Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kacang Tanah
Tiga ketukan itu menggema bukan di pintu, melainkan langsung di tulang rusuk mereka. Keras, tajam, tanpa keraguan. Itu bukan ketukan ragu-ragu seorang teman atau ketukan tergesa-gesa seorang utusan. Itu adalah ketukan otoritas.
Wajah Li, yang baru saja mulai kembali berwarna, kini berubah menjadi seputih kain kafan. Kacang yang ada di tangannya jatuh ke lantai dengan suara kletak yang memekakkan telinga. Ia menatap Han Qiu, matanya membelalak ngeri, bibirnya bergerak tanpa suara, membentuk satu kata:
Gao.
Jantung Han Qiu terasa seperti jatuh ke perutnya. Sialan. Sialan! Aroma kacang sangrai itu. Sekecil apa pun, seharum apa pun, itu adalah aroma terlarang. Aroma kejahatan. Mereka terlalu larut dalam kemenangan kecil mereka.
"Sembunyikan!" desis Han Qiu, bergerak dengan kecepatan yang lahir dari kepanikan murni.
Dalam sekejap, mereka menjadi badai senyap. Li menyapu sisa kacang di meja ke dalam baskom air kotor. Han Qiu menendang tungku arang kecil kecil ke bawah ranjang reyot mereka, bara apinya yang hampir padam mendesis pelan di atas lantai yang lembap. Ia menyambar wajan kecil itu, panasnya masih terasa samar, dan menjejalkannya di bawah tumpukan kain kotor. Ruangan itu kembali menjadi sel penjara yang suram dan menyedihkan, tetapi udara masih menyimpan hantu aroma gurih yang samar.
TOK. TOK. TOK.
Ketukan itu datang lagi, lebih tidak sabar kali ini.
"Siapa di sana?" panggil Han Qiu, mencoba membuat suaranya terdengar mengantuk dan jengkel, bukan seperti suara orang yang baru saja menyembunyikan bukti kejahatan kuliner.
Keheningan sesaat. Lalu sebuah suara serak dan tua menjawab dari balik pintu,
"Buka pintunya, anak-anak bodoh! Apa kalian mencoba membakar seluruh asrama pelayan dengan bau obat gosong kalian itu?"
Bukan Gao.
Bukan Mandor Gui.
Itu suara Bibi Chen, pelayan tua yang kamarnya berada di ujung lorong. Seorang wanita yang kegembiraan hidupnya satu-satunya adalah mengeluh.
Han Qiu dan Li saling pandang.
Kelegaan yang membanjiri mereka begitu kuat hingga hampir membuat lutut mereka lemas. Han Qiu menarik napas dalam-dalam, menenangkan jantungnya yang berdebar kencang, lalu membuka pintu sedikit.
Bibi Chen berdiri di sana, wajahnya yang keriput berkerut karena kesal.
"Aku bisa menciumnya sampai ke kamarku! Bau aneh apa itu? Seperti akar ginseng yang kau bakar terlalu lama. Kalau kalian membuat masalah, kita semua yang kena getahnya!"
"Maaf, Bibi Chen," kata Han Qiu dengan nada paling patuh yang bisa ia kerahkan.
"Xiao Li merasa sedikit tidak enak badan. Aku hanya merebuskan sedikit jahe untuknya. Mungkin apinya terlalu besar."
Wanita tua itu menyipitkan matanya, mengendus udara di sekitar Han Qiu dengan curiga.
"Jahe, katamu? Baunya lebih mirip... entahlah. Sesuatu yang lebih kaya." Ia mendengus.
"Lain kali, buka jendela kalian. Asap seperti itu bisa membuat hantu tersedak."
Dengan gerutuan terakhir, ia berbalik dan berjalan terseok-seok kembali ke lorong yang gelap. Han Qiu menutup pintu pelan-pelan, menyandarkan punggungnya di kayu yang kasar itu, dan akhirnya membiarkan napas yang ia tahan keluar dalam desahan gemetar.
Li sudah merosot di lantai, menutupi wajahnya dengan tangan.
"Aku akan mati muda," racaunya.
"Aku bersumpah, rambutku sudah beruban tiga helai malam ini. Kita tidak bisa melakukan ini lagi, Xiao Lu. Aroma itu... aroma surga kecilmu itu bisa jadi lonceng kematian kita."
Han Qiu menatap ke arah ranjang tempat anglo itu disembunyikan. Li benar. Api, sekecil apa pun, menghasilkan asap dan aroma yang tak terkendali.
Metode sangrai cepat terlalu berisiko. Ia butuh sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lebih lambat, lebih tersembunyi. Sesuatu yang panasnya konstan tetapi tidak mencolok.
Sebuah ide mulai terbentuk di benaknya, lahir dari pengamatannya selama berminggu-minggu di istana ini. Sebuah ide yang lambat, melelahkan, dan benar-benar gila.
"Kau benar," kata Han Qiu pelan.
"Kita tidak akan menggunakan api lagi." Ia menatap sisa kacang kotor di dalam baskom.
"Kita akan menggunakan uap."
*
Tiga hari berikutnya adalah neraka kesabaran.
Rencana Han Qiu sederhana dalam konsepnya, tetapi menyiksa dalam pelaksanaannya. Di belakang area pemandian para pelayan, terdapat sebuah tungku batu besar yang terus-menerus menyala untuk memanaskan kuali raksasa berisi air.
Tungku itu sendiri dijaga, tetapi panas yang dihasilkannya merambat ke seluruh ruangan, menciptakan lingkungan yang lembap dan hangat secara permanen. Di atas kuali, ada sebuah langkan batu yang lebar, tempat para pelayan biasa meletakkan handuk atau pakaian kotor agar cepat kering.
Langkan batu itulah yang menjadi oven rahasia Han Qiu.
Setiap hari, ia akan mengambil jatah kacang yang sudah dicuci bersih, menyebarkannya tipis-tipis di atas nampan logam datar yang ia curi dari dapur, lalu menutupinya dengan selembar kain tipis seolah-olah ia sedang mengeringkan biji-bijian obat. Ia menyelundupkan nampan itu ke ruang pemandian, meletakkannya di langkan batu yang panas, dan meninggalkannya di sana.
Panasnya tidak cukup untuk membakar, hanya cukup untuk memanggang dengan sangat, sangat lambat. Prosesnya memakan waktu. Bukan jam, tapi hari.
"Kau benar-benar sudah gila," bisik Li pada hari kedua, saat ia membawakan Han Qiu semangkuk air minum.
Han Qiu sedang berpura-pura menyikat lantai di dekat tungku, matanya terus-menerus melirik ke arah nampan tersembunyinya. Keringat membasahi pelipisnya, bukan hanya karena panas tungku, tetapi juga karena ketegangan.
"Kau terlihat seperti sedang menetaskan telur naga, bukan menyangrai kacang."
"Sabar, Li. Sabar," jawab Han Qiu, suaranya serak.
"Panas yang lambat dan merata akan mengeluarkan minyak alami kacang tanpa membuatnya gosong. Rasanya akan lebih dalam, lebih kompleks. Ini... ini teknik sous-vide versi Dinasti Song."
Li hanya menggelengkan kepalanya, tidak mengerti separuh dari kata-kata Han Qiu, tetapi memahami sepenuhnya kegilaan di mata temannya itu.
Setiap beberapa jam, Han Qiu akan menemukan alasan untuk kembali ke pemandian. Memeriksa cucian, mengambil air, atau sekadar lewat. Ia akan mengaduk kacang-kacang itu dengan ujung jarinya secara diam-diam, memastikan semuanya terpanggang merata. Pada awalnya, aromanya hanya seperti tanah basah yang mengering. Lalu, pada akhir hari kedua, sebuah perubahan terjadi. Aroma gurih yang samar mulai menguar, tersembunyi di balik bau uap dan sabun alkali yang menyengat.
Itu adalah proses yang menguji setiap jengkal kesabaran modernnya. Di dunianya yang dulu, ia bisa memanggang kacang dalam oven selama lima belas menit. Di sini, ia menghabiskan tiga hari hidupnya membungkuk di atas uap panas, waspada terhadap setiap langkah kaki, setiap tatapan curiga. Ini bukan lagi sekadar memasak; ini adalah ritual ketahanan.
Pada sore hari ketiga, saat ia memeriksa nampannya untuk yang kesekian kalinya, ia tahu usahanya telah terbayar.
Kacang-kacang itu telah berubah. Warnanya menjadi cokelat keemasan yang sempurna, kulit arinya sedikit merekah, melepaskan aroma yang begitu kaya dan memabukkan hingga membuat perutnya keroncongan. Gurih, sedikit manis, dengan jejak aroma panggang yang dalam.
Ia mengambil satu butir, meniupnya agar dingin, dan memasukkannya ke dalam mulut.
KRAK.
Teksturnya renyah sempurna. Rasanya meledak di lidahnya, seratus kali lebih kuat daripada kacang yang ia sangrai di tungku arang kecil malam itu. Kemenangan terasa begitu manis. Ia dengan cepat membungkus harta karunnya itu dalam beberapa lapis kain tebal, menyembunyikannya di balik tumpukan kayu bakar, dan kembali bekerja dengan senyum tipis di wajahnya.
Ia berhasil.
Senjatanya telah siap. Bumbu kacang untuk sang Kaisar kini bukan lagi sekadar mimpi.
Malam itu, setelah menyelesaikan tugasnya membersihkan sisa-sisa makan malam para pelayan, Han Qiu merasa lelah tetapi puas. Ia berjalan menyusuri koridor remang-remang menuju kamarnya, benaknya sudah sibuk merancang langkah selanjutnya:
menggiling kacang, mencampur bumbu, menemukan cara untuk memanggang sate.
Ia begitu tenggelam dalam pikirannya sehingga ia tidak menyadari sosok tinggi dan ramping yang berdiri diam di persimpangan koridor di depannya, seperti patung pualam yang diletakkan di tengah kegelapan.
Baru ketika ia hanya berjarak beberapa langkah, ia mengangkat kepalanya.
Chef Gao.
Jantung Han Qiu berhenti berdetak. Ia menundukkan kepalanya secara refleks, berharap bisa melewatinya tanpa diperhatikan, seperti seekor tikus yang mencoba menyelinap melewati seekor kucing yang sedang tidur.
"Berhenti."
Suara Gao sedingin es, memotong keheningan malam.
Han Qiu membeku, setiap ototnya menegang. Ia tidak berani mengangkat wajahnya. Ia hanya bisa menatap ujung sandal sutra Gao yang tanpa noda.
Keheningan yang menyiksa menggantung di antara mereka. Han Qiu bisa merasakan tatapan Gao menusuk puncak kepalanya. Ia menunggu. Menunggu teriakan, tuduhan, atau hukuman.
Tapi yang datang bukanlah itu.
Gao mengambil satu langkah mendekat. Han Qiu bisa mendengar gemerisik jubahnya yang kaku. Lalu, ia mencium aroma samar bunga plum dari pakaian Gao.
Dan Gao mencium sesuatu yang lain.
"Pelayan Xiao Lu," ujar Gao, suaranya rendah dan penuh selidik. Ia tidak sedang marah. Ia sedang... penasaran. Seperti seorang ilmuwan yang menemukan spesimen aneh.
"Bau apa itu?"
Han Qiu bingung.
"Bau... apa, Nyonya Kepala Koki?"
Gao tidak menjawab. Sebaliknya, ia membungkuk sedikit, wajahnya yang pucat kini sejajar dengan Han Qiu. Hidungnya yang mancung bergerak sedikit, mengendus udara tipis di sekitar bahu Han Qiu.
"Bukan bau dapur. Bukan bau sabun. Bukan bau bunga," bisiknya, matanya yang tajam menatap lekat-lekat ke kain seragam Han Qiu yang usang.
"Baunya... hangat. Gurih. Hampir seperti... tanah yang dibakar."
Mata Gao menyipit, sebuah kilatan pemahaman yang berbahaya menyala di dalamnya.
"Bau yang sama seperti yang pernah kucicipi di jalanan kotor bertahun-tahun yang lalu. Bau kemiskinan yang mencoba berpura-pura menjadi kenikmatan."
Ia mengangkat tangannya, ujung jarinya yang panjang dan dingin hampir menyentuh kerah baju Han Qiu.
"Katakan padaku, Pelayan Xiao Lu," desisnya, setiap kata seperti serpihan es.
"Bau apa yang kau selundupkan dari neraka rendahan ke dalam istanaku yang suci ini?"