Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Petugas jaga villa
Asap putih tipis dari terbakarnya rokok kecil seukuran lidi berpendar di udara malam. Suara jangkrik bersahut-sahutan. Dengung nyamuk juga tak henti mengganggu mengerubuti daun telinga.
Tiga petugas kepolisian yang berjaga di sekitar villa ujung desa Karang duduk bersantai menatap langit yang hitam pekat tanpa bintang. Mereka adalah Priyo, Fudin, dan Hartono. Tenda berukuran besar didirikan di halaman villa yang lapang.
Priyo, petugas yang paling muda dengan dahinya yang lebar membentuk huruf M menyesap rokok untuk mengusir udara dingin. Fudin yang setahun lebih tua dari Priyo terlihat gelisah karena tidak ada sinyal di handphone nya. Sedangkan Hartono, petugas yang paling tua beberapa kali menguap karena kebanyakan makan nasi goreng.
"Ngapain sih Din, gelisah banget? Nahan ngizing?" tanya Hartono setengah membentak. Dia kesal melihat Fudin yang mondar-mandir sembari mengangkat handphone nya.
"Nggak ada sinyal. Padahal jam 10 malam aku harus ngucapin selamat tidur dan mimpi indah untuk pacarku," jawab Fudin panik.
Priyo yang sedang merokok langsung tersedak. Dia terbatuk-batuk sambil menepuk-nepuk dadanya. Wajah Priyo tampak memerah.
"Cik! Mau tidur pun harus diucapin dulu? Kalau nggak diucapin nggak bakal tidurkah?" Priyo meledek setelah batuknya mereda.
"Diam! Kamu mana ngerti soal perempuan? Kamu dan Andre di satuan terkenal nggak punya gandengan, jangan ikut-ikutan berkomentar," sergah Fudin jengkel.
"Bedanya Andre ganteng, banyak yang ngantre. Kalau Priyo banyak juga sih yang ngantre tapi nagih hutang," seloroh Hartono terkekeh. Priyo langsung terdiam menutup mulutnya.
Sayup-sayup terdengar bunyi gamelan di kejauhan. Awalnya lirih, tapi lama kelamaan semakin kencang gong ditabuh. Bergema dan bergaung, seperti berasal dari area balai desa. Priyo membuang putung rokoknya.
"Kayaknya ada yang punya hajat tuh. Suara tayub. Lihat yuk?" ajak Priyo.
"Kita kan diminta berjaga di tempat ini. Hargai pekerjaanmu yang memberi kehidupan keluargamu. Sungguh-sungguh dalam bekerja merupakan bentuk bersyukur," sambung Hartono bijak. Priyo mencibirnya.
"Tidak akan ada sesuatu yang terjadi di tempat ini Pak Har. Sungguh-sungguh dalam bekerja itu wajib. Tapi melemaskan punggung yang kaku itu juga harus. Jangan sampai cepat tua karena sepaneng bekerja. Sesekali bersantai boleh dong," sergah Priyo membantah nasehat dari Hartono.
"Idemu bagus juga Pri. Kalau mau lihat tayub aku ikut dah. Siapa tahu disana ada sinyal kan?" sambung Fudin masih mengangkat handphone nya.
Priyo menoleh pada Hartono. Meminta persetujuan pada petugas yang paling tua. Meski terlihat enggan, akhirnya Hartono pun mengangguk mengiyakan.
"Terserah kalian saja. Tapi aku akan tetap di tempat ini," ucap Hartono pasrah. Priyo dan Fudin pun tersenyum sumringah.
"Tenang Pak Har, nanti kuambilkan makanan yang enak-enak disana. Setahuku warga desa selalu ramah pada petugas. Meski kita datang dengan perut kosong, pulang oleh-oleh bisa satu tong," sahut Priyo sambil tertawa. Hartono tidak menyahut. Dia mengibaskan tangan, memberi isyarat agar Priyo dan Fudin segera pergi.
Setelah Priyo dan Fudin pergi, Hartono menikmati kesendiriannya. Merenung menatap atap tenda sembari rebahan. Karena nyamuk semakin liar, dia mengoleskan lotion anti nyamuk di lengan, kaki, leher dan area telinga.
Suasana benar-benar sunyi seandainya tidak terdengar suara derik jangkrik. Mungkin bagi orang lain, akan terasa menyeramkan dan menakutkan. Berada di tempat terbengkalai sendirian, tanpa sinyal untuk sekedar mengirim pesan. Namun Hartono tidak memiliki rasa takut. Dirinya sudah terbiasa berada di tempat-tempat yang dikenal angker.
Hartono sebelum menjadi seorang petugas kepolisian adalah seorang yang suka berpetualang. Sejak sekolah dulu, dia paling doyan menjelajah ke tempat-tempat di pegunungan. Yang tak jarang menyimpan kisah-kisah mistis. Setelah bekerja di kepolisian, dan bertemu banyak tersangka kejahatan, Hartono memiliki anggapan jika makhluk yang berbahaya di dunia tak lain adalah manusia. Kejahatan, rasa tega pada sesama, bahkan sanak saudara sendiri, manusia memiliki semua itu.
Terdengar suara orang berdehem. Hartono cukup terkejut dan segera melompat dari tempatnya rebahan. Dia mengambil pentungan dan bersiaga. Tampak seseorang berdiri di kegelapan. Sosok itu berjalan mendekat pada Hartono.
"Siapa? Ada perlu apa?" tanya Hartono sedikit membentak.
Setelah semakin dekat, terkena sorot lampu tenaga surya yang terpasang di sekitar tenda, barulah terlihat rupa wajah sosok asing itu. Seorang laki-laki tua berambut putih tampak tersenyum menunjukkan deretan gigi yang menghitam.
"Maaf mengganggu. Nama saya Gino. Saya warga desa ini. Saya ingin berbagi makanan," ucap laki-laki bernama Gino sembari menunjukkan kantong plastik di tangan kanannya. Hartono meletakkan kembali pentungannya.
"Mari silahkan duduk," jawab Hartono, mempersilahkan Gino duduk di kursi plastik depan tenda.
Gino pun duduk dan tetap mengulas senyum. Dia meletakkan bungkusan kresek di atas meja, kemudian membukanya. Kacang rebus beraroma wangi gurih tampak berwarna kuning keemasan di dalam kresek. Asap tipis mengepul di udara. Melawan udara malam yang terlampau dingin.
"Silahkan. Hasil panen dari desa. Tidak perlu sungkan," ucap Gino tetap tersenyum.
Hartono mengamati Gino. Dia masih waspada dan berusaha bersikap profesional. Bagaimanapun, villa di belakangnya adalah tempat ditemukan mayat yang belum jelas penyebab kematiannya. Tidak diperbolehkan seorang pun kecuali petugas kepolisian memasuki villa tersebut.
"Maaf, apa sebenarnya tujuan Anda datang kemari?" tanya Hartono penuh selidik.
"Sudah tugas polisi ya untuk bersiaga dan bersikap curiga. Sungguh saya hanya ingin Anda merasakan kacang rebus asli desa ini. Lagipula saya lihat Anda ditinggalkan dua rekan yang sepertinya tertarik dengan bunyi gamelan. Saya di rumah pun tidak ada kegiatan, jadi tidak ada salahnya kan berbincang dengan Anda disini? Tukar kawruh itu penting. Daripada tukar padu kan?" gurau Gino.
"Memangnya ada acara apa Pak? Kok ada tayub jam segini?" tanya Hartono kemudian. Dia mulai mengambil kacang rebus di meja setelah melihat sebelumnya Gino memakannya. Tentu Hartono menyadari, dekat dengan warga juga merupakan tugas sebagai pengayom masyarakat.
"Ya karena malam rabu manahil kami berpesta kecil-kecilan," sahut Gino.
Hartono mulai memasukkan kacang rebus ke mulutnya. Kemudian menyadari jika makanan yang dibawakan oleh Gino rasanya benar-benar gurih. Rasa yang berbeda dengan kacang tanah yang Hartono makan selama ini.
"Gurih banget Pak kacang rebusnya," seru Hartono heran. Gino tertawa serak.
"Tanah desa ini subur, loh jinawi. Apa yang ditanam, hasilnya akan luar biasa. Monggo Pak. Silahkan dihabiskan. Sesekali menikmati makanan kami, nikmat bukan?" ujar Gino tersenyum penuh arti.
Obrolan berlanjut. Mulai dari pembahasan soal tanaman, hingga kondisi ekonomi desa akhir-akhir ini. Namun Gino lebih banyak mendengarkan. Sesekali laki-laki itu menimpali seperlunya. Hingga akhirnya Gino pun pamit pulang.
"Terimakasih kacang rebusnya Pak. Saya benar-benar kenyang," ujar Hartono sembari mengusap perutnya.
"Sama-sama Pak polisi. Saya senang punya teman mengobrol seperti Anda. Oh iya, saya rasa Anda orang baik Pak Polisi. Tidak mudah terpengaruh oleh gemerlap dunia," ucap Gino sembari berdiri dari duduknya. Hartono hanya mengangguk, bingung hendak menimpali.
"Ketungkul gesangipun kaliyan ampun gadhah kareman marang pepas donya siyang dalu, emut yen gesang manggih antaka. (Hiduplah dengan tekun dan hati-hati, jangan mengumbar kesenangan dunia siang malam, ingatlah bahwa hidup berujung kematian)." Gino tersenyum, kemudian berjalan perlahan meninggalkan Hartono yang masih belum bisa memahami maksud perkataan dari Gino.
lanjut bung...tetap semangat....
jngn jngn ini dukunn nya ntar lawannya Mbah Tejo.
ahh komentar ku jngn jngn mulu wkwkwkwk.
Aku curiga sama Lilis omm... bkn suudzon tapi ntahlah Lilis kek manipulatif.
hmmm,,, aq masih blm bisa terima bang Andre sama Lilis ....,,