Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.
Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Badai yang Belum Nampak
Kafe itu tenang. Hanya dua meja yang terisi. Musik klasik mengalun pelan, tenggelam di antara denting sendok dan desis mesin espresso.
Aylin duduk di sudut dekat jendela. Cangkir kopi di depannya. Di tangannya, sebuah ponsel menampilkan video viral: wanita muda di Swiss, liontin aneh, dan tetesan darah yang memunculkan peta bercahaya. Dunia gempar. Kolom komentar penuh spekulasi—dari teori konspirasi sampai tawaran uang yang tak masuk akal.
Aylin menutup layar, meletakkannya perlahan. Matanya kosong. Tapi pikirannya penuh kalkulasi.
“Cepat sekali… Satu terangkat ke permukaan, dan mata dunia mulai terbuka,” bisiknya.
“Tinggal tunggu siapa yang bereaksi lebih dulu.”
Ia menyandarkan tubuh. Wajahnya tenang, tapi ada kegelisahan tersembunyi di balik pupil matanya.
Lalu—langkah berat mendekat dari arah pintu. Seorang pria tua memesan kopi di meja bar. Rambut perak, wajah tirus. Tubuhnya masih tegap meski dimakan usia. Mata tajam itu… seperti mata elang.
Aylin tak bergerak. Ia hanya menatap dari balik uap kopi yang sudah tak hangat.
Pria itu duduk tak jauh darinya, membalik koran lusuh tanpa tergesa. Tapi saat tangannya bergerak, ia menyentuh cangkir dengan ujung telunjuk—dua kali, pelan. Jeda. Lalu ketukan jari di meja: tiga... satu... dua.
Sebuah pola. Sebuah pesan.
Dan dunia Aylin mendadak kembali ke masa lalu.
Kode lama. “Jangan bicara. Amati. Tunggu sinyal.”
Ia pura-pura mengalihkan pandangan. Tapi saat pelayan datang membawakan pesan tertulis dari meja pria tua, jantungnya berdetak cepat.
Kertas kecil itu hanya berisi tiga huruf: "S47."
Aylin tahu artinya. “South. Building 47.” Sebuah gedung tua di selatan kota.
Ia menatap pria itu sekali lagi. Kini, mata mereka bertemu. Singkat. Tapi cukup.
Sebuah konfirmasi tanpa kata.
Aylin berdiri, meninggalkan kafe tanpa menoleh. Pintu kaca tertutup di belakangnya, meredam suara dunia.
DRRRT.
Ponselnya bergetar. Pesan anonim muncul:
“S47. Sore ini.”
***
Di Ruang Kerja Akay
Layar ponsel di tangannya terus memutar ulang video viral itu. Akay menyipitkan mata, mencoba menangkap setiap detail liontin yang diunggah wanita asing itu.
Bentuknya sama.
Ukirannya sama.
Bola kaca di tengah yang menyala biru—juga sama.
Tak mungkin.
Tak masuk akal.
Liontin itu... seharusnya cuma satu. Lalu, liontin yang ia lihat terakhir, tergeletak di dalam laci kamarnya dan Aylin?
“Apa ini duplikat?” pikirnya. Tapi siapa yang bisa menduplikasinya? Bahkan Eagle pun bilang tidak ada catatan atau jejak tentang siapa yang membuat liontin itu, atau dari bahan apa bola kacanya dibuat.
Ia menekan pelipis, duduk ke kursi dengan pandangan kosong.
“Siapa yang menduplikasinya...”
Tapi pikirannya langsung teringat beberapa waktu lalu. Saat ia menanyakan soal liontin itu, dan Aylin menjawab dengan cerita pria tua lusuh yang memberikannya secara paksa. Cerita itu... terlalu rapi. Terlalu siap.
“Apa itu hanya dongeng yang ia susun?”
Tangannya bergerak cepat membuka galeri, mencari foto liontin milik Aylin yang sempat ia potret diam-diam. Ia bandingkan dengan cuplikan video dari Swiss.
Tidak ada perbedaan. Bahkan goresan kecil di sisi bingkainya pun sama.
“Gila… ini salinan sempurna,” desisnya.
Atau...
“Bukan salinan. Tapi memang dibuat serupa. Dalam jumlah lebih dari satu.”
"Tapi kenapa punya Aylin tidak memunculkan peta? Apa itu berarti milik Aylin adalah duplikatnya?"
***
GEDUNG TUA
Sore menjalari langit seperti tinta tumpah. Gedung tua itu berdiri muram, dindingnya dipeluk lumut dan bayangan yang bergerak malas.
Aylin melangkah masuk. Penampilannya kini berbeda. Rambut disanggul rapi. Hoodie gelap. Celana longgar. Sepatu senyap. Setiap langkahnya hati-hati, seolah menginjak jejak masa lalu.
“Guru…” bisiknya. “Ini aku. Aylin. Mata Elang.”
Tak ada jawaban. Hanya gema suaranya sendiri, menggulung di ruang kosong.
Lalu terdengar langkah perlahan dari balik pilar beton. Seorang pria tua muncul dari kegelapan. Rambut perak. Wajah tirus. Mata tajam seperti pisau. Masih seperti dulu. Masih seperti elang.
Mata itu… mata yang dulu mengajarinya membaca pesan dari kedipan lampu di tengah badai.
Pria itu telah mengajarinya banyak hal—mulai dari membaca kode tersembunyi dalam koran pagi, hingga mengenali jejak sepatu di tanah becek. Dan saat malam-malam sunyi datang, Aylin belajar menembak di ladang kosong dan gedung tua—belajar menahan napas, menyesuaikan pelatuk dengan detak jantung, dan melihat dunia lewat teropong bidik.
Dia bukan sekadar guru. Dia adalah pelatih bayangan yang disiapkan oleh kakeknya… sebelum semuanya runtuh.
“Kau menemuiku dengan menyamar?” tanyanya pelan.
Aylin mengangguk. “Ada orang yang ditugaskan Akay mengawasiku.”
Mata Elang tersenyum. “Suamimu protektif sekali.” Tatapannya menajam. “Kau sudah lihat videonya? Liontin yang viral itu... bukan yang asli.”
Aylin menyipitkan mata. “Bagaimana Guru tahu?”
Pria tua itu menatap lurus. “Karena liontin asli akan terbakar jika disentuh oleh darah yang bukan milik pemiliknya… atau keturunannya. Dan satu-satunya keturunan Wardhana yang masih hidup—adalah kau.”
Aylin terdiam.
“Guru tahu itu selama ini?”
“Aku tahu. Dan ada beberapa orang lain yang juga tahu. Setelah melihat video itu, aku pergi ke bengkel tua Kurosawa & Sons." Mata Elang menatap tajam. “Jadi kau membuat duplikatnya dengan menyamar?”
Aylin mengangguk. “Ya. Aku lakukan itu untuk berjaga-jaga kalau mereka mulai mencariku.”
"Bagus." Senyum kecil menghiasi wajah tuanya. “Kau memang cerdas."
Aylin menarik liontin dari balik kerah. “Guru, aku sudah meneteskannya dengan darahku. Tapi hanya memancarkan cahaya putih kebiruan. Seperti nyala api... yang tak membakar. Tak ada peta. Tak ada simbol.”
Pria tua itu menatap liontin itu dengan mata nyaris tak berkedip. “Liontin ini bukan sekadar logam dan batu. Kami menyebutnya ‘peta berdarah’... karena hanya bisa dibuka dengan darah dari garis keturunan tertentu.”
Aylin mengerutkan alis. “Kalau aku memang keturunan kakekku, kenapa peta itu tak bisa terbuka?”
“Karena itu belum cukup,” gumamnya. “Liontin itu dibuat oleh Kurosawa, dibantu ilmuwan dari Eropa Timur. Mereka menyematkan peta dalam skala mikroskopik—micro-etching—dan menyembunyikannya di balik lapisan kristal glow. Tapi kunci untuk ‘membaca’ peta itu hanya akan aktif saat terkena protein dalam darah orang yang tepat… dan di waktu yang tepat.”
Aylin menatap liontin itu. “Cahaya biru itu... reaksi deteksinya?”
“Benar. Sistem dalam liontin membaca fragmen genetik dari darahmu—dan merespons sebagai sinyal bahwa kaulah ‘kuncinya’. Tapi membuka peta sepenuhnya… butuh momen yang pas.”
“Momen?”
Diam. Panjang. Padat.
“Aku juga tak tahu momen yang tepat itu,” lanjutnya. “Tapi mungkin... petunjuknya ada di rumah nenekmu.”
Aylin tak menjawab. Tapi sorot matanya berubah. Ada kilat tekad di sana.
“Simpan baik-baik. Jangan sampai jatuh ke tangan yang salah.”
Ia berbalik, membuka pintu logam besar yang mengarah ke lorong panjang dengan target-target latihan menempel di ujung dinding.
“Sekarang waktunya kau belajar menembak lebih baik.”
Pelatihan dimulai.
Ia kembali diajari menembak dari jarak dekat. Mengatur napas di antara tarikan pelatuk. Menyatu dengan bayangan. Lalu—posisi sniper: dari atas, balik jendela, semak-semak, bahkan ruang tertutup.
Tembakan demi tembakan menggema. Telinga berdenging. Napas teratur.
Setelah satu jam, pria itu bersuara, menyeringai kecil. “Kemampuanmu lumayan.”
“Aku berlatih beberapa hari terakhir,” jawab Aylin, singkat.
Sang guru menepuk bahunya. “Bagus. Karena yang akan kau hadapi... jauh lebih berbahaya dari peluru.”
Mata Aylin menyempit.
Dalam bayang-bayang gedung tua, dua elang—yang muda dan yang tua—bersiap menyambut badai yang belum tampak… tapi pasti akan datang.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍