Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32
Setelah resmi pindah ke mansion barunya, Anjani mulai menata hidupnya kembali. Rumah besar itu terasa lebih hangat dengan kehadiran Kevin yang kini sudah berkuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta.
Suatu pagi, Anjani sibuk menyiapkan sarapan di dapur. Kevin turun dengan membawa buku kuliahnya, wajahnya tampak bersemangat.
"Kak, aku berangkat dulu ya. Ada kelas pagi ini."
Anjani menoleh sambil tersenyum lembut.
"Jangan lupa makan dulu, Kevin. Jangan sampai sakit."
Kevin mengangguk dan segera menyantap sarapan yang disiapkan kakaknya. Setelah Kevin berangkat, Anjani bersiap pergi ke kantor. Hari ini adalah hari pertamanya kembali bekerja sebagai asisten sekretaris William.
Sesampainya di kantor, suasana sudah sibuk. Clara, yang masih menyimpan iri hati, melirik Anjani dengan tatapan sinis. Namun, Anjani memilih untuk tidak memperdulikannya.
Ketika Anjani memasuki ruang kerja Wiliam, pria itu langsung menyambut dengan senyum lebar.
"Selamat datang kembali, Nona Anjani. Akhirnya kantor ini punya cahaya lagi."
Anjani tertawa kecil, mencoba menjaga profesionalitasnya.
"Terima kasih, Pak Wiliam. Saya siap bekerja kembali."
William mendekat, menatap Anjani dengan penuh arti.
"Aku senang kamu kembali. Sepertinya hari-hariku akan lebih berwarna mulai sekarang."
Anjani tersipu, namun segera mengalihkan perhatian pada tumpukan berkas di meja.
"Kalau begitu, mari kita mulai bekerja, Pak.
William menarik pelan tangan Anjani, membawanya mendekat sehingga tubuh mereka hanya berjarak beberapa inci. Tatapan matanya tajam, penuh gairah yang tertahan.
"Anjani... kamu tahu sudah berapa lama aku menunggu di sini ,rasanya begitu lama kantor ini kamu tinggalkan?" bisiknya, suaranya dalam dan bergetar.
Anjani menelan ludah, jantungnya berdetak kencang. Ia mencoba menghindari tatapan Wiliam, tapi pria itu justru mengangkat dagunya dengan lembut, memaksa mata mereka bertemu.
"Aku gila setiap kali melihatmu... sejak pertama kali kamu masuk ke kantorku. Tapi aku menahan diri, menunggumu sadar kalau aku bukan sekadar kagum aku mencintai mu sayang ."
Anjani menggigit bibir bawahnya, tubuhnya terasa lemas di bawah dominasi tatapan William.
"Wiliam... aku—"
Belum sempat Anjani menyelesaikan kata-katanya, William sudah mendekat, bibirnya hanya beberapa milimeter dari telinga Anjani.
"Katakan... kalau kamu juga merindukanku sayang ."
Hembusan nafas hangatnya membuat bulu kuduk Anjani meremang. Ia berusaha menahan gejolak dalam dirinya, tapi William semakin mempermainkan keberaniannya.
"Aku nggak akan melepaskanmu lagi, Anjani... kecuali kamu sendiri yang meminta."
Anjani memejamkan mata, hatinya berperang antara rasa malu dan gairah yang mulai membara. Tangan William melingkar di pinggangnya, menarik tubuh Anjani lebih dekat hingga ia bisa merasakan detak jantung pria itu yang tak kalah cepat.
"Aku... merindukanmu, William."
Senyum puas tersungging di bibir Wiliam sebelum akhirnya bibirnya mendarat lembut di sudut bibir Anjani, memberikan ciuman yang perlahan semakin dalam, menyalakan api di antara mereka berdua.
Suasana panas itu mendadak buyar saat terdengar suara ketukan pintu.
Tuk... tuk... tuk...
Anjani buru-buru mendorong William, wajahnya merah padam. Ia merapikan rambut dan bajunya dengan tangan gemetar, sementara William hanya tersenyum tipis, seolah tak terganggu.
"Masuk," ucap William dengan suara berat, menahan sisa gejolak di dadanya.
Pintu terbuka, Adam muncul dengan setumpuk berkas di tangan.
"Maaf mengganggu, Tuan William... investor yang ditunggu sudah hadir di ruang rapat."
William mengangguk singkat.
"Aku segera ke sana."
Adam menutup pintu kembali, meninggalkan keheningan di ruangan itu.
William melirik Anjani yang masih sibuk menata diri, lalu berbisik pelan di telinganya sebelum pergi.
"Kita belum selesai, Sayang... aku pasti menagihnya nanti."
Anjani hanya terdiam, wajahnya kembali memerah, sementara William pergi dengan senyum penuh arti.
Di ruang rapat yang elegan dengan dinding kaca besar, William dan Pak Robert sudah menunggu kedatangan investor mereka. Aroma kopi hangat tercium di udara, menambah kesan profesional dalam pertemuan penting itu.
Tak lama, pintu terbuka dan Pak Davit, seorang pria paruh baya dengan setelan jas abu-abu, masuk dengan langkah percaya diri.
"Selamat siang, Tuan William, Tuan Robert," sapa Pak Davit dengan senyum ramah, mengulurkan tangan.
William segera berdiri, membalas jabat tangan dengan penuh hormat.
"Selamat siang, Pak Davit. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu dengan kami."
Pak Robert ikut menyambut, memberikan anggukan sopan.
"Kami sangat menghargai kehadiran Anda di sini, Pak Davit. Kami berharap kerjasama ini bisa membawa keuntungan bagi kedua belah pihak."
Setelah berbasa-basi, mereka duduk di meja panjang. Adam segera menyajikan kopi dan beberapa dokumen yang sudah disiapkan.
Wiliam membuka pembicaraan dengan suara tegas.
"Kami sudah mempelajari proposal dari pihak Anda, dan menurut kami ada potensi besar dalam proyek ini. Namun, kami ingin mendengar langsung visi dari pihak Pak Davit tentang rencana investasi ini."
Pak Davit tersenyum tipis, menatap kedua pria di depannya sebelum mulai menjelaskan rencana kerjasama mereka dengan suara tenang namun penuh keyakinan.
Diskusi berlangsung hangat. William menunjukkan ketajaman bisnisnya, sementara Pak Robert menambahkan pengalamannya dalam dunia industri.
Setelah beberapa saat, mereka mencapai kesepakatan awal, ditutup dengan jabat tangan dan senyum puas dari kedua belah pihak.
"Kami akan menyiapkan draft kontrak secepatnya," ujar William.
"Baik, saya menantikannya." Pak Davit bangkit, bersalaman sekali lagi sebelum pamit.
Setelah investor pergi, Wiliam dan Pak Robert saling pandang dengan ekspresi lega.
"Langkah besar untuk perusahaan kita, Wiliam," ucap Pak Robert.
"Benar, Pi. Ini awal yang baik untuk masa depan."
Keduanya meninggalkan ruang rapat, bersiap melanjutkan pekerjaan dengan semangat baru.
****”
Hari pertama kuliah, Kevin melangkah masuk ke kampus dengan percaya diri. Rambut pirang keemasannya sedikit berantakan namun tetap terlihat stylish. Sorot matanya biru teduh, memperjelas darah keturunan bule yang mengalir di dirinya.
Dengan kaus putih dan jaket denim membalut tubuh atletisnya, Kevin menarik perhatian banyak orang, terutama para mahasiswi. Bisikan dan lirikan diam-diam mengiringi langkahnya di sepanjang koridor.
Di kelas, Kevin memilih duduk di barisan tengah, berusaha tidak terlalu mencolok. Namun, pesonanya sulit diabaikan. Seorang gadis dengan kulit sawo matang, rambut panjang hitam tergerai, dan senyuman manis memberanikan diri mendekat.
"Hai, kamu mahasiswa baru ya? Aku Raina."
Kevin menoleh, menatap gadis itu dengan sorot mata birunya yang tajam.
"Iya, aku Kevin." jawabnya singkat, suaranya rendah namun ramah.
Raina tersenyum, mencoba membuka obrolan lebih jauh.
"Ngambil jurusan apa?" tanyanya, sedikit gugup.
"Manajemen bisnis."
Percakapan mereka tak berlangsung lama, tapi cukup membuat Reina semakin penasaran. Kevin kembali fokus pada buku catatannya. obrolan mereka terhenti saat dosen masuk keruangan tersebut.
Di sudut taman kampus yang teduh, seorang perempuan cantik berdiri diam, memperhatikan Kevin dari kejauhan. Tatapannya tajam namun sulit diartikan—seolah menyimpan sesuatu yang belum terungkap.
Kevin, yang sedang berbincang dengan beberapa teman barunya, tak menyadari keberadaan perempuan itu. Ia tertawa ringan, rambut pirangnya berkilauan di bawah sinar matahari, membuatnya semakin mencolok di antara mahasiswa lain.
Perempuan itu mengepalkan tangannya pelan. "Kevin... akhirnya kita bertemu lagi," gumamnya hampir tak terdengar. Ada bayangan masa lalu di matanya, sesuatu yang mungkin hanya ia dan Kevin yang tahu... atau mungkin hanya dirinya saja yang mengingatnya.
******
Adrian mulai membiasakan diri tanpa Anjani di sisinya. Meskipun hatinya masih berat, ia berusaha melanjutkan hidup. Anggun tetap datang sesekali, memberikan perhatian kecil tanpa paksaan. setiap makan siang Adrian pulang kerumah .
"Mas, aku bawakan makan siang. Kamu pasti belum sempat makan," ujar Anggun lembut, meletakkan rantang di meja makan.
Adrian hanya menatap sekilas tanpa menjawab, lalu melanjutkan makan tanpa banyak bicara. Bu Rina yang melihatnya justru semakin mendukung Anggun untuk menjadi bagian dari keluarga mereka.
"Anggun, kamu memang perempuan yang pengertian. Cocok jadi pendamping Adrian."
Anggun hanya tersenyum ,pejuh harap sama Adrian .
Setelah suasana hening sejenak, Adrian melirik jam di pergelangan tangannya.
"Aku balik ke kantor dulu, Anggun."
Nada suaranya datar, tanpa emosi. Ia bangkit dari sofa, meraih jas yang tergantung di sandaran kursi.
Anggun buru-buru ikut berdiri, mencoba menahan.
"Mas... Jangan terlalu capek, ya. Aku cuma ingin yang terbaik buat kamu."
Adrian hanya mengangguk singkat tanpa menoleh.
"Terima kasih."
Tanpa kata tambahan, ia melangkah keluar meninggalkan Anggun yang masih duduk m di ruang tamu dengan perasaan kecewa. Hatinya terasa sesak, tapi ia memilih untuk menahan diri.
Adrian menyalakan mesin motornya dan melaju pergi, mencoba menenggelamkan pikirannya pada pekerjaan.
Anggun duduk di ruang tamu dengan secangkir teh hangat di tangannya. Pikirannya terus melayang pada Adrian. Meski Adrian masih dingin dan tertutup, rasa sayangnya membuat Anggun bertahan.
Ia mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan singkat untuk Adrian.
"Mas, bagaimana kalau besok kita makan malam bersama Mama dan Papa? Aku ingin mengenalkanmu lebih dekat."
Pesan itu terkirim, tapi tak segera mendapat balasan. Anggun hanya bisa menunggu dengan sabar. Ia tahu Adrian butuh waktu untuk menerima semuanya.
Dalam hati, Anggun berjanji akan terus mendampingi Adrian, meski kadang hatinya perih melihat pria yang ia cintai masih terbayang sosok Anjani.
“ Ok…nanti aku usahakan “ . Balasan Adrian singkat. Tapi itu cukup membuat anggun senang.
Apakah Adrian akan tetap menikahi anggun ,ataukah ia masih belum move on dari Anjani?...
jng krn cinta trus ngorbanin keadilan yg jelas buat kakakmu.
wanita macam Alana mudah di cari bnyak pun, tp keadilan tidak bisa di cari kl kita tdk menegakkan. ingat jng lemah.
pa lagi Williams bnyak pikiran pasti mudah jenifer njebak.
smp hapal bner krn tiap penulis selalu bikin konflik bgini, jarang ada lelaki yg gk bisa di jebak pasti kebanyakan masuk jebakan 😂😂😂😂😂
hrs berani lawan lahhh