NovelToon NovelToon
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Poligami
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Naim Nurbanah

Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.

Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Airin menatap Umar dengan mata yang berkilat lembut, seolah menghapus rasa bersalahnya.

"Airin, maaf merepotkan kamu. Malam ini Nay boleh nginep di kontrakan kamu, ya?" suara Umar mengandung harap.

Malam itu, Umar sudah mengantar Nay ke rumah kontrakan Airin. Airin, teman sekaligus rekan kerja Umar di universitas, dulunya juga sahabatnya saat menempuh S2. Sekarang, mereka dipertemukan kembali sebagai dosen di perguruan tinggi yang sama di ibu kota. Nay menoleh ke Airin, mata tajamnya mengikuti gerak-gerik sang gadis, mencoba menangkap kesan yang tersirat di wajahnya. Ada sesuatu, kekaguman samar pada Umar.

Nay menutup mulutnya rapat, lalu menyunggingkan senyum lebar, menerima keramahan itu dengan hangat. Umar duduk santai di ruang tengah, sementara Airin menyodorkan teh manis hangat dan sepiring biskuit kering dalam toples.

"Ini yah yang namanya Nay? Cantik banget,"

Airin memuji dengan suara ringan, matanya tak lepas menatap Nay. Umar mengembang, senyum kebanggaan terlukis jelas di wajahnya. Hatinya bergetar, bangga kekasihnya mendapat pujian tulus seperti itu.

Airin berjalan mendekat dengan senyum anggun yang sulit lepas dari wajahnya. Rambutnya panjang, lurus, berkilau seperti helaian sutra yang jatuh sempurna di pundaknya. Meski belum menutup kepala dengan kerudung seperti Naykesha, pesonanya tak pernah luntur. Postur tubuh Airin ramping bak model, kulitnya putih bersih seolah menantang sinar matahari untuk berani menyentuhnya.

“Rin, titip Nay, ya! Jangan dicubit-cubit, nih,” Umar menyelipkan canda sambil menatap akrab ke arah Airin. Nay merespons dengan menyipitkan mata, hatinya tiba-tiba tercekat. Kedekatan mereka yang begitu nyaman membuatnya merasa seperti berada di luar lingkaran.

Airin lalu membuka toples biskuit dan menyodorkan satu pada Umar dengan gerakan lembut. Umar tanpa ragu mengambil biskuit itu dan menggigitnya, sementara Nay kembali menelan cemburu yang diam-diam menggerogoti. Perhatian Airin terhadap Umar terasa begitu hangat, sesuatu yang Nay ingin rasakan tapi belum pernah.

Umar melirik jam di pergelangan tangannya yang baru, hadiah dari Nay. Angka sembilan malam terpampang jelas di layar.

"Baru ke mall dekat sini saja," jawabnya sambil agak tergesa-gesa. Matanya mengitari sekeliling, sadar waktu sudah malam dan dia harus segera balik ke kontrakan.

"Idih, jam baru ya? Dilihatin terus," goda Airin sambil melempar senyum nakal. Umar dan Nay saling bertukar pandang, ada keakraban yang terasa mengalir alami antara mereka.

"Nggak, Rin. Sudah malam, aku harus balik dulu," ujar Umar sambil mengusap kepala Nay yang sedang duduk di sebelahnya.

"Oh iya, titip Nay ya. Besok pagi aku jemput kamu di sini. Aku mau ajak kamu ke kampus, biar kamu tahu gimana aku mengajar."

Suaranya jadi lebih hidup, penuh semangat saat ada Airin di dekatnya. Nay hanya mengangguk, tersenyum kecil, paham dengan hangatnya interaksi itu.

Airin melambai santai,

"Ya udah deh! Hati-hati, Mar!"

Ia mengantar Umar sampai depan rumah kontrakannya, sementara Nay ikut sampai ke parkiran mobil tidak jauh dari situ. Udara malam yang dingin membuat langkah mereka terasa lebih akrab meski tanpa banyak kata.

Umar menatap Nay yang tengah terlelap di rumah Airin, dadanya sesak rasanya meninggalkan. Tangannya meraih bahu Nay perlahan, seolah ingin memastikan semuanya baik-baik saja.

"Kamu gak apa-apa kan? Aku mau pergi sebentar," suaranya terdengar berat. Nay membuka matanya setengah, senyumnya kecil tapi meyakinkan.

"Gak apa-apa, Mas." Umar menghela napas, menunduk sebentar sebelum menyalakan mesin mobilnya.

"Jangan kangen, ya?" tanyanya pelan, nada suaranya menyimpan keraguan. Nay menatap tajam ke arahnya, bibirnya mengecil sambil menyipitkan mata.

"Iya, loh! Kamu kenapa sih, Mas?" Umar tersenyum getir, sedikit malu.

"Sebenarnya... aku yang masih kangen kamu, Nay," ucapnya, kata-kata itu keluar pelan, tapi penuh makna. Nay membalas dengan senyum simpul yang lebih tulus.

"Iya, aku juga," jawabnya, menambah kehangatan di antara mereka.

Umar mengusap rambut Nay pelan, matanya menatap penuh perhatian.

"Ya sudah deh! Nanti kalau sudah sampai rumah, aku langsung telepon kamu, ya! Oh iya, kalau lapar lagi, jajanan yang tadi aku beli jangan lupa dimakan, Nay." Suaranya mengandung khawatir, seolah takut Nay kelaparan tanpa dia di sisi.

Nay hanya tersenyum lebih lebar, hatinya hangat melihat perhatian Umar.

"Iya, Mas! Sudah, sana pergi dulu!" katanya sambil tertawa kecil, seperti tak ingin pria itu segera meninggalkannya.

Umar menatapnya sesaat, lalu berjalan pelan menjauh. "Ya, aku pergi dulu, Nay! Jangan lupa sholat, ya!" ucapnya, suaranya melembut sebelum akhirnya hilang dari pandangan.

Nay duduk termenung di tempat itu, dada terasa sesak. Malam ini, jauh dari Umar lagi, seperti ada sesuatu yang belum tuntas di antara mereka. Rindu yang terus membuncah, seolah ingin bertahan lebih lama. Mungkin, pikir Nay, kalau nanti mereka dipersatukan dalam pernikahan, rasa ini bisa hilang. Tapi untuk saat ini, pertemuan singkat tadi justru meninggalkan sunyi yang sulit diobati.

Nay berdiri di depan pintu kontrakan Airin, dadanya terasa sesak.

"Mas Umar, aku masih rindu," gumamnya pelan, matanya menatap kosong ke jalan sepi. Tak lama, Airin melangkah keluar, senyum hangatnya menghiasi wajah muda itu.

"Nay, ayo kita makan bakso dulu, ya!" suaranya ramah memecah keheningan.

Mereka duduk bersama di teras minimalis yang sederhana. Nay memilih duduk di bawah, meletakkan semangkuk bakso di meja kecil di depannya. Airin ikut duduk di sebelah, santai seperti sahabat lama.

"Enak nggak baksonya? Aku suka beli ini tiap gerobak lewat," celoteh Airin dengan semangat, suapan bakso sesekali hilang di mulutnya.

Nay mengunyah pelan, matanya tak lepas memperhatikan Airin. Ada sesuatu yang membuatnya nyaman, gaya Airin yang apa adanya, ceria tanpa pretensi. Entah kenapa, dalam kehangatan sederhana itu, Nay merasa rindu itu sedikit terobati.

"Oh iya, Nay! Kamu ngajar apa sih?"

Airin mencondongkan badan, matanya menyiratkan rasa penasaran. Ia tak pernah dengar Umar cerita soal kekasihnya. Bahkan, Airin mikir Umar belum pernah pacaran sama siapa pun.

Nay mengunyah pelan, mukanya agak cemberut. "Bahasa sastra Indonesia, kak," jawabnya pendek, mencoba menghindari obrolan sambil makan.

Airin menepuk meja pelan, senyum mengembang. "Wah, orang sastra ya? Pasti jago bikin novel dong."

Nay cepat menggeleng, matanya menghindar. "Enggak, kak."

Airin tak menyerah, menunduk sedikit seolah ingin meyakinkan. "Ah, aku percaya deh kamu pasti jago puisi, cerpen, dan cerita panjang juga."

Nay menahan senyum kecil, tapi bibirnya tetap mengeras. Mulutnya masih bergerak mengunyah, tapi kini terasa sedikit lebih berat, seolah ingin cepat menyudahi pembicaraan.

Nay mengangkat mangkok kosongnya dengan perlahan, lalu berdiri dari bangku kayu reyot itu. Matanya menangkap sosok bapak tukang bakso yang sudah menunggu sejak tadi dengan senyum sabar terukir di wajahnya. Dengan langkah santai, Nay mengantarkan mangkok itu ke meja bapak bakso, lalu mengeluarkan dompetnya untuk membayar dua porsi bakso yang tadi disantap bersama Airin. Airin buru-buru meraih tangan Nay, suaranya sedikit mendesak,

“Nay, biar aku saja yang bayar!” katanya sambil mencoba meraih uang Nay dari tangan bapak tukang bakso. Tapi Nay menggeleng, matanya penuh tekad.

“Aku yang bayar. Aku bilang, ini traktiranku,” jawab Nay sambil menatap Airin serius. Bapak tukang bakso itu hanya tersenyum lebar, menyaksikan keributan kecil dari dua wanita muda yang baru saja memakan dagangannya.

“Tidak apa-apa, Kak Airin. Mumpung ada,” kata Nay sambil menimpali dengan nada ringan,

“Kalau gak ada, aku yang minta traktir sama Kak Airin.”

Airin akhirnya melepas genggamannya, menyerah dengan senyum tipis. Sementara bapak tukang bakso kembali menata mangkok bekas di mejanya, matanya memancarkan hangat melihat mereka yang saling berebut membayar.

“Terima kasih banyak, Neng!” sapa bapak bakso sebelum melangkah pergi, meninggalkan sisa aroma gurih kuah bakso yang masih menguar di udara.

Airin menarik tangan Nay dengan semangat, matanya berbinar sambil tersenyum lebar.

"Nay, ayo masuk! Aku tunjukin kamar kamu buat istirahat malam ini."

Suaranya mengalir cepat, seolah takut momen ini terlewat. Tangannya menggenggam lengan Nay erat, mengajaknya melangkah ke kamar kosong yang berdempetan dengan kamarnya. Kamar itu selalu disiapkan ketika orang tua Airin singgah ke Jakarta, tapi kali ini untuk Nay. Nay menatap sekeliling rumah kontrakan Airin yang rapi dan bersih. Walau tinggal sendirian, Airin menjaga semua sudut dengan telaten. Ada sentuhan ketelitian yang membuat rumah itu terasa hangat dan nyaman.

“Nah, ini kamarnya,” Airin meletakkan tas Nay dengan lembut.

"Ngomong-ngomong, kamu kenal Umar sejak kapan? Aku dan dia sih udah kenal lama, hampir empat tahun. Dari waktu kita sama-sama ambil S2," ucap Airin tanpa jeda, matanya tak lepas dari Nay.

Nay menyipitkan mata, hatinya berputar-putar memikirkan hubungan lama itu. Lama juga ternyata, pikirnya pelan. Ada getar samar yang sulit diungkap saat Airin menyebut nama Umar dengan begitu mudah.

Nay mengerutkan dahi, berusaha mengingat masa lalu.

"Hmm, kira-kira sudah berapa lama ya? Aku agak lupa, sih." Matanya menerawang, seperti menelusuri lorong waktu.

"Pertama kenal Mas Umar waktu aku masih kuliah S1 di Semarang. Awalnya biasa aja, tapi kami jadi dekat karena sama-sama aktif di organisasi kemahasiswaan," ujarnya perlahan, suaranya mengandung sedikit nostalgia. Airin menatap Nay dengan penuh minat, bibirnya tersenyum kecil.

"Wah, lama juga ya? Berarti kalian beda kampus, dong?"

Airin menyelidik dengan nada penasaran. Nay hanya tersenyum tipis, tanpa perlu menjelaskan lebih jauh. Airin makin bersemangat, matanya berbinar.

"Umar itu orangnya baik banget dan rajin. Apalagi, keren parah!" Dia menatap Nay seolah mengagumi.

"Kamu beruntung banget, Nay, punya Mas Umar. Dosen idola di kampus lho, hampir setiap hari mejanya penuh sama makanan, minuman, bingkisan, bahkan buket bunga."

Nay menunduk, menyimak dengan seksama cerita Airin. Senyumannya perlahan memudar, menyisakan keheningan yang berat. Tapi dia tak berkata apa-apa, membiarkan Airin mengira kalau dirinya sedang cemburu.

Airin menatap Nay dengan senyum yang dipaksakan, mencoba menenangkan hatinya sendiri sekaligus Nay.

"Kamu jangan cemburu, ya, Nay?" suaranya lembut tapi penuh keyakinan.

"Aku yakin, cuma kamu yang selalu ada di hati Umar."

Meskipun begitu, Airin bisa merasakan getaran kecemasan yang bersembunyi di balik kata-katanya..

1
Shaffrani Wildan
bagus
Dhani Tiwi
kasuhan nay... tinggal aja lah si umar nay..cari yang setia.
tina napitupulu
greget bacanya thorr...gak didunia maya gak didunia nyata banyak kejadian serupa../Grievance/
Usman Dana
bagus, lanjutkan
Tini Hoed
sukses selalu, Thor
Ika Syarif
menarik
Sihna Tur
teruslah berkarya Thor
Guna Yasa
Semangat Thor.
NAIM NURBANAH: oke, terimakasih
total 1 replies
Irma Kirana
Semangat Mak 😍
NAIM NURBANAH: Terimakasih banyak, Irma Kirana. semoga nular sukses nya seperti Irma menjadi penulis.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!