Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terakhir Kalinya
Di depan kamar yang telah dipersiapkan khusus untuk tugasnya malam ini, Ayla berdiri mematung sejenak. Ia menarik napas panjang, memejamkan mata seolah ingin menenangkan kegelisahan yang bergemuruh dalam dadanya, lalu membukanya perlahan. Wajahnya ditampilkan dengan sangat terbuka—penuh keberanian yang dipaksakan.
"Aku berjanji, ini akan menjadi yang terakhir kalinya. Terakhir kali aku menginjak tempat seperti ini, memakai pakaian seperti ini, dan melakukan hal seperti ini," gumam Ayla pelan namun pasti pada dirinya sendiri. Keputusan itu telah ia tekadkan sejak menerima tawaran dari Mamy Jenny, satu kali lagi, hanya untuk terapi Arya. Kali ini, Ayla kembali diminta melayani pria yang sama—lagi dan lagi—demi tujuan yang terus membebaninya.
Dengan tangan yang setengah gemetar, Ayla meraih gagang pintu, membukanya perlahan, dan melangkah masuk ke dalam kamar. Matanya langsung tertuju pada sosok Leo yang sudah terbaring di ranjang. Ia menatap lelaki itu dengan penuh rasa asing bercampur jengah.
"Tingkahmu sangat berbeda ketika di kantor. Dasar pria seks," gumamnya lirih, setengah mengejek, saat menatap Rei yang awalnya belum menyadari kehadirannya.
Ayla merapikan topeng hitam yang menutupi sebagian wajahnya, menarik sudut bibirnya membentuk senyum manis yang penuh kepalsuan, lalu melangkah perlahan ke arah Leo, seolah menyambut takdir pahit yang telah ia pilih untuk terakhir kalinya.
Leo tersenyum samar di tengah ketidaksadarannya, efek dari minuman yang baru saja diteguk sebelumnya masih membungkus kesadarannya dengan kabut hangat yang samar. Matanya setengah terbuka, namun sorotnya tampak kosong, seperti terombang-ambing antara realita dan khayal.
"Kau sudah datang," bisiknya lirih, nyaris seperti gumaman yang terselip di antara desah napasnya.
Ayla hanya mengangguk pelan tanpa suara. Ia tahu peran yang harus ia jalani malam ini. Tanpa ragu, meski tubuhnya sudah letih oleh beban mental dan fisik, tangannya bergerak membuka satu per satu kancing kemeja Leo. Jemarinya gemetar halus, tapi gerakannya tetap pasti.
Tidak butuh waktu lama bagi Leo untuk kembali larut dalam kenikmatan tubuh Ayla. Ia menikmati setiap sentuhan dan kehangatan itu, tenggelam sepenuhnya, tak sadar bahwa mungkin—dan sangat mungkin—itu adalah kali terakhir ia bisa menyentuh wanita yang selama ini selalu hadir dengan topeng dan bayangan.
Di tengah-tengah permainan panas yang hampir mencapai klimaks, di saat tubuh mereka bersatu dalam gelora, sebuah kejadian tak terduga terjadi. Gerakan Leo yang tiba-tiba, penuh gairah dan tanpa kendali, menyentak tali topeng hitam yang selama ini menutupi wajah Ayla.
Tanpa ampun, topeng itu terlepas sepenuhnya dari wajahnya, jatuh ke sisi ranjang dengan bunyi nyaris tak terdengar, namun menggelegar dalam hati Ayla.
Tubuh Ayla yang sudah kelelahan seketika menegang. Matanya membelalak lebar, napasnya tercekat. Ia langsung berusaha menutupi wajahnya dengan tangan, penuh panik dan rasa takut yang membuncah. Seluruh ketenangan palsunya runtuh dalam sekejap.
Apa Leo sempat melihat wajahnya? Apakah sorot matanya yang setengah sadar sempat menangkap identitas asli yang selama ini tersembunyi?
Pertanyaan itu menggantung di udara, mencekam, saat Ayla hanya bisa menatap pria itu dengan tubuh lemas dan hati yang berdebar panik, seolah nasibnya kini bergantung pada detik yang baru saja berlalu.
Ayla buru-buru menutup wajahnya dengan kedua tangan, panik, takut kalau-kalau identitasnya telah terbongkar. Namun, saat tak ada reaksi apapun dari Leo, rasa penasaran membuatnya perlahan mengintip dari sela jemarinya.
Ternyata Leo sudah memejamkan mata, seperti benar-benar tertidur atau terlelap dalam ketidaksadarannya. Ayla menghela napas panjang dan berat, seolah beban besar di dadanya menguap bersama hembusan itu.
"Untung saja," batinnya, sedikit lega. Ia lalu membaringkan tubuhnya perlahan di samping Leo, membiarkan dirinya sejenak terbuai dalam keheningan yang mencekam namun hangat.
Namun tanpa ia sadari, Leo yang tampaknya sudah benar-benar tak sadarkan diri, ternyata masih membuka matanya sejenak. Pandangannya samar, namun cukup untuk menangkap garis wajah Ayla di sebelahnya. Sebelum akhirnya, kelopak matanya kembali tertutup, membiarkan kegelapan menyelimutinya sepenuhnya.
---
Lima Belas Hari Kemudian...
Cahaya matahari sore menyusup melalui jendela ruang perawatan, memberikan nuansa hangat di sela kebahagiaan kecil yang tengah berlangsung. Ayla tersenyum lembut menatap Arya yang kini tampak lebih sehat dan segar. Hari ini adalah hari yang mereka nantikan sejak lama—hari di mana Arya diperbolehkan pulang setelah menjalani perawatan intensif.
Ayla telah melakukan segalanya demi kesembuhan adiknya, bahkan mengorbankan harga dirinya, waktu, dan emosinya. Semua demi Arya, satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Ia sibuk membereskan barang-barang mereka di rumah sakit, sementara Arya duduk di ranjang dengan semangat yang menggebu.
"Kau sudah sembuh, Arya. Kakak senang sekali," ujar Ayla dengan mata berbinar, senyum terukir di wajahnya meskipun lelah tak sepenuhnya menghilang. Ia bahkan sengaja meminta izin dari kantornya untuk tidak masuk kerja hari ini, hanya agar bisa mendampingi Arya pulang.
Arya menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca, penuh rasa haru dan bersalah yang bercampur menjadi satu.
"Ini semua karena kakak... Arya janji, Arya gak akan sakit lagi dan gak akan nyusahin kakak lagi," katanya tulus, suaranya bergetar karena emosi yang membuncah.
Ayla hanya mengangguk pelan, senyum hangat tak pernah lepas dari wajahnya. Tapi sebelum ia sempat membalas, suara tenang dokter mereka menyela, memberikan kehangatan tambahan dalam momen itu.
"Tentu saja, Arya. Kau harus selalu ingat perjuangan kakakmu. Tak semua orang mau berkorban sejauh ini," ujar dokter itu sambil tersenyum tulus, menatap keduanya dengan mata yang penuh rasa hormat.
Ya, mereka hanya berdua di dunia ini—kakak beradik yang saling menjaga dengan sepenuh jiwa, bahkan ketika dunia terasa tak berpihak.