bayu menyayat, meruntuhkan ego Edward yang sudah rapuh.
“Brengsek!” Edward melempar asbak ke dinding.
Ia berdiri, napasnya berat. Ponselnya kembali berdering—kali ini dari investor utama.
“Edward, ini sudah keterlaluan. Skandal dengan Sherin, sekarang ini? Bersihkan namamu atau keluar dari perusahaan!”
Edward menahan kepalanya yang berdenyut. Satu sisi, Sherin menekannya dengan ancaman dan publikasi soal kehamilan. Di sisi lain, pria dari masa lalu istrinya tampil sebagai pahlawan di mata publik.
Dan lebih dari segalanya, Edward tahu pasti—Laras benar-benar tidak mencintainya.
Dan kini... seluruh dunia juga tahu.
RUMAH KELUARGA SHERIN – MALAM HARI
Cahaya layar ponsel memantul di wajah Sherin. Matanya terpaku pada video yang tengah viral di seluruh media sosial. Bayu—mantan pacar Laras—tampil tenang, dengan suara mantap dan bukti-bukti kuat, membela Laras mati-matian. Klarifikasi itu mengguncang opini publik, memulihkan nama Laras dalam satu malam.
Sherin tersenyum. Tapi bukan senyum lega.
Tangannya mencengkeram ponselnya begitu erat, sampai buku-buku jarinya memutih. Senyum di bibirnya berubah menjadi gumaman pahit.
"Kenapa sih Laras bisa seberuntung itu?" katanya lirih.
Ia menatap layar yang kini menampilkan potongan-potongan komentar publik:
“Laras wanita yang dikhianati, tapi tetap kuat.”
“Cowok sekeren Bayu aja bisa cinta setengah mati.”
Sherin tertawa pendek, getir.
"Dia dikejar-kejar Edward. Tetap dinikahi, meski dia vaginismus. Bahkan setelah aku palsukan hasil medisnya, buat kelihatan seolah dia mandul dan bawa penyakit langka..." gumamnya, seperti mengingat kembali rencana kotor yang pernah ia jalankan.
"Dan sekarang? Bahkan mantan pacarnya yang ternyata... anak konglomerat, bela-belain lawan ayah sendiri buat Laras yang bahkan sudah nikah sama pria lain?" Ia menggeleng pelan, matanya menyipit penuh benci. "Apa sih sebenarnya kelebihan Laras? Menyebalkan sekali."
Langkah kaki terdengar dari arah pintu. Wati, ibunya, muncul dengan daster rumahan dan wajah penuh bedak.
"Sherin," katanya, nada suaranya tegas. "Masa bodoh sama Laras. Dia mungkin menang satu ronde, tapi kamu masih bisa menang perang ini."
Sherin memalingkan wajah. "Aku muak, Bu. Semua orang seolah membela dia. Edward bahkan masih belum mau mengakui anak ini. Padahal aku udah..." suaranya tercekat.
Wati duduk di sampingnya, menepuk lututnya.
"Sherin. Kamu hamil. Anak itu senjata ampuh. Laki-laki mana yang bisa terus menolak darah dagingnya sendiri?"
"Tapi Edward bukan laki-laki biasa, Bu."
"Dan kamu bukan perempuan biasa," potong Wati cepat. "Ingat siapa dirimu. Kamu sudah sampai sejauh ini. Kamu gak boleh lemah sekarang."
Darma, ayah Sherin, muncul dari balik pintu ruang tamu, berdiri dengan tangan di saku celananya.
"Kamu sudah sampai sejauh ini, masa mau berhenti?" katanya, suaranya rendah tapi tajam.
Sherin menatap dua orangtuanya. Tekanan mereka begitu nyata. Tapi di balik tekanan itu, ada satu hal yang bahkan lebih membakar dadanya: rasa iri yang membabi buta.
"Aku gak akan mundur," ucap Sherin akhirnya.
Ia bangkit dari sofa, berdiri tegak dengan tangan menyentuh perutnya yang masih rata.
"Laras pikir dia menang? Kita lihat siapa yang tertawa terakhir."
***
RUANG MAKAN RUMAH EDWARD – MALAM HARI
Laras duduk sendirian di meja makan. Lampu gantung mewah memancarkan cahaya keemasan, memantul di permukaan piring porselen dan peralatan makan perak. Makan malamnya sederhana, tapi ia menyantapnya dengan tenang, anggun, seolah dunia di luar tak sedang runtuh.
Pintu terbuka. Langkah kaki Edward menggema di lantai marmer. Ia berhenti di ambang pintu, menatap Laras yang tidak menoleh menyambutnya.
"Kau pasti senang, ya," ucap Edward dengan suara rendah, namun tajam seperti pisau. "Dibelain habis-habisan oleh mantan pacarmu. Sampai rela melawan ayahnya di depan dunia."
Laras mengangkat wajah. Pandangannya tenang, tidak tergetar sedikit pun oleh nada sinis itu.
"Semua skandal ini tak akan pernah muncul kalau bukan karena kau tidur dengan adikku."
Jawaban itu menampar Edward lebih keras dari yang ia perkirakan. Ia melangkah masuk, berdiri di sisi meja, menatap Laras dengan sorot mata panas.
"Apa kau... cemburu?" tanyanya, setengah mencibir, setengah penasaran.
Laras tersenyum dingin. Ia menaruh garpu dengan lembut, tanpa suara. "Jangan pernah berharap aku cemburu. Kau mau tidur dengan siapa pun, atau menghamili siapa pun—aku tidak peduli." Ia menatap Edward lurus-lurus. "Pernikahan ini cuma di atas kertas. Dan akan selalu seperti itu... sampai waktunya aku pergi darimu."
Rahang Edward mengeras. "Oh, jadi kamu sudah punya rencana kabur dengan mantanmu itu?" katanya, mencondongkan tubuh, nada suaranya penuh racun. "Kamu pikir aku akan membiarkanmu begitu saja?"
Laras menatapnya tanpa berkedip. Ia meletakkan sendoknya dengan hati-hati, lalu menyeka sudut bibirnya dengan serbet.
"Lihat saja nanti," katanya datar. "Tapi untuk saat ini... sebaiknya kau pikirkan bagaimana cara menyelamatkan dirimu dari skandal besar ini. Karena jika kau jatuh, aku tidak akan menengok ke belakang untuk melihatmu."
Ucapan itu menghantam Edward tepat di dada. Dadanya naik-turun cepat. Matanya menyala marah, tapi Laras sudah bangkit berdiri dengan tenang, meninggalkannya di ruang makan, dengan sisa-sisa harga diri yang terluka dan ego yang tercabik.
"Aku tak akan membiarkanmu merasa menang, Laras. Lihat saja apa yang akan aku lakukan nanti," gumamnya dengan tangan terkepal dan rahang mengeras.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
aku berharap petugas RS yg diancam sherin akan menolong laras secara diam" memberikan hasil tes kesehatan yg asli karena gak tahan melihat kegaduhan yg terjadi tidak ada habisnya terutama kasihan pada laras ternyata sherin gunakan hasil tes palsu itu untuk berbuat jahat lebih jauh ..semoga penyamaran edward juga terungkap bukankah dia adalah edwin yg OP kabur dari tanggung jawab bayu & mengincar laras dia pikir bakal menang tp dia salah
Laras orang baik pasti akan ada orang yang menolongnya tanpa ia minta.
semangat lanjut kak sehat selalu 🤲
bagaimana bisa orang tuanya malah mendukung Sherin menjatuhkannya?
sherin kira akan hidup tenang kalau semua hasil dari merebut & memaksa, salah kamu sherin kamu akan hidup tersiksa seperti di neraka