"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Paket
"Hem, mentang- mentang makan enak, gak mau nawarin temen yang lain." Dina yang melihat Hanin baru menyuapkan secuil daging ke mulut seketika melempar sindiran pedas.
"Bukan gitu, Din. Aku aja gak tau ini dari siapa. Kamu mau? Kalau mau makan saja." Hanin menyodorkan steak daging miliknya.
"Dih, ogah ah! Emang kamu kira aku tong sampahmu yang mau makan bekasmu? Gak sudi!" Dina melengos, kemudian menghentakkan kaki meninggalkan Hanin dengan jengkel.
Mega yang melihat hanya geleng-geleng kepala.
"Sabar, ya, Nin. Dia itu cuma iri. Padahal pengen minta tapi malu," ucapnya seraya terkekeh.
"mau, Meg? Tadi aku cuil sama Hanin tersenyum saja. "Kamu sendok, kok. Jadi aman," tawarnya.
"Boleh, Han?"
"Ya bolehlah! Nih, ayo kita makan bareng!" Hanin tersenyum, sampai kedua matanya menyipit.
Ia paling senang jika makan sambil bersama seperti ini.
"Ya ampun. Ini makanan apa,Nin? Kok ueenak banget?" Kedua Mata Mega berbinar bahagia.
Baru kali ini ia makan masakan ini. "Apa ini empal daging, Nin? Tapi, kok lembut banget. Mana rasanya kayak bukan empal daging," ocehnya.
Hanin terkikik. "Aku juga gak tau, Meg. Tapi, di kotaknya ada tulisannya steak. Dari restoran Savana Noir," tukasnya.
"Savana Noir? Bentar deh aku cek di mbah google." Mega mengeluarkan ponselnya dan mengetik nama restoran yang disebut Hanin di kolom pencarian.
Beberapa detik kemudian, Mega syok saat melihat daftar harga yang tertera di layar ponselnya.
"Astaga! Astaga! Hanin, makanan yang kita makan ini harganya jutaan loh, Nin! Ya Ampun, mana disini gak ada harga di bawah sejuta.Sekali makan ini kita harus nabung berbulan- bulan, Nin."
Hanin mengernyit. "Emang harganya berapa?" tanyanya.
"Paling murah 2 jutaan, Nin!"
"Apaaa?!" Hanin ternganga. Seketika ia menjatuhkan garpu yang dipegang.
"Aastaghfirullah ... makan ginian aja harganya dua juta?!" pekiknya.
Mega mengangguk. "Tapi, aku gak tau makanan ini jenis steak apa. Soalnya harganya beragam. Bisa jadi makanan ini yang paling murah. Tapi, bisa jadi juga yangpaling mahal," tukasnya seraya meletakkan ponselnya di meja.
Hanin bergeming. Mendadak selera makannya menguap begitu saja. Uang jutaan jika hanya digunakan sekali makan rasanyasangat disayangkan sekali. Ia semakin penasaran pada sosok Tuan Muda itu. Kenapa lelaki itu harus memberinya makanan semahal ini?
"Nin, emang kamu yang beli steak ini?" Mega menatap Hanin dengan tatapan penasaran.
"Bukan."
"Terus siapa?"
Hanin menghela napas panjang. "Aku gak tau, Meg. Tadi, Ko Yusuf bilang kalau ada orang nyari aku, kan? Nah, saat aku temui dia ternyata pria seusia Bapak. Dia ngasih ini ke aku, katanya dari Tuan Muda. Saat kutanya Tuan Muda siapa, dia gak mau bilang,"jelasnya.
Mega manggut- manggut."Tuan Muda, ya? Kalau dipanggil begitu, sih kelihatannya bukan orang sembarangan. Ngeluarin uang dua juta bagi orang kayak gitu seperti cuma ngeluarin uang dua ribu saja,"' celetuknya.
"Tapi, masalahnya bukan disitu, Meg. Masalahnya aku gak kenal sama Tuan Muda itu. Lalu, kenapa dia malah ngasih aku makanan mahal ini?"
Mega mengendikkan bahu."Mungkin aja dia berniat sedekah. Siapa tahu yang dikasih bukan cuma kamu aja, Nin." Ucapan Mega berhasil membuat Hanin sedikit lega.
"Benar juga, ya. Siapa tahu begitu."
"Iya. Jadi, gak usah terlalu di pikirin."
Hanin mengangguk. "Kamu mau memakannya? Makan saja, Meg!"
Mega menggeleng. "Enggak,deh. Aku minder sama makanan itu, Nin. Hiks! Gajiku buat beli makanan itu aja gak cukup!"
"Terus... makanan ini aku apain?"
"Bawa pulang saja. Orang tuamu pasti suka. Apalagi ibumu. Aku yakin ibumu akan dengan cepat menghabiskannya," kelakar Mega.
Hanin tertawa. "Iya udah. Aku bawa pulang saja. Keluargaku harus tahu rasanya makanan ini."
Sore harinya, saat hendak pulang ke rumah usai bekerja, Raffa sudah menunggu di depan toko dengan duduk di atas motornya.Pria itu benar- benar menepati ucapannya.
"Oh, kamu dijemput suamimu,ya, Nin? Kalau gitu aku duluan, ya?" Mega melambaikan tangan dan berjalan lebih dulu.
Sementara Dina mendengkus saat melihat bahwa suami Hanin ternyata sangat tampan dan gagah."Cih, niat mau pamer suami nih?"cetusnya.
"Itu hanya pemikiranmu saja kali, Din. Coba deh kamu perbaiki hatimu, agar melihat sesuatu bukan cuma dari sisi buruknya saja. Aku yakin, setelah itu kamu akan lebih bahagia." Hanin tersenyum saat Dina malah terlihat semakin kesal.
"'Aku pulang dulu, Din. Suamiku sudah menunggu," kata Hanin.
Dina memicingkan mata. Ia merasakan seperti ada gejolak amarah yang bergulung-gulung didadanya saat melihat kebahagiaan Hanin.
"Mas, kamu udah lama nunggu?" Hanin bertanya pada Raffa setelah berdiri di hadapan pria itu.
"Enggak." Tatapan Raffa memindai tas dengan logo restoran ternama yang ditenteng Hanin.
"Apa itu?" tanyanya.
"Makanan, Mas. Steak daging.Dikasih orang yang lagi bersedekah tadi." Hanin menjawab sambil
menujukkan tas tersebut.
"Orang sedekah?" Kening Raffa mengernyit.
"Iya. Tadi, ada orang ke sini nyari aku buat ngasih ini. Dia bilang dari Tuan Muda. Waktu aku tanya Tuan Muda siapa, dia gak mau jawab, Mas," jelas Hanin. "Aku pikir dia niat sedekah karena gak mau ngasih identitasnya. Aku juga yakin kalau dia ngasih makanan ini gak cuma ke aku," imbuhnya.
Raffa melongo, tapi sesaat kemudian ia berdeham keras. "Apa kamu memakannya?"
"Iya. Tapi cuma sedikit. Mega juga aku kasih tapi, dia gak mau ngabisin, Mas. Makanan ini ternyata makanan mahal."
"Terus?"
Hanin menghela napas. "Ya mending aku bawa pulang saja, Mas. Biar kita bisa makan sama-sama. Bapak sama Ibu juga biar bisa ngerasain makanan ini. Soalnya ini enak banget, Mas. Mahal lagi! Mana tega aku kalau membiarkan keluargaku gak ikut nyicipin makanan ini."
Raffa mengembuskan napas panjang. "Aku gak bisa memahamimu, Nin," celetuknya.
Hanin tersenyum. "Karena Mas baru mengenalku. Jika Mas sudah lama kenal sama aku, Mas akan bisa sangat memahamiku," sahutnya.
"Pemikiran yang salah!" Hanin merengut. "Kok, bisa?"
"Menyibak fajar selama bertahun- tahun bukanlah jaminan pemahaman akan lahir, Nin.
Sungguh, terkadang ada jiwa-jiwa yang baru saja melintas di hidupmu namun seolah dapat merasakan denyut nadimu. Lihatlah Ibu dan adikmu, meskipun sudah bersama sejak lama, mereka masih asing dalam memahami jeritan hatimu."
Hanin terperangah. "Duh, gak usah sok puitis, Mas! Aku jadi geli!"
Raffa tergelak. "Ya intinya, waktu bukanlah penentu. Tapi, hati dan ketulusan adalah pondasi."
"Iya deh, terserah kamu, Mas. Ayo, kita pulang!"
Bu Daning melihat kedatangan Raffa dan Hanin dengan tatapan sinis. Ia tak terima jika Lisna diperlakukan buruk oleh Raffa. Ia mendengar aduan Lisna tentang ancaman Raffa padanya.
"Hei, kamu itu orang baru dirumah ini. Jangan berani mengancam putriku!" tunjuknya pada Raffa yang baru saja masuk rumah.
Raffa tersenyum tipis. "Aku hanya bertindak sebagai suami yang melindungi istri, Bu."
Tatapan sinis Bu Daning tak mengendur meski Raffa sudah menjelaskan maksudnya. Wanita itu berdiri tegak dengan tangan berkacak pinggang, seolah siapun tuk menyerang dengan kata-kata.
"Suami apa? Pernikahan kalian
itu cuma karena terpaksa! Jangan kira aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu itu cuma numpang nama baik di keluargakami!" seru Bu Daning tajam.
Hanin yang berdiri di samping Raffa, merasa ingin membela suaminya, tetapi lidahnya kelu. Ia terlalu lelah untuk berdebat karena baru pulang kerja. Toh, pasti ibunya akan terus membahas masalah penggebrekan itu sebagai senjata untuk menjatuhkannya. Sementara Raffa tetap tenang
tak tersulut emosi. Ia hanya tersenyum tipis, sebuah senyum yang membuat Bu Daning semakin jengkel.
"Maaf, Bu, tapi saya rasa tidak pantas membahas pernikahan kami di sini. Saya hanya ingin memastikan tidak ada yang mengganggu Hanin, istri saya.Kalau Lisna merasa tersinggung,saya minta maaf, tapi dia harus belajar menghormati kakaknya,"ujar Raffa dengan nada rendah namum tegas.
Bu Daning mendengus keras."Hormat? Kamu kira kamu siapa?Jangan terlalu percaya diri! Hanin
itu tidak akan pernah lebih baik dari Lisna!"
Kata- kata itu membuat dada Hanin terasa sesak. Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti itu oleh ibunya, tapi mendengar penghinaan itu di depan Rafa membuatnya merasa lebih malu dari pada marah.
"Ibu, cukup," kata Hanin akhirnya, suaranya bergetar. "Mas Raffa tidak salah. Kalau ada yangtidak suka dengan pernikahan kami, itu urusan mereka, bukan urusan kita."
Raffa menoleh ke arah Hanin. la melihat keberanian yang perlahan muncul di mata istrinya, dan itu membuatnya merasa bangga, meskipun ia tidak mengatakannya.
Bu Daning mendelik, tetapi sebelum ia sempat membalas, suara Lisna terdengar dari balik pintu.
"Ibu, biarkan saja mereka! Lagipula, pernikahan mereka tidakakan bertahan lama!" serunya dengan nada penuh kemenangan.
Raffa menoleh tajam ke arah Lisna. "Kita lihat saja, Lisna. Tapi sebelum itu, pastikan kamu tidak mengganggu Hanin lagi."
Malam itu, setelah semua orang masuk ke kamar masing- masing,Hanin mendapati Raffa sedang duduk di tepi ranjang, memegang ponselnya dengan ekspresi serius.
"Mas, kamu baik- baik saja?Kamu libur kerja lagi?" tanya Hanin, mendekat dengan hati- hati.Raffa mengangguk, lalu menepuk tempat di sampingnya,mengisyaratkan agar Hanin duduk.
"Aku harus bicara sesuatu sama kamu," ujarnya, tak mau membahas masalah pekerjaan.
"Apa itu, Mas?"
Raffa menghela napas panjang."Aku tidak suka cara ibu dan adikmu memperlakukanmu. Kalau mereka terus seperti itu, aku pikir lebih baik kita cari tempat tinggal sendiri. Kita bisa tinggal di kontrakanku."
Hanin terkejut. "Tapi, Mas. Aku cuma pegawai toko biasa. Kamu juga cuma OB. Gaji kita pasti akan sangat pas- pasan nantinya kalau masih buat bayar kontrakan."
"Jangan khawatir soal itu. Akusudah nenabung cukup lama. Kitabisa mulai dari awal di tempat baru.Yakinlah, bahwa Allah akan menyukupkan kebutuhan kita. Aku juga ingin melihatmu bahagia, tanpa ada penekanan dari keluargamu sendiri."
Hanin merasa dadanya berdesir. Di satu sisi, ia merasa bersyukur karena Raffa memikirkan kebahagiaannya.Namun, di sisi lain, ia merasa tidak siap untuk meninggalkan keluarganya, seburuk apa pun mereka memperlakukannya.
"Tapi, Mas ... Bapak, Ibu dan Lisna ....
"Aku tahu mereka keluargamu,dan aku tidak meminta kamu memutus hubungan. Tapi kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri, Hanin. Kamu sudah terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang mereka."
Dalam diam, ia menyadari bahwa Raffa benar. Hanin tidak tahu harus berkata.
Keesokan paginya, Raffa pamit pergi bekerja usai sarapan. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Hanin untuk tidak memberitahu siapa pun tentang rencananya semalam.
Namun, tak lama setelah Raffa pergi, Lisna mendatangi Hanin didapur dengan senyuman licik."Jadi, apa rencana kalian sekarang?Kabur dari sini?" tanyanya sambil mencondongkan tubuh ke arah Hanin.
Hanin mencoba menghindar."Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan."
"Oh, ayolah. Aku tahu suamimu itu bukan orang baik. Kamu kira aku tidak tahu? Cepat atau lambat, rahasianya akan terbongkar."
Hanin berhenti memotong sayur dan menatap Lisna dengan tajam.
"Apa yang kamu tahu,Lisna?"
puas karena akhirnya mendapatkan perhatian Hanin."Oh, banyak. Tapi aku tidak akan memberitahumu sekarang. Aku Lisna tersenyum lebar, seolah ingin lihat dulu seberapa jauh kamu dan suamimu bisa bertahan."
Hanin tersenyum tipis. "Aku kasihan sama kamu, Lis."
"Maksudmu apa?!" teriak Lisna.
"Kamu segitu irinya sama aku." Hanin menatap Lisna dengan senyum penuh arti.
"Cuih! Aku? Iri sama kamu? Najis!"
"Kalau begitu uruslah dirimu sendiri, Lis. Urus saja hubunganmu dengan Arya."
Lisna mendengkus. Saat ia menoleh ke arah meja, matanya menyipit saat melihat steak daging yang pernah ia makan bersama Arya beberapa bulan lalu.
"'Siapa yang beli steak ini?"tanyanya.
"Suamiku," jawab Hanin seadanya.
Tawa Lisna meledak. "Mana mungkin? Suamimu itu cuma OB. Emang gaji OB berapa, sih? Sampai bisa beli makanan harga jutaan kayak gini? Halu kamu, Nin!" ledeknya.
Hanin mengembuskan napas panjang. "Terserah kalau kamu gak percaya. Itu bukan urusanku," sahutnya.
Namun, bukan Lisna yang mau mengalah begitu saja. "Percaya, kok. Aku percaya! Pasti suamimu itu bisa beli makanan itu setelah mengusihkan gajinya selama setahun, kan? Kalau enggak, pasti suamimu bisa beli dari uang hasil nyuri!"
"Lisna! Jaga ucapanmu!" Hanin melotot sambil mengacungkan pisau yang ia pegang untuk mengiris buah semangka. Lisna menelan ludahnya."Kenapa? Kamu mau bunuh aku? Yaudah, bunuh aja kalau kamu mau mati di tangan ibu!" tantangnya.
Hanin memejamkan mata."Pergilah! Jangan berdiri didepanku!" Lisna berdecak. Saat ia hendak menyomot sepotong buah semangka, terdengar ketukan pintu dari ruang tamu. Hanin segera berjalan ke luar dan menyambut tamu yang ternyata tukang paket.
"Maaf, Mbak. Apa benar ini rumah Mbak Hanin Nurul Azizah?" tanya pemuda yang berdiri di hadapan Hanin.
"Iya, saya sendiri."
"Oh, baik. Ini ada paket untuk Anda."
"Tapi, saya tidak memesan apapun, Mas," jawab Hanin. Dan paket ini sudah dibayar.
"Tapi, ini dikirim untuk Anda.Silakan diterima."
Hanin kembali merasa aneh, karena sudah dua hari ini ia mendapat barang tanpa tahu siapa pengirimnya. Apakah orang itu orang yang sama?
"Ya udah, Mas. Terima kasih,"ujar Hanin pada akhirnya.
Hanin membuka paketnya didapur, karena ia tadi hendak makan. la kembali dikejutkan karena isi paketan itu adalah skincare mahal yang selama ini selalu Hanin impikan tapi takpernah kesampaian untuk membeli. Dan kali ini, orang misterius itu yang membelikan skincare itu untuknya. yang viral itu? Kamu beli, Nin?"
"Astaga! Itu kan skincare mahal.
Hanin mengangguk. "Iya, suamiku yang membelikannya untukku." Sengaja ia bicara begitu agar Lisna tak lagi merendahkan Raffa.
Lisna mencebik. "Haluuu! Aku gak bakalan percaya. Palingan kamu beli sendiri tapi yang KW!"
"Enggak, kok. Ini ada label aslinya. Bahkan ada stempel yang cuma ownernya aja yang punya!" balas Hanin, yang sontak saja membuat wajah Lisna merah.
"Sini! Aku mau lihat!"
"Jangan. Ini punyaku, dari suamiku!"
"Jangan songong, Nin! Siniin!"
"Ingat kata Mas Raffa kan? Sekali kamu nyentuh aku, tanganmu akan dipatahkan!"
Ucapan Hanin ternyata berhasil membuat Lisna takut. Lisna mendengkus dan merajuk. Ia berniat meminta skincare yang sama kepada Arya.