Tumbuh di lingkungan panti asuhan membuat gadis bernama Kafisha Angraeni memimpikan kehidupan bahagia setelah dewasa nanti, mendapatkan pendamping yang mencintai dan menerima keadaannya yang hanya dibesarkan di sebuah panti asuhan. namun semua mimpi Fisha begitu biasa di sapa, harus Kalam setelah seorang wanita berusia empat puluh tahun, Irin Trisnawati datang melamar dirinya untuk sang suami. sudah berbagai cara dan usaha dilakukan Kira untuk menolak lamaran tersebut, namun Irin tetap mencari cara hingga pada akhirnya Fisha tak dapat lagi menolaknya.
"Apa kamu sudah tidak waras, sayang???? bagaimana mungkin kamu meminta mas menikah lagi... sampai kapanpun mas tidak akan menikah lagi. mas tidak ingin menyakiti hati wanita yang sangat mas cintai." jawaban tegas tersebut terucap dari mulut pria bernama Ardian Baskoro ketika sang istri menyampaikan niatnya. penolakan keras di lakukan Ardi, hingga suatu hari dengan berat hati pria itu terpaksa mewujudkan keinginan sang istri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon selvi serman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35.
Setibanya di Internasional Changi airport, kedatangan Ardian dan Kafisha sudah di nanti sejak tadi oleh anak buah Gandi yang ditugaskan menjemput. keduanya langsung di bawa menuju kediaman Gandi yang ada di negara tersebut.
Setelah menempuh perjalanan kurang dari setengah jam akhirnya mobil yang ditumpangi Ardian dan Kafisha tibalah di sebuah rumah mewah bercat putih kombinasi gold tersebut.
"Rumah siapa ini, mas? dan untuk apa kita datang ke sini?." dari balik kaca mobil Kafisha menatap bangunan dua lantai dihadapannya itu.
"Turunlah...! Sebentar lagi kamu akan tahu siapa pemilik rumah ini serta tujuan kita datang ke negara ini." Ujar Ardian sebelum turun dari mobil, mengingat pintu mobil telah dibukakan oleh anak buah Gandi.
Kafisha pun ikut turun setelah Ardian membukakan pintu mobil untuknya.
Baru saja turun dari mobil pandangan Kafisha menangkap sosok pria bertubuh tinggi tegap tengah berjalan menghampiri mereka.
"Selamat datang, tuan Ardian." Gandi mengulurkan tangan untuk bersalaman dengan Ardian dan setelahnya beralih memandang pada Kafisha. "Selamat datang , nyonya Ardian."
Kafisha sontak menatap pada Ardian saat Gandi memanggilnya dengan sebutan nyonya Ardian. Jujur saja, ada rasa segan dihatinya ketika panggilan tersebut disematkan untuknya di saat Ardian sendiri belum bisa menerimanya.
"Silahkan masuk!." Gandi mengajak tamunya masuk ke dalam. Ya, Gandi ingin mengobrol sebentar sebelum mengajak Kafisha menemui ibunya di rumah sakit. Setidaknya dengan mengobrol lebih dulu Kafisha tidak terlalu syok nantinya, begitu harapan Gandi.
Di ruang tamu kediaman Gandi, di sinilah Ardian, Kafisha dan juga Gandi berada sekarang.
"Mas..."
"Iya." sahutan Ardian terdengar begitu lembut, dan dari situ Gandi semakin yakin jika Ardian memiliki rasa terhadap keponakannya itu hanya saja mungkin Ardian belum menyadarinya, saking banyaknya permasalahan rumah tangga pria itu bersama Irin. Ya, setelah kebusukan Irin terkuak ke permukaan Gandi cukup tahu jika rumah tangga Ardian dan Irin sedang tidak baik-baik saja, hanya saja Gandi belum tahu Fakta jika Ardian telah menjatuhkan talak pada wanita itu.
"Sebenarnya untuk apa kita datang ke sini, mas?." Kafisha tak sanggup lagi menahan rasa penasaran dihatinya.
"Sebenarnya_" Gandi tak melanjutkan perkataannya ketika menyadari tatapan Ardian beralih padanya.
Jujur, Ardian khawatir jika penyampaian Gandi nanti akan mempengaruhi kondisi janin didalam perut sang istri.
"Fisha.... Bukankah sebelumnya kamu mengatakan tidak banyak mengingat kenangan bersama kedua orang tua kamu?."
Kafisha mengangguk mengiyakan.
"Dan saat kecelakaan itu terjadi pun kamu tidak tahu apa yang selanjutnya terjadi pada kedua orang tua kamu?. Kamu hanya dengar cerita dari ibu panti jika kedua orang tua kamu meninggal akibat kecelakaan, benar begitu?."
Kafisha kembali mengangguk. "Benar, dan berita itu didapat ibu dari wanita yang saat itu menitipkan aku di panti." terang Kafisha.
Ardian menghela napas panjang sebelum kembali bersuara.
"Bagaimana jika kenyataannya salah satu orang tua kamu saat ini masih hidup?." dengan irama jantung yang berdegup tak menentu Ardian melontarkan pertanyaan itu.
"Apa maksud mas Ardian?." bukannya menjawab Kafisha justru balik bertanya dengan dahi berkerut bingung.
"Kafisha... sebenarnya saat ini ibu kamu masih hidup nak, dan saat ini beliau sedang dirawat di rumah sakit." Gandi yang berujar hingga pandangan Kafisha dan juga Ardian kompak berpaling padanya.
"Apa maksud, tuan?."
"Benar nak, saat ini ibu kandung kamu masih hidup dan sedang dirawat di ruang ICU sebuah rumah sakit di negara ini." sama seperti Ardian, sebenarnya Gandi pun merasa berat menyampaikan kebenaran mengejutkan itu pada Kafisha mengingat kondisi wanita itu sedang hamil, akan tetapi harus tetap ia lakukan sebelum semuanya terlambat. sebelum ia menyesal karena tidak menyampaikan kebenaran tersebut pada Kafisha selaku putri kandung dari iparnya tersebut.
**
"Mah....bangun mah, Fisha sudah ada di sini sekarang!." Kafisha tak sanggup membendung air matanya menyaksikan sang ibu tengah terbaring koma di ranjang ruang ICU. Ya, setelah menceritakan semuanya pada Kafisha, wanita itu pun minta diantarkan segera menemui ibunya. bukan hanya menceritakan tentang kondisi ibunya, Gandi bahkan menceritakan semuanya. Ya, semuanya tanpa terkecuali, termasuk dirinya yang merupakan saudara kembar dari ayah kandung Kafisha.
"Apa mama tidak merindukan Kafisha?? Bangun mah!! Kafisha ingin seperti orang lain, yang bisa merasakan kasih sayang seorang ibu. apa mamah tidak kasihan pada Kafisha, mah??." bangun mah.... Kafisha mohon...!!." tubuh itu masih diam tak menunjukkan respon apapun.
Kafisha menangis di samping ibunya. Suara tangisan Kafisha terdengar begitu pilu hingga siapapun yang mendengarnya pasti akan ikut merasakan kesedihan yang tengah dirasakan oleh wanita itu, tak terkecuali Ardian.
"Kenapa mama tetap tidak mau bangun? Apa mama tidak ingin melihat Kafisha??." Kafisha masih terus bergumam di samping ibunya, berharap wanita itu merespon ucapannya, walau hanya sekedar menggerakkan anggota tubuhnya. Akan tetapi semua itu tidak terjadi hingga sesaat kemudian alat monitor pendeteksi jantung milik ibunya menunjukkan garis panjang disertai suara yang mampu memancing kedatangan tim dokter.
"Mah....mamah...." Kafisha menangis sejadi-jadinya.
"Maaf Nona, kondisi pasien semakin memburuk, silahkan menunggu di luar!." pinta salah seorang dari tim dokter yang bertugas dengan menggunakan bahasa asing.
"Ayo Fisha... sebaiknya kita menunggu diluar, biarkan dokter melakukan tugasnya!." Ardian menuntun Kafisha keluar ruangan, memberikan ruang pada tim dokter agar leluasa melakukan tugas mereka. Dengan berat hati, Kafisha keluar dari ruangan tersebut. Dari balik fentilasi kaca yang berada di tengah bagian atas pintu ruangan, Kafisha masih dapat melihat dokter berusaha menyelamatkan nyawa ibunya.
Perasaan Kafisha semakin tak tenang menyaksikan di dalam sana dokter menggelengkan kepala pada sesama rekan satu timnya.
Salah seorang dokter keluar dari ruangan. "Maaf tuan, kami sudah berusaha namun Tuhan berkehendak lain. pasien telah menghembuskan napas terakhirnya tepat pukul sebelas lewat sepuluh menit."
Tubuh Kafisha terasa lemas tak bertulang mendengar dokter menyampaikan waktu kematian ibunya. Jika Ardian tidak sigap menopang tubuhnya mungkin saat ini tubuh Kafisha sudah luruh ke lantai. tak ada suara Isak tangis, Kafisha menangis dalam diam. Airmata wanita itu melaju tanpa suara.
"Sepertinya aku memang anak pembawa sial. Dahulu, aku terlahir tanpa adanya rasa cinta papa untuk mama dan mama sangat menderita karena itu. Dan sekarang, mama harus pergi untuk selamanya karena kehadiranku disini." pecah sudah tangis Kafisha.
"Sayang... jangan bicara seperti itu!." untuk pertama kalinya Ardian memanggil Kafisha dengan sebutan sayang. Ia tak suka mendengar Kafisha menyebut dirinya anak pembawa sial karena sejatinya tidak ada anak yang lahir membawa kesialan, justru setiap anak yang lahir ke dunia ini membawa rezekinya masing-masing, begitu menurut pemikiran Ardian.
"Mah...kenapa mama pergi lagi meninggalkan Kafisha dan kali ini untuk selamanya? Kenapa mama tidak mengajak Kafisha pergi bersama, Kafisha lelah hidup seorang diri, mah." gumam Kafisha yang kini tengah menatap wajah kaku ibunya.
"Kafisha....mas mohon, jangan bicara seperti itu! masih ada mas di sini, sayang." Ardian merengkuh tubuh sang istri, menyandarkan kepala Kafisha di bahunya.
"Suami kamu benar, nak. Masih ada kami di sini bersamamu. Ada tuan Ardian dan juga paman yang akan selalu ada untukmu. Jangan pernah merasa sendirian. Dan berhenti menyalahkan diri sendiri, semua ini sudah menjadi suratan takdir. sebagai hamba bertuhan kita hanya bisa berdoa dan mengikhlaskan semuanya." Gandi yang tidak kuasa melihat kesedihan keponakannya itu akhirnya ikut bersuara.
Minta ampun dengan kelakuan mu Irin,
udah tuir,tapi masih doyan celap celup
ini juga Ardian rumah kok gak dijaga,
bisa bisa nya Irin masuk tanpa ada pengawasan...
aku dibelikan gorengan aja sepulang pak kerja udah seneng banget
😆😆😆😆
akhirnya...
kalimat sakral itu terucap kan juga ya Ardian💖💗💓
dapat kejutan nih up 3 bab 💖
jujur lebih baik Kafisha
sama sama tidak dicintai oleh suaminya...
akhirnya anak yang menderita
😭
ᥴrᥲzᥡ ᥙ⍴ 𝗍һ᥆r ძᥲᥒ sᥱmᥲᥒgᥲ𝗍𝗍𝗍