NovelToon NovelToon
Kapten Merlin Sang Penakluk

Kapten Merlin Sang Penakluk

Status: sedang berlangsung
Genre:Action
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: aldi malin

seorang kapten polisi yang memberantas kejahatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aldi malin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

luka yang membara

Aula Istana Negara — Pagi Hari

Lampu kristal menggantung megah dari langit-langit. Para pejabat tinggi, wartawan, dan undangan khusus telah berkumpul. Suasana formal namun penuh kebanggaan memenuhi ruangan.

Di podium, Presiden berdiri tegak mengenakan setelan resmi. Suaranya lantang dan penuh penghargaan:

"Hari ini, bangsa Indonesia memberikan penghormatan tertinggi kepada dua putra-putri terbaik negeri ini. Atas keberanian, integritas, dan dedikasi luar biasa dalam menumpas jaringan kejahatan lintas negara."

Tepuk tangan menggema ketika nama mereka disebut:

"Kapten Merlin Aina..."

"...dan Komisaris Reno Aditya."

Merlin melangkah maju, tegap dan tenang, mengenakan seragam terbaiknya. Di belakangnya, Reno menyusul dengan senyum kecil namun penuh makna.

Presiden menyematkan lencana kehormatan emas di dada mereka. Cahaya lampu memantul di permukaan logam, seolah menyimbolkan cahaya kebenaran yang telah mereka perjuangkan.

"Terima kasih atas pengabdian kalian," kata Presiden, suaranya tulus. "Negeri ini berhutang pada kalian."

Merlin mengangguk pelan. Tapi dalam hatinya, ia tahu: perjuangan belum usai.

Tangannya meraba saku di balik jas seragam—flashdisk itu masih di sana. Masih ada rahasia yang belum terungkap.

Rumah Kapten Merlin — Larut Malam

Hening. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar.

Di meja kerjanya, Merlin duduk menatap layar laptop. Flashdisk dari Chen kembali terpasang. Ia membuka folder demi folder... sampai satu file menarik perhatiannya.

“Final – Tidak Untuk Dibuka Sembarangan.”

Tangan Merlin gemetar saat membukanya. Sebuah video pendek muncul—rekaman CCTV kabur tapi cukup jelas.

Gilang... Dirga...

Tembakan. Jeritan.

Darah.

Merlin menutup mulutnya, matanya membelalak. Napasnya sesak.

"Ya Tuhan... mereka dibunuh."

Tapi di dalam folder itu masih ada satu file lagi—bernama "Phoenix.exe". Ketika dibuka, muncul prompt:

"Masukkan password untuk membuka akses penuh."

Merlin mencoba tanggal lahir Chen. Gagal. Nama Dika. Gagal.

"Sial..." desisnya pelan.

Ia lalu mengambil ponselnya dan menghubungi Reno.

"Halo, Buk? Sudah malam banget, ada apa?" suara Reno di seberang terdengar mengantuk.

"Aku butuh kamu sekarang. Ada satu file terkunci. Isinya... bisa jadi jawaban atas semua ini. Termasuk pembunuh Gilang dan Dirga."

Reno langsung terjaga. "Kirim file-nya. Aku datang sekarang juga."

Merlin mengirim file terenkripsi itu. Dalam waktu singkat, Reno tiba di rumah Merlin, membawa laptop dan peralatan kecilnya.

"Kita mulai, Buk. Tapi ini mungkin butuh waktu."

Merlin menatapnya tajam. "Buka itu, Reno. Kita sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang."

Di Ruang Kerja Merlin – Tengah Malam

Reno mengetik cepat di laptopnya, keringat menetes di pelipis. Layar berkedip sekali… dua kali… dan klik—file berhasil dibuka.

"Apa kata sandinya, Reno?" suara Merlin bergetar, matanya tajam tapi matanya mulai berkaca.

Reno menatapnya dengan ragu, lalu menjawab pelan:

"Kata sandinya... 'Aku mencintaimu, Aina'."

Merlin terdiam. Dadanya terasa sesak.

File terbuka.

Terdapat video, disusul rekaman suara Chen:

> "Jika kau membaca ini, berarti aku sudah tidak ada.

Aku memang pembunuh Gilang dan Dirga.

Waktu itu... aku khilaf. Mereka terlalu dekat padamu.

Aku takut kehilanganmu.

Aku ingin menjauhkan semua yang membuatmu terluka—tapi justru akulah lukamu."

Merlin tak kuasa menahan tangis. Tangannya menutup mulut, bahunya bergetar. Reno memalingkan wajah, memberi ruang pada duka yang begitu dalam.

Lalu, tiba-tiba, layar laptop berubah. Muncul folder baru bernama "Target Berikutnya".

Reno membukanya. Di dalamnya:

Foto seorang pria berwajah dingin.

Nama: Matthew Silas

Status: Mantan Interpol – Ahli pembunuh bayaran, kini buron.

Keterangan: Terlibat dalam operasi bayangan Asia Tenggara. Diduga pembunuh bayaran yang digunakan untuk menghabisi Chen.

Lokasi terakhir: Bangkok, Thailand.

Reno menatap Merlin.

"Buk... ini bukan akhir. Ini... awal dari peperangan yang lebih besar."

Merlin mengangguk perlahan, suaranya lirih namun tegas:

"Kita akan kejar dia... untuk Chen, untuk Gilang, untuk Dirga. Dan untuk semua korban."

Langit Jakarta mendung saat Kapten Merlin berdiri di antara dua nisan. Di tangannya, dua lencana emas dari istana—penghargaan tertinggi atas jasanya mengungkap jaringan kejahatan lintas negara.

Pelan-pelan, ia meletakkan satu lencana di atas makam Gilang dan satu lagi di atas makam Dika.

"Penghargaan ini... bukan untukku. Ini untuk kalian, yang gugur demi negeri, demi aku."

Angin bertiup pelan, seolah membawa suara rindu yang tertahan. Matanya berkaca. Ia duduk di samping pusara, menatap batu nisan yang dingin, lalu berkata lirih:

"Aku tahu, kalian pasti kecewa padaku. Aku melanggar sumpahku... tapi aku juga kehilangan arah. Dan Chen... dia membayar semuanya dengan nyawa."

Ia terdiam sejenak, lalu melanjutkan:

"Aku berjanji, luka ini takkan membuatku berhenti. Masih ada kejahatan yang belum tuntas. Dan aku... masih Kapten Merlin."

Ia berdiri, merapikan seragamnya, menatap ke arah langit.

"Kita belum selesai. Tunggu aku menyelesaikan ini... lalu aku akan kembali, bukan sebagai prajurit... tapi sebagai Aina."

Aina menatap kosong ke arah jendela. Hujan turun perlahan, seperti mengerti gemuruh dalam dadanya. Di balik seragam yang selalu membuatnya terlihat tegar, ada hati yang kini tercabik. Ia teringat malam itu—malam di mana ia menyerah pada rindu, pada rasa yang selama ini ia kubur hidup-hidup.

“Sumpah macam apa yang kutulis di atas abu?!” bisiknya lirih, hampir tercekat.

Tangannya bergetar saat meraih foto Dika dan Gilang yang tersimpan dalam laci. Dua pria yang pernah mengisi hidupnya, dua cinta yang ia korbankan untuk misi, untuk negara. Dan kini, ia telah membuka hatinya lagi. Pada Rangga. Pada Chen. Entah mana nama yang harus ia sebut—yang jelas, ia telah melanggar sumpahnya sendiri.

Air mata yang selama ini ia tahan pecah juga. “Maafkan aku…” ucapnya pada kedua foto itu. “Aku lelah jadi batu. Aku cuma manusia…”

Ia menunduk, menggenggam lencana kehormatannya erat-erat. Rasanya berat, seperti menanggung dua dunia: sebagai kapten yang dituntut dingin, dan sebagai wanita yang mulai retak oleh cinta dan kehilangan.

“Tapi aku tidak menyesal,” katanya akhirnya. “Cinta ini bukan kelemahan. Ia adalah nyala... nyala yang membuatku terus hidup.”

Tiba-tiba, sebuah suara notifikasi mengusik keheningan malam. Aina menoleh ke ponselnya, sedikit bingung. Notifikasi itu berasal dari aplikasi live chat streaming yang bahkan sudah lama ingin ia hapus. Ia mengernyit.

"Ah, aku belum menghapus aplikasi ini?" gumamnya pelan, lalu menyentuh layar.

Satu nama muncul di sana.

Han.

Jantung Aina berdegup tak karuan. Han. Nama itu membawa kenangan samar—promotor yang pernah ia dekati di awal penyamaran, seseorang yang terhubung dalam benang kusut jaringan judi online internasional.

Dan kini… Han mengirim permintaan video call.

Aina menatap layar beberapa detik. Dilema kembali merayapi dadanya. Apakah ini hanya kebetulan? Atau bagian dari sesuatu yang lebih besar?

Tangannya nyaris gemetar saat menyentuh tombol hijau.

Suara Han terdengar agak parau namun ramah. Ia mengenakan pakaian kasual, rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali Aina—atau Mar—melihatnya.

"Apa kabar, Mar? Aku tahu nama aslimu sekarang, Kapten Merlin," katanya sambil tersenyum kecil.

"Tapi biarkan aku tetap memanggilmu Mar, ya… Nama itu selalu membuatmu terlihat lebih manusia."

Aina tersenyum samar, menyesap sisa kopinya yang sudah dingin.

"Kau masih penuh teka-teki seperti dulu, Han. Jadi… kenapa kau menghubungiku sekarang?"

Han menatap layar dengan serius.

"Aku bukan promotor lagi. Setelah orang tuaku rujuk, aku kembali ke New York. Di sana aku memutuskan mengikuti jejakmu. Sekarang aku bekerja di kepolisian swasta, fokus pada kejahatan digital lintas negara."

Ia menarik napas panjang, lalu berkata pelan tapi jelas.

"Kasus yang sedang aku tangani… berhubungan dengan game."

Aina menaikkan alis.

"Game?"

Han mengangguk.

"Namanya The Deadly Game. Sebuah permainan yang menghubungkan para pemain dengan pembunuh bayaran sungguhan. Korban pertama adalah seorang mafia . Yang lebih mengejutkan… salah satu server permainan ini berasal dari Asia Tenggara. Dan dari log yang aku lacak… sebagian data mengenali kode-kode lama dari JakartaSloot."

Jantung Aina kembali berdetak cepat.

"Kau yakin?"

"Sangat. Dan kupikir… permainan ini baru saja dimulai."

Han meledek aina dengan gurauan kecil " aku kagum padamu mar menangkap target tanpa senjata tetapi target bisa kau lumpuhkan"

Aina tertawa kecil, senyumnya mengembang, walau matanya menyimpan bayangan luka masa lalu.

"Tanpa peluru, tapi dengan banyak luka yang tidak terlihat," jawabnya pelan, lalu menatap Han di layar.

Han mengangkat alis, lalu tersenyum menggoda.

"Itu yang bikin kau makin berbahaya, Mar. Kalau aku pembunuh bayaran, mungkin sudah menyerah sebelum sempat menarik pelatuk."

Aina membalas dengan senyuman sinis yang khas.

"Tapi kau bukan pembunuh bayaran, kan Han?"

"Belum. Tapi kalau itu satu-satunya cara buat bisa kerja bareng kau lagi…" Han menjawab dengan gaya bercanda, tapi sorot matanya tajam, seolah menyiratkan: aku serius.

Aina menegakkan duduknya.

"Kau sedang bermain dengan api, Han. Kasus ini bukan permainan biasa."

Han mengangguk, wajahnya berubah serius.

"Itulah kenapa aku menghubungimu. Aku butuh otak dan instingmu. Dunia sedang menghadapi permainan yang tak bisa dimenangkan dengan joystick. Tapi mungkin bisa dengan strategi… dan seorang Merlin."

Aina terdiam sejenak, hatinya berdebar. Mungkin… inilah panggilan baru setelah semua luka itu.

Han tersenyum puas melihat Merlin menyetujuinya.

"Baiklah, Mar. Aku tahu ini bukan keputusan mudah untukmu. Tapi dunia butuh orang sepertimu lebih dari sebelumnya."

"Dan kamu yakin aku masih bisa dipercaya?" tanya Merlin, nada suaranya datar tapi penuh makna.

"Justru karena kamu sudah pernah hancur, aku tahu kamu tak akan membiarkan orang lain merasakannya lagi," jawab Han, menatap layar dengan serius.

"Oke. Aku dan Tania akan bersiap. Berikan kami waktu dua hari. Pastikan semua aman."

"Semua paspor dan visa biar aku yang urus. Aku punya koneksi di imigrasi dan badan inteligen. Kita ketemu di New York," sahut Han cepat.

Merlin menutup panggilan, lalu menatap pantulan dirinya di cermin.

"New York. Dunia baru. Tapi luka lama masih terbawa…"

Dia menoleh ke arah meja—foto Dika dan Gilang berdampingan.

"Tunggu aku. Aku belum selesai… dan mungkin ini jalanku menebus semuanya."

1
aldi malin
terima kasih semoga ikutin episode berikutnya
Lalula09
Dahsyat, author kita hebat banget bikin cerita yang fresh!
うacacia╰︶
Aku sangat penasaran! Kapan Thor akan update lagi?
aldi malin: oke ...dintunggu ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!