Ia adalah Echo bernama Jae, idol pria berwajah mirip dengan jake Enhypen. Leni terlempar kedua itu dan mencari jalan untuk pulang. Namun jika ia pulang ia tak akan bertemu si Echo dingin yang telah berhasil membuat ia jatuh cinta
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga Pilihan dan Cinta dalam Gema
Leni berlari tanpa berpikir lagi. Gaun mahalnya terseret di lantai koridor backstage yang sepi, ujungnya tersangkut di ujung rak dan membuatnya tersentak beberapa kali. Ia tak peduli. Suara gemuruh ballroom di belakangnya memudar, begitu pula suara Jake Shim yang masih berpidato penuh emosi. Yang tersisa hanya suara statis brutal di earpiece-nya.
“Jae! Aku datang!” teriak Leni, napasnya terengah dan matanya panas.
Ia menerobos pintu darurat, berlari melewati tangga sempit yang hanya diterangi lampu kuning yang berkedip. Setiap langkahnya terasa seperti menjauh dari rumah, dari ibunya, dari takdir yang selama ini ia perjuangkan untuk kembali. Namun setiap langkah itu juga terasa semakin mendekatkan dirinya pada seseorang yang jauh lebih penting saat ini.
Tangan dingin Jae. Suaranya yang pelan. Sorot mata yang tidak pernah menghakimi meski saat ia paling kacau.
“Aku tidak bisa kehilangannya…” gumam Leni, nyaris tersedak air matanya. “Aku tidak bisa membiarkannya menghilang.”
Pikiran itu menghantamnya lebih keras daripada Resonansi apa pun yang pernah ia alami. Bukan ketakutan kehilangan kesempatan pulang. Bukan ketakutan kehilangan tubuh aslinya.
Ketakutan kehilangan Jae.
Cinta—atau sesuatu yang mirip dengannya—muncul begitu cepat, begitu kuat, hingga Leni tidak tahu kapan perasaan itu mulai tumbuh. Ia hanya tahu satu hal: ia menyukai Jae. Menyukai Echo yang dingin itu. Menyukai caranya menatap. Menyukai caranya tetap tinggal meski tubuhnya memudar.
Ia menyukai Jae.
Pintu ruang kontrol terbuka dengan hantaman keras.
Di dalam, monitor berkedip liar. Bau ozon menusuk hidung. Dan Jae… Jae duduk di kursi operator seperti bayangan yang hampir hilang.
Bagian kakinya tidak terlihat sama sekali. Tubuhnya tembus cahaya. Hanya matanya—mata yang biasanya tenang—kali ini dipenuhi kepanikan dan rasa sakit.
“Kau gila!” teriak Jae begitu melihat Leni. Suaranya patah-patah seperti sinyal buruk. “Kenapa kau kembali?! Celahnya… celahnya akan menutup!”
Leni mengikuti arah pandang Jae ke salah satu monitor. Ia melihat kilatan terakhir dari Gerbang Realitas di belakang Jake. Sebuah garis tipis cahaya putih… lalu suara pop lembut dari speaker.
Gerbang itu menutup.
Leni terjatuh berlutut. Seluruh udara di dadanya menghilang. Tapi bukan karena pintu pulang telah tertutup—melainkan karena melihat kondisi Jae.
“Aku tidak bisa meninggalkanmu,” bisiknya. “Aku tidak akan membiarkanmu menghilang.”
Ia memegang tangan Jae, menggenggamnya, seolah genggamannya bisa mempertahankan Jae di dunia ini.
Jae menatapnya, terkejut, sedih, dan marah sekaligus. “Leni… kau mempertaruhkan segalanya… Takdirmu…”
“Aku tahu.” Leni menundukkan kepala, menangis. “Tapi aku tidak peduli! Aku tidak mau pulang kalau itu berarti kau harus hilang! Aku… aku menyukaimu, Jae-ssi!”
Suara itu keluar penuh gemetar, tetapi tegas.
“Aku lebih memilih gema yang dingin ini daripada idola sempurna di panggung itu!”
Pengakuan itu seperti ledakan energi.
Tubuh Jae berkedip—bukan memudar, tapi menguat. Transparansi di tubuhnya berkurang perlahan. Garis-garis tubuhnya kembali muncul, meskipun masih tipis dan samar.
“Emosi…” Jae berbisik, seolah baru sadar. “Emosi yang tulus… itu energinya. Itu yang menahan aku.”
Ia menatap tangannya sendiri. Tangan yang tadi nyaris tidak eksis kini kembali memiliki bentuk.
“Leni… kau memberiku stabilitas.” Suaranya pecah. “Cemburuku pada Jake… aku tidak sadar itu adalah cara tubuhku menarik emosi darimu. Itu… itu membuatku bertahan.”
Leni mengangkat wajahnya pelan. “Aku tidak peduli kalau celah itu sudah tertutup. Aku tidak menyesalinya.”
Jae memejamkan mata, menarik napas panjang seperti seseorang yang baru pertama kali diizinkan hidup.
“Kau menutup pintu pulangmu,” katanya pelan, “tapi kau menyelamatkanku.”
Waktu seakan berhenti. Leni menatap Jae, dan Jae menatapnya kembali dengan cara yang belum pernah ia lakukan. Ada sesuatu yang lembut, sesuatu yang hidup.
“Kita sekarang bagaimana?” tanya Leni. “Aku terjebak di sini. Dan kau… kau masih rentan.”
Jae bersandar perlahan, memulihkan diri. Tubuhnya kini lebih stabil daripada lima menit lalu. “Kita tetap berjuang. Celah itu memang tertutup, tapi Resonansi Puncak ini menciptakan riak besar. Itu berarti akan ada peluang lain. Lebih cepat dari dua bulan.”
Ia meraih tangan Leni—kali ini bukan untuk bertahan, tetapi untuk memberikan janjinya sendiri.
“Untuk saat ini, kau adalah Kim Leni. CEO J-Cosmetic. Dan tugas terpentingmu adalah satu.”
Leni menatapnya dengan napas tertahan.
“Menguatkan gema,” ujar Jae.
Leni mengangguk. Bukan sebagai seseorang yang kehilangan jalan pulang, tetapi sebagai seseorang yang membuat pilihan baru.
Ia tidak lagi mencari pintu keluar.
Ia mencari cara untuk menjaga Jae tetap ada.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia masuk ke tubuh Kim Leni, ia merasa… tidak sendirian.
...****************...